"Oke, Alina. Ada beberapa hal yang harus aku sampaikan sekarang." Ibram berdiri menatapku dari pantulan kaca -dua meter di belakangku yang duduk menghadap meja rias- tengah menggigit bibir bawahnya, seolah berpikir sejenak untuk meneruskan kalimat yang akan ia sampaikan.
"Pertama, kamu nggak usah takut, nggak akan terjadi apa-apa malam ini atau malam-malam selanjutnya sampai kamu yakin kita bisa melangkah lebih jauh. Kedua, aku seperti kamu juga sama-sama nggak mengharapkan pernikahan ini terjadi, tapi aku janji sama diriku sendiri untuk berusaha semampuku membahagiakan kamu, karena aku sudah bersumpah atas nama Allah untuk menjaga kamu sebagai istri sahku.
"Aku tau kita nggak kenal baik satu sama lain dan aku juga nggak punya kendali atas itu, tapi aku bersedia nunggu sampai kapan pun supaya kamu bisa nyaman ada di dekatku. Karena suka nggak suka, aku suami kamu. And I'm sorry for that..." Ibram menghela nafas mengakhiri pidato panjangnya. That was his exact words, di malam pertama kami. Awkward banget kan?
Kita mungkin bisa menipu mata ribuan orang yang hadir di pesta mewah pernikahan kami. Bersikap saling perhatian di atas pelaminan, memberikan senyum dan tatapan mesra satu sama lain. Tetapi begitu kami berdua melangkah ke dalam kamar hotel, tertutup oleh dinding-dinding yang memisahkan kami dari para mata yang terpesona melihat si raja dan ratu sehari, sikap asli kami masing-masing keluar sudah. Tidak ada lagi senyum dan tatapan mesra itu, bahkan bersentuhan saja kami berusaha untuk menghindarinya.
Dari pantulan bayangan di cermin, aku balas menatapnya, dari ujung kepala sampai ujung kaki, mematri tiap jengkal lekuk tubuhnya di ingatanku agar selalu teringat bahwa pria ini, jika Allah mengijinkan, akan menjadi pria yang menemaniku seumur hidup. Aku masih tidak percaya bahwa pria di hadapanku ini telah sah menjadi suamiku dan entah sampai kapan aku akan terbiasa dengan status ini.
Ibram, suamiku sejak sepuluh jam yang lalu itu, masih mengenakan pakaian dinas upacara. Sebuah hem berwarna hijau pupus muda dengan celana panjang warna hijau lumut, dilengkapi dengan dasi dan jas warna senada yang ditempeli dengan berbagai brevet kecakapan juga tanda-tanda penghargaan yang sekilas dapat menunjukkan seberapa berprestasinya prajurit tersebut. Pakaian itulan yang sesuai protap dikenakan saat prosesi pedang pora.
Aku tidak akan berbohong, ada satu kebanggan sedikiiiiiiiit di hatiku ketika menatapnya saat ini. Bukan hanya saat ini, bahkan saat pertama kali aku bertemu dengan Ibram saat pengajuan di kantornya. How should I describe it? Tentara itu dari segi postur dan departemen per-six-pack-an sudah tidak perlu dipertanyakan lagi, dengan aktifitas fisik dan olah raga yang dilakukan setiap hari, nilainya sudah pasti di atas B +. Dan Ibram? Well... good body and good look + uniform = Masya Allah!
Tapi itu hanya secuil kebanggan, tidak sebanding dengan perasaan yang berkecamuk di dalam dadaku. Satu bulan terakhir yang diberikan untukku mengenalnya, aku terus-menerus berusaha meyakinkan hatiku bahwa aku telah mengambil keputusan yang benar. Menikah adalah ibadah begitu juga dengan berbakti kepada orang tua. Jadi kalau dua hal itu digabungkan pastilah aku menjadi anak dan istri sholehah. Simple kan? Haha, You wish.
"Kamu mau dibantu lepas itu perhiasan di kepala kamu? Atau kamu bisa sendiri?" tanya Ibram memecah keheningan. Aku baru sadar sudah melamun cukup lama. Mungkin Ibram sebenarnya menunggu jawabanku dari pernyataannya tadi itu, tapi aku harus menjawab apa? Aku sendiri masih tidak tahu apa yang harus aku lakukan saat ini, karena semua sudah terjadi. Ijab qabul sudah dilaksanakan, what's done is done. There's no turning back now.
"Nggak usah, makasih. Aku bisa sendiri." Jawabku dingin.
"Oke, aku mau tidur. Di sofa di luar. Kalau ada apa-apa panggil aja." Ibram yang sudah melepas jas PDU dan dasi kemudian mengambil bantal dan selimut dari tempat tidur lalu keluar kamar menuju sofa di ruangan sebelah kamar. Dan shit, aku mengumpat dalam hati satu jam kemudian menyesal menolak tawaran Ibram. Karena melepas banyak asesoris di kepala, menjinakkan rambut yang sudah terpapar satu botol hairspray (aku harus setidaknya lima kali membilas rambut), menanggalkan kebaya seberat lima kilo dengan hati-hati agar tidak merusak payet dan menghapus berlapis-lapis make up itu rasanya seperti berkeliling rumah sakit pasca visit besar dilanjutkan ujian tiga jam berdiri dengan konsulen killer. Emejing!!
Maka tidak heran ketika sampai di tempat tidur, tidak sampai satu menit aku langsung terlelap.
Rasanya baru sebentar aku memejamkan mata, ketika aku mendengar suara gaduh di luar kamar. Refleks aku segera membuka mataku dan melihat jam dinding, jam tiga lebih, berarti kurang lebih sudah empat jam aku tertidur. Dengan mata berat aku bangun dari tempat tidur dan mengintip ke luar kamar, melangkah perlahan meraba-raba dinding di ruangan yang remang-remang.
Kalau situasinya tidak se-awkward ini mungkin aku sudah tertawa terbahak-bahak melihat pemandangan di depanku. Yepp, Ibram terjatuh dari sofa dan sekarang sedang mengaduh kesakitan di lantai beralas karpet hotel yang untungnya cukup tebal. Tangannya mengelus-elus dahi yang sepertinya baru saja terantuk sudut meja di sebelah sofa. Tidak heran sih, dengan tubuh kekarnya itu pasti sangat tidak nyaman tidur di sofa yang relatif kecil untuk ukuran dia.
"Kamu kenapa?" tanyaku pura-pura tidak tahu. Ibram yang kaget melihatku sudah melongok ke bawah sofa hanya mengulum bibirnya sambil menggeleng.
"Nggak, nggak apa-apa. Sorry kalau udah bikin kamu kebangun." Jawabnya dengan suara parau. Bisa kulihat dari pantulan cahaya lampu ruangan remang-remang ini, gurat-gurat kelelahan yang nampak di wajah Ibram. Sepertinya bukan hanya aku saja yang banyak pikiran satu bulan terakhir ini.
Tapi dari sini juga bisa kulihat rahang Ibram yang tegas mulai ditumbuhi bulu halus, dagunya yang terbelah, bibirnya yang tebal dan kemerahan (yang aku ketahui bahwa dia memang tidak merokok), bulu matanya yang lentik, warna irisnya yang bukan hitam tapi coklat tua, sedang menatapku. Aku refleks mengalihkan pandanganku. Maka sebelum situasinya lebih canggung lagi, aku berdeham dan bergegas kembali ke kamar.
"Aku mau tidur lagi." Kataku tanpa melihatnya.
"Oke."
Dari balik selimut di tempat tidur, aku yang masih berdebar-bedar samar-samar mendengar bunyi gemericik air di kamar mandi. Hah? Dia mandi jam segini?
Tak lama mucul siluetnya keluar dari kamar mandi dan aku sudah akan tertidur lagi ketika dari sudut mataku aku melihat Ibram masuk ke kamar dan berdiri di samping tempat tidur. Ketika aku menoleh, aku seketika terenyuh melihat apa yang Ibram lakukan.
Ibram, sholat. Sholat tahajud tepatnya.
Waktu terasa berhenti saat itu, kepalaku dipenuhi banyak pertanyaan dan rasa bersalah. Inilah orang yang aku pikir dulu akan berbuat jahat, mabuk-mabukan, melakukan kekerasan dan berjudi. Lihatlah betapa salahnya aku, bahkan ketika aku sendiri masih menjaga supaya sholat lima waktuku tidak bolong-bolong, inilah Imam yang dipilih oleh orang tuaku, sedang menghadap Sang Pencipta di sepertiga malam, malam pertama pernikahannya. Tak sadar aku menekan dada, menelan ludah dan menahan air mata,
"Ya Allah hati gue, jangan baper dulu ya... perjalanan kita masih panjang banget! Yang sabar ya..."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sillage (Doctor Soldier Romance)
Romance"Seperti Ibram yang kerap datang dan pergi, meninggalkan jejak kehadirannya di setiap sudut apartemenku, di sweater yang selalu menemaniku tiap malam hingga terlelap, ia juga meninggalkan kesan mendalam di dalam hatiku. Bahkan sejak awal kami bertem...