Part 12

231K 22.8K 280
                                    

Dengan langkah gontai aku memasuki ruang jaga koas di IGD, mood-ku sedang tidak karuan sejak pagi tadi mengambil 'jadwal' kegiatanku tiga bulan ke depan yang sudah dibuat khusus oleh dokter Fina sendiri. Dan seperti cerita Rasyid, ini adalah jadwal paling tidak manusiawi yang pernah aku terima. Aku tidak tahu apa rencana Allah sampai aku harus dikelilingi orang-orang yang sepertinya terobsesi sekali membuatku bekerja keras sampai tulangku remuk dan kurang istirahat. Jadwal baruku lebih banyak berisi jadwal jaga yang paling dihindari koas : jaga malam dan jaga weekend.

Aku duduk di salah satu tempat tidur di antara empat tempat tidur tingkat yang tersedia di ruang jaga koas. Di tempat tidur di seberangku, kulihat salah satu koas laki-laki entah dari stase apa sedang tidur pulas tertutup selimut memunggungiku.

Tak lama telepon ruang jaga koas berdering dan dengan malas aku mengangkatnya, dalam hati berdoa semoga bukan konsulan pasien gawat.

"Halo, dengan koas Alina dari departemen bedah di sini, ada yang bisa saya bantu?"

"Oh ... halo Kak, syukurlah Kakak yang angkat. Ini Dona Kak, saya sama Hamam ke kantin dulu ya Kak, makan siang dulu. Nanti kalau ada konsulan kita dijapri aja." Dona dan Hamam adalah junior saat aku di stase bedah kemarin. Sekarang karena aku kembali di stase bedah, sementara mereka sudah menjadi senior, aku beralih menjadi SUPER senior mereka.

"Oke ... gue titip teh botol ya! Uangnya nanti gue ganti." ucapku.

"Siap Kak ..." aku menutup telpon dan mendengar suara gerakan dari belakang, sepertinya si koas laki-laki tadi terbangun karena suaraku.

"Hei ..." aku membalikkan badan dan melihat tak lain dan tak bukan adalah sosok dokter Reno, yang matanya masih merah dan rambutnya masih berantakan karena baru saja terbangun.

"Hei?" sapaku bertanya-tanya.

"Ngapain di sini? Kamar residen kurang besar?" aku tau sekali kamar residen di rumah sakit ini jauh lebih mewah dari kamar koas. Ruang jaga kami hanya berisi dua buah tempat tidur tingkat, meja dengan telepon di atasnya dan dispenser di pojok ruangan, serta hiburan satu-satunya di ruang jaga kami hanya laptop -yang kami bawa sendiri-, kadang ada juga yang membawa gitar. Sedangkan kamar residen penuh berisi hiburan mulai dari LCD yang tersambung PS3, Wi-Fi, stasiun televisi berbayar dengan ratusan chanel, kulkas lengkap dengan pantry untuk memasak dan banyak tempat tidur nyaman. Sayangnya, semua itu jarang tersentuh oleh para residen itu sendiri akibat terlalu padatnya kegiatan mereka. Ironis sekali kan?

"Aduh, semalem abis operasi sampe pagi, nggak sempet ke ruang residen udah tepar banget gue pengen tidur, langsung aja lari ke sini yang deket. Lagian kamar residen bedah itu kan penghuninya hampir sebagian besar cowok semua, bau keringet sama bau iler campur-campur. Kalo kamar koas tuh wangi, apalagi bunk bed yang ini, ini tempat tidur cewek ya?" aku melirik tempat tidur dokter Reno, yang jelas-jelas tertutup sprei pink stroberi.

"Iya, tempat tidur koas cowok yang itu, sama aja kok baunya nggak jauh-jauh dari keringet sama iler." Aku mengedikkan kepalaku ke arah tempat tidur koas laki-laki yang memang jauh dari kata rapi. Dokter Reno mengangguk-anggukkan kepalanya dan menguap lebar. Ia segera beranjak dari tempat tidur dan masuk kamar mandi, sementara aku membuka pintu kamar jaga lebar-lebar. Bukan apa, aku merasa tidak nyaman berdua dengan dokter Reno di ruangan tertutup seperti ini. Aku yakin tidak akan terjadi apa-apa, tapi orang lain yang melihat belum tentu berpikir sama. Tak lama ia keluar dengan wajah dan rambut yang setengah basah, pasti tadi sengaja mencuci muka untuk menghilangkan kantuknya.

"Jadi ... gue udah denger nih berita duka tentang lo yang bakal ngebabu lagi di bedah." Aku tersenyum kecut,

"Nggak tau nih gue harus seneng apa sedih denger beritanya, yang jelas ... gue tuh berasa kek ibu-ibu yang denger berita kalo IRT-nya nggak jadi resign setelah pulang Lebaran ke kampungnya."

Sillage (Doctor Soldier Romance)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang