" ... aku seperti kamu juga sama-sama nggak mengharapkan pernikahan ini terjadi, tapi aku janji sama diriku sendiri untuk berusaha semampuku membahagiakan kamu ..."
Aku masih ingat jelas kata-kata yang Ibram sampaikan padaku di malam pertama pernikahan kami. Aku tertawa getir sambil mengusap mataku yang masih terasa pedih karena tidak berhenti meneteskan air mata.
Is that for real? Mau bahagiakan aku katamu? Tapi nggak sadarkah kamu, kata-katamu nyakitin aku Bram ...
Kamu kenapa sih? Sesulit itukah kamu untuk percaya sama orang? Apa aku masih juga orang asing buat kamu? Aku pikir kita belakangan ini sudah dekat kan Bram? Kita udah baik-baik aja ... And I thought you like me too? Atau aku yang ke-ge-er-an? Aku ya yang salah baca gestur kamu belakangan ini?
Apa yang salah sama kita sih Bram? Kenapa kamu nggak kasih aku kesempatan untuk bicara? Aku kira kamu lebih baik dari ini ... kenapa kamu nggak percaya sama aku?
Pertanyaan-pertanyaan itu tidak berhenti bermunculan di kepalaku, membuat dadaku terasa makin sesak. Aku menarik napas dalam-dalam, memandang Vica yang kini terlelap di sofa ruang tamu. Ia segera datang tadi tak lama setelah aku menelponnya, karena apartemenku dan Vica hanya berjarak satu lantai.
"Halo Nyonya Abraham, gimana surprise-nya? Lo telpon gue buat nanya dimana gue simpen lingerie-nya ya?" tanya Vica di ujung sana sambil tertawa. Aku sebenarnya ingin tertawa mendengar pertanyaan Vica, tapi tertawa ngenes ...
"Vic ... lo dimana sekarang?" tanyaku pelan.
"Di kamar lah ... tapi ini mau keluar, gue diajak nge-date sama Rifan. Lo masih inget Rifan kan?"
"Nggak. Lo bisa ke tempat gue sekarang nggak Vic?" tanyaku dengan suara parau.
"Bisa ... tunggu-tunggu ... Lo kenapa? Ibram mana??"
"Nggak tau Vic ... Ibram marah besar, terus dia pergi. Lo bisa ke sini sekarang kan Vic?" tanyaku lagi sambil terisak menahan tangis.
"Marah? Lho kok marah?? Gimana sih tuh anak! Oke oke gue ke sana sekarang ya... you don't do anything stupid, kay? I'll be there in five!" Vica menutup telepon tepat setelah terdengar olehku ia mengatai Ibram dengan kata-kata kasar.
Begitu Vica datang, ia segera memelukku ketika menemukanku memeluk bantal di sofa ruang tamu dan terus menenangkanku sampai tangisanku agak mereda. Kemudian aku menunjukkan padanya amplop coklat sumber masalah itu dan Vica hanya menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Cuma berdasar foto ini aja? Terus dia ngamuk gitu?" aku mengangguk.
"Ibram bego." Gumam Vica sambil menggertakkan giginya.
"Emang lo nggak nyoba jelasin ke Ibram? Si Reno ini bukannya udah punya pacar ya kata lo?"
"Iya ... tapi dia nggak mau denger Vic ... dia nggak percaya sama gue." Vica menghela napasnya dan merangkul pundakku lagi.
"Oke, sekarang lo tenang dulu ya. Gue nginep di sini malem ini nemenin lo, okay?" aku mengangguk.
"Thanks ya Vic, sorry gangguin lo malem mingguan." Vica tertawa kecil,
"Kayak nggak biasanya lo gangguin gue." Kemudian kami terdiam dengan pikiran kami masing-masing. Aku bertanya-tanya dimana Ibram, dan Vica ... entah apa yang dia pikirkan.
"Len ... kenapa lo nggak cerita?" aku menegakkan punggungku dan memandang sahabatku,
"Cerita apa?"
"Kenapa lo nggak ngaku ke gue tentang perasaan lo ke Ibram?"
"Lo sayang sama dia kan Len?" tanya Vica lagi ketika aku tidak menjawab pertanyaannya.
"Seinget gue, lo terakhir kali ngerasa sesedih ini waktu Nenek yang paling lo sayang itu meninggal Len. Jadi gue rasa, lo nggak akan sesedih ini juga kalo lo nggak sayang sama Ibram. Ya kan Len?" Aku menunduk dan pipiku terasa basah lagi oleh air mata yang baru saja terjatuh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sillage (Doctor Soldier Romance)
Romance"Seperti Ibram yang kerap datang dan pergi, meninggalkan jejak kehadirannya di setiap sudut apartemenku, di sweater yang selalu menemaniku tiap malam hingga terlelap, ia juga meninggalkan kesan mendalam di dalam hatiku. Bahkan sejak awal kami bertem...