"Meja yang itu di pojok sana ya, Om. Terus koper-kopernya diletakkan di kamar belakang aja."
"Siap, Bu."
Hari ini aku menjadi mandor di rumah Ibram, atau lebih tepatnya, rumah dinas yang akan kutinggali bersama suamiku selama ia berdinas di Batalyon ini. Hari ini juga, aku resmi pindah ke rumah ini. Setengah barang-barangku di apartemen kupindahkan kemari, sedangkan setegahnya lagi kutinggal di sana. Rencananya, apartemenku itu akan kusewakan untuk adik kelas yang ingin mencari tempat tinggal selama koas di sana.
Aku pernah cerita kan ? Bagaimana kaku dan 'gersang'nya rumah Ibram selama bujangan? Maka hari ini akhirnya aku lega sekali bisa menyulap rumah ini menjadi lebih layak huni dan penuh dengan sentuhan wanita. Furnitur-furnitur bergaya shabby chic kutambahkan di setiap sudut rumah, tanpa mengubah banyak tatanan interior rumah Ibram sebelumnya. Suamiku itu tidak protes sekali, bahkan ikut membantu anggota-anggota memindahkan barang-barang. Sesekali ia mencuri pandang melihatku dari jauh sambil menyunggingkan senyumnya, seolah puas dengan taktiknya yang berhasil membawaku lebih dekat dan hidup bersamanya.
Yang lucu adalah ketika beberapa hari kemudian seorang anggota menghadap untuk bertemu Ibram. Ia yang sudah masuk ruang tamu kemudian keluar lagi dan melihat foto dan nama yang terpasang di dinding teras untuk memastikan bahwa ini benar rumah dinas Kapten Ibram. Ketika ia duduk di ruang tamu dengan Ibram di hadapannya pun, Om Danan, anggota kami itu berulang kali melirik ke sekeliling ruangan dan menahan senyum.
"Kau ini cengar-cengir lagi daritadi. Heran ya liat rumah saya jadi begini?"
"Siap, tidak Ndan!" ucapnya sambil menahan tawa. "Rumahnya jadi lebih hidup, Ndan."
"Iya, ini kerjaan istri saya." kata Ibram bangga. Oh, apa aku sudah pernah bilang? Bahwa aku juga hobi sekali wall painting. Jadi seminggu sebelum aku pindah kemari, aku dengan senang hati melukis di dinding-dinding rumah Ibram. Terutama di ruang tamu yang awalnya dicat abu-abu membosankan itu, kulukis dengan warna semburat awan dan langit berwarna putih dan biru muda. Aku juga menambahkan palet kayu yang dipasang berbentuk segi lima di salah satu dinding untuk menambah kesan tiga dimensi.
"Memang harus ada perempuan ya Ndan di rumah, supaya hidupnya lebih berwarna. Sekarang kan Danki jadi lebih banyak senyum." kata Om Danan.
Aku yang saat itu sedang menonton TV di ruang tengah, tertawa mendengar pengakuan anggota kami itu. Ketika Om Danan sudah pulang, Ibram masuk ke ruang tengah dan menatapku sebal.
"Lain kali kayaknya kalau ada anggota bawa urusan kantor, nggak aku ijinin dateng ke rumah deh."
"Loh kenapa?"
"Nanti kamu nguping."
"Kenapa sih? Takut banget kayaknya kalau ketauan galak. Aku udah tau kali, kamu perwira paling galak kan di sini?"
"Kata siapa?"
"Ada deh ..." jawabku sambil mengubah nada suaraku menjadi lebih maskulin, menggodanya. Ibram kemudian berjalan mendekatiku dan dengan satu kali gerakan memiting kedua tanganku dan menahan keduanya di belakang punggungku dengan satu tangan.
"Kasih tau aku, atau aku kelitikin sampai kamu jawab."
"Noooo!! Jangan dikelitikin!"
"Oh ... kamu gelian ya?" tanyanya sambil menyengir lebar.
"Please ... jangan. Aku teriak nih!!" kataku ketika melihat tangan Ibram yang bebas sudah bersiap-siap di pinggang kananku.
"Teriak aja, kan rumah sebelah kosong."
"Abaaaang ... please jangan ..." rengekku sambil menunjukkan wajah memelas. Tapi Ibram menggeleng,
"Kasih tau dulu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sillage (Doctor Soldier Romance)
Romance"Seperti Ibram yang kerap datang dan pergi, meninggalkan jejak kehadirannya di setiap sudut apartemenku, di sweater yang selalu menemaniku tiap malam hingga terlelap, ia juga meninggalkan kesan mendalam di dalam hatiku. Bahkan sejak awal kami bertem...