D for -four-

1.8K 153 10
                                    

"Jika maksudmu memulai lagi sebuah obrolan hanya untuk menanyakan keadaanku selepas kamu pergi. Lebih baik tak usah, karena aku malu masih belajar terbiasa dengan semua."

the second chance•4

TIDAK ada yang mengalahkan hebohnya berita Niko dan Radit yang bertengkar kemarin sewaktu pulang sekolah. Seantero sekolah pada sibuk membicarakan berita yang lagi panas-panasnya itu.

Dimana dua pentolan sekolah yang ternyata musuhan, Niko yang terkenal akan sifat dinginnya melawan Radit anak baru yang pecicilannya luar biasa.

Tidak usah di tanya apa sebabnya, satu orang pun tidak ada yang tahu kecuali Niko dan Radit sendiri. Dan sekarang gossip yang sedang beredar adalah tentang Radit.

Sebenarnya Radit tahu hal ini akan terjadi, Radit juga tahu lama-kelamaan semuanya akan tahu siapa dirinya. Iya nanti, tapi jangan sekarang. Dia masih belum siap.

Radit jadi miskin soalnya keluarganya brokenhome. Dia lari ke Jakarta kabur dari keluarganya yang ada di Bandung. Setidaknya bila di tarik kesimpulan, itu intinya.

Itulah yang membuat Farah sedih akhir-akhir ini. Di tambah lagi Radit yang entah kali berapa mendapat scors untuk dua hari. Pulang sekolah hari ini, Radit bilang akan menjemput Farah. Jadi Farah putuskan untuk tidak menunggu di halte, melainkan menunggu di area parker penjemput di depan sekolah.

Hampir sepuluh menit ia menunggu, Radit datang dengan motornya. Farah menyambut Radit dengan senyum lebarnya.

Radit memakai pakaian rapi, katanya mau mengajak Farah ke sebuah tempat.

"Kita beneran pergi, Dit?" tanya Farah. Radit hanya mengangguk dan memberikan helm pada Farah.

"Atau besok aja? Kalau jadwal lo padet, gue gak maksa juga," kata Radit. Sebelum naik, Farah mencoba mengingat apa saja tugasnya untuk besok dan tanggungan-tanggungan lainnya yang belum ia selesaikan. Farah akhirnya naik dan menyetujui ajakan Radit.

"Mau kemana sih, Dit?" Farah bertanya dari balik helmnya. Radit melirik Farah dari kaca spion dan tersenyum tipis.

"Gue ajak kenalan sama Papa, Mama gue ya," kata Radit.

•••

Warna langit Jakarta siang ini cerah sakali, tapi tak secerah tatapan Radit saat melihat Farah begitu tiba di tempat yang di tuju. Farah turun dengan tatapan bingunya, yang bisa ia lakukan hanya menoleh ke kanan-kiri berulang kali.

"Ra--dit?" Farah mencoba menyadarkan laki-laki itu dari lamunannya. Radit tersenyum tipis lalu mulai berjalan, dan Farah mengikutinya dari belakang.

Sepi dan sunyi, dua kata yang cukup untuk mendeskripsikan pemakaman.

Radit berhenti dan mulai berjongkok di salah satu makam, Farah iku berjongkok di depannya. Ia masih tidak berani untuk bertanya banyak, takut apa yang ia katakan salah seperti tempo hari yang lalu.

"Mah, ini Farah. Farah, ini Mama," kata Radit hampir berbisik.

Napas Farah tercekat. Tatapan tiba-tiba jatuh begitu tepat di iris mata Radit. Farah bingung ingin berkata apa, yang ia rasa adalah kesedihan begitu mendalam saat melihat Radit tersenyum tulus sambil mengusap batu nisan warna putih itu.

"Di belakang kamu makam Papa. Emang sengaja di makamin begini, Papa yang minta," kata Radit lagi.

"Eh," Farah berbalik ke belakang. Ternyata jarak tahun kematian Papa dan Mama Radit tidak terlalu jauh.

Tak banyak yang Radit katakan, hanya memberi tahu tentang seluk beluk keluarganya sedikit, dan cerita-cerita lucu tentang mereka bertiga dulu. Kebetulan Radit memang anak tunggal.

The Second ChanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang