"Assalamu'alaikum Cinta ..."
"Wa'alaikumsalam Abang! Kok bisa telpon sih ini? Kirain udah susah sinyal."
"Iya ... Tapi aku inget besok pagi kamu mau ujian, ini aku telepon sambil manjat pohon paling tinggi di sini biar dapet sinyal, yang penting bisa hubungin kamu dulu. Perjuanganku buat dengerin suara kamu nih, pake nyawa." Aku tertawa mendengar kata-kata Ibram, tapi juga terenyuh mendengar usahanya itu.
"Ya Allah, segitunya ... makasih ya."
"Iya, apa sih yang nggak buat istriku ... Gimana persiapan ujiannya?"
"In sya Allah udah mateng semua, aku sama temen-temen udah persiapan dari sebulan lalu. Tapi seminggu ini belajar intensif lagi bareng-bareng di rumah Abang. Tinggal berjuangnya aja."
"Oke. Aku percaya kamu bisa kok, Cinta ... yang penting fokus aja. Aku baik-baik aja di sini, jadi jangan terlalu dipikirin. Inget ya, ini penentuan masa depan kamu, sekolah enam tahun Cuma dibayar dua hari aja. Buat aku bangga ya! Semoga tugas ini cepet selesai jadi kalo kamu lulus aku bisa dateng ke sumpah dokter kamu."
"Bener?"
"Iya in sya Allah. Yang penting ujiannya diselesaikan dulu."
"Oke. Aku tunggu pokoknya."
"Siap Kapten Alina! Istriku paling hebat pokoknya!!" Aku tersenyum lebar mendengar Ibram yang terus memberiku semangat.
"Makasih Bang ... Abang juga ya, tetep jaga diri dan fokus tugasnya. I'll be fine here."
"Gitu dong ... eh, aduh! Teleponnya udah dulu ya, tanganku kesemutan megangin tali di pohon." Aku tertawa,
"Iya deh ..."
"Mungkin mulai hari ini bakal lebih sulit lagi hubungin kamu, soalnya udah sampe perimeter hutan. Sabar aja ya ..."
"Iya nggak papa. Pokoknya Abang ati-ati ya, doa aku selalu buat Abang."
"Oke. Semangat ujian Cinta! I love you! I'll be home soon!"
Aku menatap handphoneku, kemudian memandang hamparan kertas-kertas soal dan textbook di hadapanku. Seperti mendapat suntikan semangat baru, aku pun tersenyum dan yakin akan kemampuanku menghadapi ujian besok.
Kamu mau tau bagaimana ujian kompetensi dokter itu?
Setelah menjalani kuliah preklinik atau kuliah tentang teori-teori dasar kedokteran selama kurang lebih empat tahun –sistem pendidikan kedokteran yang baru bahkan mempersingkat stase pre klinik menjadi tiga setengah tahun- kami baru mendapat titel Sarjana Kedokteran. Kemudian ditambah dua tahun stase klinik, atau disebut stase koas, kami rolling dari departemen satu ke departemen lain di rumah sakit –kurang lebih ada tiga belas sampai empat belas departemen, tergantung kebijakan universitas- sampai semua departemen ini lulus ujian. Sudah selesai? Belum.
Untuk menguji ilmu yang kami dapat selama enam tahun tadi, kami diberi waktu dua hari, mengikuti Ujian Kompetensi Dokter Indonesia. Ujian yang kini menjadi momok para calon dokter. Satu hari untuk ujian berbasis komputer sebanyak 200 soal yang terdiri dari beberapa teori dasar, beberapa soal kasus pasien, dan beberapa menggunakan Bahasa Inggris –kata Rasyid, "matilah gue cuma tau no smoking sama toilet doang"-. Satu hari lagi untuk ujian OSCE, atau ujian praktek. Kami diberi waktu sepuluh menit untuk menjawab soal yang ada di depan pintu dan menjawabnya pun bukan asal menjawab, tetapi menjawab sekaligus mempraktekkan apa yang kita ucapkan kepada para penguji di dalam station itu.
Kami diuji tentang skill anamnesis yang benar, skill heacting (menjahit) sesuai prinsip steril yang benar, kemudian ada pula soal tentang contoh keluhan yang dikeluhkan pasien dan di dalam kami diberi waktu sepuluh menit untuk pura-pura berhadapan dengan si pasien dan kemudian menjawab apa kira-kira diagnosis penyakit pasien dan bagaimana terapinya, termasuk menulis resep yang benar. Ada juga soal tentang contoh keluhan pasien, dan di dalam kami dihadapkan dengan puluhan contoh preparat di laboratorium dan diuji bagaimana cara memeriksa preparat tersebut dan interpretasi hasilnya. Kadang-kadang ada pula soal tentang seseorang yang tiba-tiba terkena serangan jantung, dan di dalam kita diuji bagaimana menyelamatkan si korban ini sampai ambulance datang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sillage (Doctor Soldier Romance)
Romans"Seperti Ibram yang kerap datang dan pergi, meninggalkan jejak kehadirannya di setiap sudut apartemenku, di sweater yang selalu menemaniku tiap malam hingga terlelap, ia juga meninggalkan kesan mendalam di dalam hatiku. Bahkan sejak awal kami bertem...