I for -nine-

2.1K 141 19
                                    

"Terkadang aku lupa jika jarum detik tidak pernah sekalipun berhenti menemani jarum menit untuk melangkah. Mustahil."


the second chance•9


SEBENARNYA Radit enggan sekali untuk kembali ke rumah ini.  Sesampainya, ia langsung masuk dan duduk di sofa persegi panjang, sambil melihat-lihat sekitarnya. Yang baru ia tahu ternyata ada ruangan musik di bawah tangga utama, padahal dulunya itu gudang, mungkin mainan robot-robotan Radit masih banyak disana.

Tidak tahu apa alasannya, yang jelas rumah ini terlihat seperti penjara baginya.

Opa Radit keluar dari dalam kamarnya. Selalu memakai kemeja kotak-kotak dan celana kainnya berwarna putih kekuningan. Laki-laki tua itu tak henti-hentinya tersenyum saat melihat Radit yang telah pulang ke rumah.

"Kamu apa kabar, Dit? Sekolahnya gimana?" tanya Opa lalu duduk di samping Radit.

"Baik," jawab Radit alakadarnya, "Opa?" tanyanya baik.

"Baik juga, tadi Opa jalan pagi keliling kompleks perumahan," ada senyuman bangga di wajah Opa. Kalau saja Radit respect, pasti ia langsung menyilangkan kakinya dan tersenyum lebar mendengar berita dari Opanya barusan. Tapi sayang Radit tidak akan pernah menjadi seperti itu.

"Tentang sekolah, sudah berapa kali di scors?"

"Lupa," jawab Radit enteng. Opa hanya menarik nafasnya dalam-dalam seperti telah menyerah terhadap Radit.

Akhirnya Opa mengeluarkan beberapa lembar kertas, mirip nota. Tapi Radit tidak menggubrisnya, paling-paling itu tentang tagihan atau catatan transaksi kartu kredit Radit.

"Terhitung mulai malam ini kamu tidak usah kembali ke apartement. Sudah Opa berhentikan, sisa waktu sewanya biar di pakai orang yang membutuhkan saja," jelas Opanya. Radit diam masih mencerna perkataan barusan dengan baik-baik.

Opa selalu diktator, suka mengatur dan banyak hal lainnya yang sangat bertentangan dengan kemauan Radit.

"Tapi Radit butuh itu," jawab Radit, "Radit butuh itu untuk tempat tinggal, Opa," nadanya mulai dingin. Sebenarnya ia benci jika harus bersikap seperti ini pada Opanya.

"Kamu punya rumah! Disini rumah kamu, bukan yang lain!" nada bicara Opa juga mulai naik satu tingkat.

Sifat yang di benci Radit setelah itu adalah Opa yang mudah emosi dan selalu menomor satukan nama baik.

Radit diam. Ia mencoba mengatur nafasnya yang sejak tadi mulai memburu, ia menahan dengan baik emosinya, mencoba tidak merusak apa saja yang ada di depannya.Setelah keheningan yang cukup lama menguasai mereka berdua, Radit berdiri lalu menatap Opanya sebentar. Dari sudut matanya ia tahu bahwa Niko sedang berjalan menuruni tangga dan berniat menghampiri mereka berdua.

Radit tidak akan menjadi sebegini kakunya jika ia tidak pernah merasa terbuang.

Terlalu menyakitkan jika mengingat bahwa dirinya dulu pernah tak bernilai apa-apa di mata mereka.

"Terserah, yang jelas ini bukan rumah Radit,"

Radit tersenyum kecil walaupun senyuman itu hanya di balas tatapan penuh emosi oleh Opanya. Ia keluar dari rumah itu, lalu saat sampai di luar ia segera menghirup udara dalam-dalam. Ada perasaan lega seusai keluar dari tempat yang ia namai penjara itu.

Tapi setelahnya tatapan Radit kosong, ia berfikir dalam diam bagaimana kelanjutan hidupnya setelah ini.

Ini bukan tentang dimana ia harus tidur malam ini atau tentang kartu kreditnya dan seluruh ATM sialannya itu.

The Second ChanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang