F for-six-

1.9K 134 15
                                    

"Ternyata cara untuk menyadarkan keegoisanmu adalah dengan mengenalkan arti kepergian,
seberat itu?"


the second chance•6

FARAH terpaksa berbohong dan meminjam nama Ovia untuk beralasan pada Radit. Ia bilang mau pulang ke rumah Ovia dan membuat kue, rencananya yang tertunda dulu karena harus mengobati luka Radit saat bertengkar dengan Niko.

"Yakin gak mau gue anter aja?" Farah kaget bukan main saat ternyata motor Radit menjajari dirinya saat berjalan ke gerbang depan, "Kan Ovia masih kumpul sama anak paduan suara. Gue temenin lo nunggu aja gimana?" tawar Radit lagi.

Kalau Farah tidak berbohong ia pasti sudah mengiyakan tawaran Radit tadi. Tapi kali ini ia sungkan pada Niko yang sudah menunggunya di depan sekolah.

"Lo balik duluan aja, Dit. Nanti kalau gue butuh di jemput gue sms lo aja bisa?" tanya Farah.

Senyum Radit mengembang bukan main. Farah ikut tersenyum saat Radit menganggukan kepalanya antusias. Lalu sesudah mengucapkan hati-hati yang berulang kali, motor Radit menjauh dan hilang di belokan sekolah. Ada perasaan kecewa saat ternyata Farah tau hari ini dirinya membohongi Radit

"Lama ya? Sorry Kak," kata Farah saat sudah masuk ke dalam mobil Niko.

Niko hanya menggeleng lalu agak membesarkan radio yang terhubung ke ponselnya. Mobilnya mulai berjalan menuju ke tempat yang sudah ia janjikan bersama Farah sebelumnya. Dalam hati Farah berdoa agar tidak ada satupun temannya yang melihat hari ini dia pulang bersama Niko, kalaupun ada cukup Melati saja, lainnya jangan.

"Lo udah makan kan? Kita mau ke kedai kopi atau lo mau cari makan aja?" tawar Niko sambil fokus menyetir.

"Gue ngikut lo aja. Terserah mau kemana," kata Farah

"Kalau belum keisi makanan, perut lo sakit kena kopi. Liat muka lo laper gitu mendingan kita cari makan aja kali ya," kata Niko panjang lebar.

Niko ternyata ramahnya bukan main. Tapi kenapa saat bertemu atau berpapasan dengan Radit auranya yang ramah, baik jadi hilang seketika? Nilai Farah dalam hatinya.

Akhirnya Farah setuju dan Niko memutar balik mobilnya. Sebenarnya Farah juga tidak tahu jadinya pergi kemana dan Niko mau bicara apa tentang theater. Ia rasa tadi pagi Pak Haradi sudah sangat jelas menjelaskannya, terus apa yang harus di bicarakan lagi?

"Suka coldplay?" tanya Farah saat menyadari sudah lebih dari lima lagu coldplay menggema di mobil Niko.

"Sorry, lo bosen ya?" tebak Niko lalu mengganti lagunya.

Farah melengos rasanya dia salah memilih topik pembicaraan dengan Niko, "Gak usah. Gue suka juga soalnya," kata Farah.

"Fansnya coldplay?" tanya Niko langsung. Farah mengangguk, lalu Niko tertawa melihat Farah.

"Gue kira lo suka girlband sama oppa-oppa gitu," kata Niko tak percaya, "Punya lagunya yang mana aja," tanya Niko.

"Banyak, lengkap kok. Masih cari CD originalnya yang A Head Full of Dreams, kehabisan terus," kata Farah.

Niko hanya ber-oh ria, "Panggil guenya gak usah pake 'Kak' . Niko gitu aja,"

•••

Radit memarkirkan motornya di garasi yang super luas setelah satpam membukakan pintu gerbang yang tingginya bukan main. Dengan mantap ia melangkah menuju pintu utama rumah mewah itu. Seingatnya dia terakhir berkunjung ke tempat itu saat masih berumur 14 tahun, berarti 3 tahun yang lalu.

"Masuk, Den. Tuan sudah nunggu di dalam," kata pelayan rumah tangga itu saat membukakan pintu.

Radit masih ingat, kalau tidak salah namanya Mbak Nisa.

"Ada siapa aja, Mbak? Janet belum pulang?" kata Radit lalu menaruh tasnya di kursi tamu. Dengan cekatan Mbak Nisa mengambilnya.

"Aku gak nginep disini mbak. Aku pulang aja," kata Radit. Mbak Nisa tersenyum kecut dan kembali meletakkan tas sekolah Radit.

Radit akhirnya berjalan santai menuju ruangan dengan pintu kaca yang ada tepat di sebelah tangga. Ia mendorong pintu itu dan sosok di dalamnya berdiri dengan sumringah menatap kehadiran Radit.

"Raditya!" kata laki-laki itu langsung memeluk Radit dan menyuruhnya duduk berhadapan dengannya.

"Kamu apa kabar? Opa lama tidak bertemu kamu. Udah lupa rumah?" kata laki-laki yang berumur kepala tujuh itu.

Radit hanya cengingisan dan jujur ia tidak tahu apa maksud Opanya menelponnya tadi.

"Ada apa Opa telpon Radit?" tanya Radit. Jujur berlama-lama di ruangan ini membuat hati Radit menjadi hancur lagi. Pasalnya hal yang membuatnya adalah bingkai foto dengan ukuran sedang yang berisi foto Radit dan keluarganya, sebelum kecelakaan maut itu mengambil nyawa mereka.

"Opa mau kamu tinggal disini, Nak" kata Opa, "Sesuai apa yang Oma kamu mau, Radit harus tetep sama Opa," tambahnya lagi.

Radit memang cucu kesayangan Oma. Tapi sayangnya Oma lebih dulu meninggal.

"Maaf, Radit belum bisa," jawab Radit.

"Kamu sama seperti ayahmu, keras kepala,"

"Maaf, Opa. Tapi nanti kalau Radit sudah siap tinggal disini, kapan saja Radit bisa pulang," kata Radit sambil berdiri dan membenahi resleting jaketnya.

Radit lalu keluar dan mengambil tas sekolahnya, saat itu pula ia melihat Janet baru saja masuk ke dalam rumah.

"Dek," Janet sedikit berlari menghampiri Radit yang buru-buru menghindar.

"Dek! Kakak mau ngomong sebentar," kata Janet sambil memegangi jaket Radit, tapi yang di ajak bicara malah terus berjalan tak peduli dengan perempuan di sampingnya yang terus menerus memohon kepadanya.

"Apa sulitnya sih tinggal disini? Kita jadi satu semua terus bareng-bareng ngejaga Opa," kata Janet. Tapi Radit menatapnya dingin.

"Net, yang lo omongin itu gak semudah apa yang gua rasain," kata Radit akhirnya.

"Dek, ini semua udah kelewat lama. Masa buat terima kenyataan harus sesulit ini? Maafin dan lupain semuanya, kita semua tinggal bareng-bareng ya," Janet memegang kedua tangan Radit dan menatap laki-laki itu penuh harap.

"Gue cabut dulu," kata Radit lalu melepaskan tangannya dari genggaman Janet.

•••

Farah sedang mengantri bersama Niko untuk memesan satu box donat dan dua gelas orange juice. Tadinya Farah bilang malas untuk makan makanan berat, jadi Niko putuskan untuk berbelok ke kedai donat ini.

"Atas nama kak siapa ya?" seorang barista sedang memegang gelas plastik dan spidol hitam bersiap untuk menuliskan nama mereka berdua.

"Niko," lalu perhatian Niko terarah pada Farah yang terlihat gelisah menatap layar ponselnya.

"Kenapa, Far?" tanya Niko. Farah hanya menggeleng dan memberikan senyum pada Niko pertanda semua baik-baik saja.

"Mbak, yang satunya namanyaFarah," kata Niko cepat tapi sayangnya kalah cepat dengan spidol hitam itu.

"Ya udah gak papa," kata Farah akhrinya.

Saat memilih meja, Farah tertawa sendiri saat membaca nama yang ada di gelas Niko dan miliknya.

"Mbaknya typo parah. Gak papa kan?" tanya Niko sambil ikut tertawa membacanya.

"Mrs. Niko?" Farah masih terlihat heran. Ia tidak tahu Niko sebenarnya sudah malu bukan main.

Jadi kesimpulannya, Farah dikira pacar Niko. Jaman sekarang ribet emang, cuma jalan berdua aja di kira pacar.

"Oh, mau ngomong apa Nik?" tanya Farah saat ingat dengan tujuannya.

"Gak penting sih. Tapi gue cuma mau ngobrol aja sama lo," kata Niko

Detik berikutnya Farah paham, alasan Niko untuk ngobrol tentang theater itu hanya akal-akalannya saja. Ia tahu bahasannya kali ini pasti tidak jauh tentang Radit.

Pasti tentang Radit, selalu.

The Second ChanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang