Part 4

278K 29.3K 2.9K
                                    

Seperti yang dilakukan kebanyakan orang untuk mencari informasi tanpa harus banyak bertanya sana-sini, maka itu pula yang aku lakukan saat ini untuk mencari tau hal apapun tentang Ibram : stalking.

Bukan tanpa alasan aku melakukan ini. Sejak menikah dengan Ibram, aku dan dia tidak banyak bicara, hanya mengatakan hal-hal yang perlu saja. Jadi bagaimana mungkin aku bisa mengetahui latar belakang Ibram selain dia yang anak Om Hendro? Aku masih ingat perbincangan terlama kami adalah sebelum Ibram kembali ke tempatnya dinas.

Suatu pagi saat sarapan, Ibram memberiku sebuah kartu ATM. Bagi para istri prajurit pastilah sangat mengenal kartu sakti berwarna merah putih ini. Itulah the infamous ATM Merah Putih yang rekeningnya biasa digunakan untuk transfer gaji.

"Ini ATM aku, sekarang kamu yang bawa aja." Aku yang masih antusias menghabiskan bubur manado hanya menatap heran kartu ATM yang tergeletak di hadapanku.

"Buat apa?"

"Jelas kan? Karena kamu udah jadi istri aku, kamu yang bawa."

"Bukan itu, memangnya kamu nggak butuh?"

"Oh, nggak. Aku masih ada simpanan lain. Kalau kamu butuh apa-apa ambil aja dari situ. Itu ATM nggak pernah aku pakai, memang aku siapkan buat istri aku."

"Maksudnya nggak pernah kamu pakai?"

"Ya itu dari pertama kali aku dinas gajinya belum pernah aku pakai sama sekali." Aku berhitung cepat di kepalaku, mengalikan masa dinas Ibram yang seorang letnan satu senior dengan gaji perwira remaja rata-rata. Meskipun aku sendiri juga dibekali tabungan masa depan oleh orang tuaku (yang sampai detik ini masih juga memberikan suntikan dana), tetapi ketika memperkirakan isi ATM itu aku cukup terhenyak juga.

"Udah nggak usah, bawa aja. Aku juga masih ada simpanan sendiri kok." Ibram mendengus, ia kemudian melipat kedua tangannya di depan dada dan menatapku. Seketika nafsu makanku menghilang, aku tau sekali arti tatapan itu. Seperti tatapan orang tua yang kesal karena anaknya sulit diberi tahu.

"Alina..." ucapnya dengan nada yang membuatku merasa inferior di bawahnya.

"Bisa aku minta satu hal dari kamu sekarang?" ketika aku tidak merespon, dia melanjutkan kata-katanya.

"Mulailah bersikap seperti seorang istri. Dengerin kata-kata suami kamu, ingetin kalo aku salah. Karena aku nggak akan bisa selalu ada sama kamu, jaga diri kamu baik-baik. Jaga harga diri kamu, jaga nama baik suami kamu, keluarga besar kamu. Apa pun yang kamu lakukan mulai sekarang akan semakin disoroti karena nama besar ayahku. Aku harap kamu ngerti itu." Ia beranjak dari kursi meja makan,

"Aku mau balik ke batalyon. Udah ditunggu komandan." Ucapnya sebelum melangkah ke luar rumah dan meninggalkanku sendirian.

Itu kejadian dua hari setelah pernikahan kami, ketika kami harus kembali ke kota masing-masing. Ibram kembali ke satuannya untuk berdinas dan aku kembali ke kota tempat rumah sakitku berada untuk menjalani sisa masa pendidikanku sebagai dokter muda atau sering disebut koass. Kalian pikir setelah menikah hubungan kami akan berprogres begitu? No, tidak sama sekali. Kami tidak pernah bertukar kabar sama sekali, ya ampun ... bahkan nomor handphone dia saja aku tidak punya.

Maka yang aku lakukan saat ini, di sela-sela belajar untuk persiapan ujian stase bedah, adalah mengetik nama lengkapnya di kolom search Facebook, Instagram, Ask.fm and whatever social media you can name it.

Facebooknya tidak banyak memberikan informasi. Hanya informasi dasar seperti tempat lahir dan SMP serta SMA saja yang bisa aku dapat. Foto terakhirnya bahkan dipost satu tahun yang lalu. Selanjutnya, instagram.

Dan itulah, aku menemukannya. 20.7k follower. Cih, selebgram.

Aku membuka satu persatu foto-fotonya dari atas, yang didominasi foto-foto Ibram saat berdinas dengan caption kata-kata motivasi untuk para follower-nya. Yang berkomentar rata-rata teman satu letting, junior maupun senior dan juga tidak jauh dari komentar "Follow back ya, Kak" atau "Abang ganteng bangettt, salam kenal ya Bang!".

Sillage (Doctor Soldier Romance)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang