Setiap semester pasti diselingi dengan liburan semester, kalau dikampung halamanku liburan jenis ini sering disebut libur musim dingin.
Kalau kasusnya liburan keluar kota atau bahkan keluar negeri mah seru, apalagi kalau sudah disuruh bercerita kedepan.
Itulah yang di alami oleh kami selama seminggu ini. Padahal kami ini sudah gede, sudah siap punya anak malah, tapi tugas setiap awal semester tidak pernah berubah selama 12 tahun bersekolah. Yaitu menceritakan pengalaman liburan didepan kelas.
Satu prinsip guru disini adalah "Bercerita adalah salah satu metode untuk memperkuat ingatan." Ya elah, bentar lagi Ujian Nasional, jangan isi otak kami dengan cerita-cerita masa berbahagia yang sudah lampau. Yang harus kita lakukan sekarang adalah menerima kenyataan bahwa UN semakin dekat.
Pelajaran pertama yang mengharuskan kami untuk bercerita adalah pelajaran bahasa Mandarin. Yang bearti cerita liburan tersebut harus berbahasa Mandarin. Bitch please, menghitung 1-10 saja belum lancar bagaimana mau cerita. Pake bahasa alien mau?
Berujung counter back dari murid-murid, "Lǎoshī (guru) saja yang cerita, kan baru pulang dari China."
Iya, Lǎoshī ini baru saja pergi menuntut ilmu selama 25 hari di kota Fuzhou, China. Kasihan, ilmu saja dituntut. Syukur ngak lama, coba lihat kasus kopi berbisa, perkaranya ngak abis-abis.
Nah, disana Lǎoshī bersama 20 orang lainnya dari seluruh Indonesia. 20 orang tersebut berasal dari 11 provinsi yaitu Kalimantan Barat, Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Bangka Belitung, Kepulauan Riau, Aceh, dan masih ada beberapa lagi.
Lǎoshī menyerah dan memutuskan untuk bercerita pengalaman yang ia dapatkan dari perjalanannya itu. Kesan pertamanya saat menginjakan kaki disana adalah, Fuzhou adalah kota yang bersih, segar, dan bebas polusi. Motor yang dipergunakan adalah motor listrik dan mobil tanpa asap.
Selain itu adalah banyak sekali kedai yang menjual makanan tradisional, yaitu tahu busuk. Yang bau nya lebih busuk dari petai atau jengkol. Namun itu yang dicium, tapi jika sudah dimakan, konon katanya enak sekali dan tidak bau. Sesuai pepatah orang sana "Jangan menilai buku dari baunya." Tapi tolong terimalah kenyataan bahwa kalian menilai buku pasti dari cover nya, bukan dari baunya. Jadi fix Lǎoshī tidak akan pernah berani mencobanya.
Kesan menarik lainnya adalah kamar mandi milik hotel yang katanya tidak manusiawi. Tidak, bukan karena kotor, bau, tidak dibersihkan, dan hal-hal negatif lainnya. Tapi kamar mandi ini tidak manusiawi karena dindingnya yang terbuat dari kaca transparan dan hanya diberi bonus satu persegi panjang kaca blur.
"Tapi kalau Doni yang sedang mandi sih aku ngak bakal ngintip," ujar Lǎoshī sambil mengedipkan matanya jenaka kepada Doni yang duduk persis dihadapannya. Tolong jangan tanya aku ada hubungan apa antara Lǎoshī (cowok) dengan Doni. Aku yakin kalian tidak mau mendengarnya.
"Iya, langsung masuk saja," koreksi Richard.
"Benar," Lǎoshī kembali membenarkan sambil menatap Doni sensasional. Tolong jangan tanya aku ada hubungan apa antara Lǎoshī (cowok) dengan Doni. Aku yakin aku tidak bakal kuat menceritakannya.
Cerita dilanjutkan ke budaya orang sana. Warning untuk kalian yang ingin berwisata ke negri tirai bambu ini adalah jangan pernah menanyakan umur seorang wanita disana. Ngak sopan tau, jangankan orang sana, aku juga ngak senang. Apa nanya-nanya? Mau melet?
Dan budaya yang mencengangkan adalah bahwa lampu lalu lintas disana hanya accecories jalanan. Tidak ada gunanya. Kayak upil dalam hidung, mengganggu. Mobil saja bisa masuk trotoar. Lebih mending mobil masuk area zebra cross daripada mobil menyerempet manusia-manusia yang sedang berjalan di trotoar.
"Aku kira selama ini Indonesia sudah yang paling parah," ungkap seseorang di bangku barisan belakang sana.
Iya, kita harus lebih bangga terhadap Indonesia yang santun, baik hati, dan suka kepo.
Nah, ngomong-ngomong soal kepo, jangan membawa kepo-kepoan itu ke negri sana. Ingat itu, mereka ngak suka. Apalagi jika sedang berbelanja. Kebiasaan orang Indonesia adalah kepoin itu barang. Harganya berapa, warnainnya pake apa, pembuatnya dimana, bahannya dari makhluk apa, dan ngak jadi beli.
Tolong jangan, serius jangan lakukan itu di negeri orang.
Selain itu juga pengalaman pertama dalam urusan daki mendaki. Gunung dengan ketinggian 5km dan suhu udara -4° dengan waktu tempuh normal 2-3 jam membuat Lǎoshī menyomot semua pakaian rekan-rekannya dan menjadikannya seorang beruang kutub. Namun dengan demikian ia masih tidak sanggup mendaki. Lǎoshī mengaku bahwa jika ia mendaki 5 menit lagi, ia akan siap dikuburkan. Syukurnya tidak sampai 5 menit, Lǎoshī sudah sampai pada puncaknya.
25 hari tidak terasa telah berlalu, dan cerita yang dibawakan oleh Lǎoshī berakhir sampai disitu.
"Bagaimana dengan masakan disana? Apakah enak?" Tanya manusia-manusia Indonesia yang kepo ini.
"Aku sudah tidak peduli apakah rasanya enak atau tidak, yang pasti aku harus bisa bertahan hidup disana."
"Ah, Lǎoshī kan vegetarian."
"Benar, dan sialnya disana tidak dapat ditemui rumah makan vegetarian."
Pada akhirnya kami tidak jadi menceritakan pengalaman liburan versi bahasa alien didepan kelas.
Sekian dari pengalaman liburan bukan punya aku dan mari tetap cinta Indonesia.
########################
Catatan pojok:
- 老师 Lǎoshī = guru
- Vegetarian = makhluk-makhluk suci dan paling sabar menahan godaan daging-dagingan.
- Lǎoshī memang berbicara non-formal kepada kami.Keterangan penulis:
Harusnya chapter ini update di awal bulan Januari, berhubung penulis ini sibuk yang tidak dibuat-buat, maka tulisan ini disimpan dalam darf sampai sudah agak kuno. Jadi mohon maaf.15-2-2017
~SaeSelvia~
KAMU SEDANG MEMBACA
Crazy But Elite !?
HumorHanyalah sebuah catatan hati dari penulis pemula dengan minim pengalaman menulis tapi sejuta pengalaman ketidakwarasan sekolah.