"Kamu pikir rumah sakit ini punya nenek moyang kamu?? Seenaknya sendiri kamu janjian buat ujian terus tiba-tiba minta dibatalin gitu. Jangan main-main ya kamu!!! Baru koas aja udah banyak gaya!! Kamu pikir saya punya waktu banyak buat kamu?? Kerjaan saya itu banyak ya!!!" dokter Fina mencecarku ketika kuutarakan niatku untuk menunda ujian, sekali lagi, menunda bukan membatalkan.
Tadi sebelum masuk ke dalam kantornya, meskipun rasanya seperti menyerahkan tali di tiang gantungan untuk vonis eksekusi matiku, aku sudah membulatkan tekad untuk menebalkan muka dan menulikan telingaku. Aku sudah menyiapkan mental untuk hal-hal seperti ini, tapi tetap saja, berhadapan langsung dan mendengar kata-kata bersuara nyaring itu membuat nyaliku menguap seketika. Berdiri dengan gaya sikap sempurna koas –menunduk sedalam-dalamnya, pandangan mata ke arah sepatu, posisi kedua telapak tangan menelungkup, satu di atas yang lain, diletakaan di depan rok/celana- aku memberanikan diri untuk bicara,
"Mohon maaf dokter kalau tidak berkenan, saya tau saya salah. Tetapi ini ada acara mendadak di satuan suami saya dan saya wajib hadir. Ini ada surat dispensasi dari satuan suami saya dokter, mungkin bisa digunakan untuk pertimbangan." Begitu melihat raut wajah dokter Fina, aku mengigit bbir bawahku, sadar bahwa telah meyebutkan kata haram itu dari mulutku.
"Heh! Saya itu nggak peduli ya kamu udah nikah atau belum! Saya nggak suka kamu bawa-bawa suami kamu buat alasan! Kalau memang belum siap ujian ya belajar! Nggak usah sampai ngerengek sama suami minta dibuatkan surat ijin! Kamu mau nyindir saya ya mentang-mentang saya belum ada suami jadi kamu mau pamer kalo ada yang ngelindungi kamu? Keluar kamu dari ruangan saya!! Refresh tiga bulan!!" aku menghela napas putus asa dan segera berlalu dari hadapan dokter Fina sebelum ia menelanku bulat-bulat. Di luar ruangan, Rasyid dan keempat teman kelompokku yang lain sudah menunggu dan menatapku iba.
"Gue nggak perlu pasang candid cam, suaranya udah kedengeran sampe sini. Sabar ya..." Rasyid menepuk-nepuk bahuku bersimpati.
"Hah? Sekeras itu ya suaranya?" tanyaku lemas.
"Iya. Loud and clear. Itu serius refreshnya tiga bulan? Sama aja lo ngulang stase bedah kan?" Tanya Kendra, teman perempuan sekelompokku.
"Aduh, nggak tau deh gue. Dipikir ntaran aja deh, gue udah ditunggu soalnya."
Aku melangkah gontai ke tempat parkir mobil dimana supir yang diutus Ibram telah menungguku. Iya, pagi tadi sebelum aku berangkat ke rumah sakit, tiba-tiba aku dikejutkan dengan kedatangan seorang laki-laki berseragam loreng di pintu apartemenku. Dia bilang namanya Gunawan, kulihat tanda dua strip merah di lengan bajunya yang menandakan ia seorang Pratu (Prajurit Satu).
"Izin Ibu, saya diperintah Letnan Ibram untuk jemput Ibu dan mengantar Ibu ke asrama."
"Kok repot-repot sih Om jemput saya? Saya kan bisa ke sana sendiri." Ucapku heran.
"Izin Bu, katanya supaya Ibu tidak capek. Oh iya, ini surat dispensasi dari stafpers untuk perizinan Ibu." Cih, kayak gue nggak tau aja alesan sebenernya. Ini mah pasti supaya mastiin gue nggak bisa kabur!
"Yaudah Om, tunggu di mobil aja ya, saya mau siap-siap dulu. Oh iya, saya mau ke rumah sakit dulu kalo gitu Om. Habis itu baru kita ke batalyon ya? Om naik apa ke sini?"
"Siap Bu. Saya tunggu di tempat parkir ya Bu. Saya bawa mobil suami Ibu, Harrier warna hitam."
Dan mobil hitam itu juga yang sekarang terparkir di depan lobby rumah sakit menungguku, akan mengantar ke tempat suamiku berada.
*
Aku sampai di asrama menjelang sore. Begitu aku memasuki gerbang kesatrian aku terbawa suasana nostalgia, teringat ketika aku masih kecil dan selalu mengikuti ayahku berpindah-pindah tempat dinas. Suasana asrama militer selalu memberikan kenangan tersendiri, terasa sangat berbeda dengan lingkungan komplek perumahan yang kini orang tuaku tinggali. Dimana-mana tentu saja bangunan bercat hijau khas angkatan darat, tampak para rajurit yang sedang menyapu, memotong rumput dan kegiatan bersih-bersih lainnya atau disebut dengan korve.
Anak-anak kolong berkumpul di berbagai sudut asrama, bermain sepeda, bermain bola atau permainan lain yang menunjukkan bahwa kehidupan asrama sedari dulu tidak berubah. Individualitas hampir tidak ada, seluruh penghuninya saling bersosialisasi satu sama lain layaknya sebuah keluarga super besar. Tidak heran Mama dan Papaku selalu merindukan kehidupan di asrama seperti ini.
Om Gunawan memarkirkan mobil di garasi rumah dinas berwarna hijau pupus yang di dinding terasnya terpasang foto Ibram. Ini pertama kalinya aku menginjakkan kaki di asrama ini maka tidak heran ketika tiba-tiba perutku terasa mual dan ingin memuntahkan roti sobek yang kumakan selama perjalanan kemari. Ada perasaan asing yang tiba-tiba menghampiriku, aku sadar bahwa aku sendirian di sini. Tanpa orang tua yang akan membimbing dan menemaniku, tanpa sahabat yang bisa segera kudatangi jika aku ingin curhat, dan juga tanpa ... suami yang benar-benar mencintaiku.
"Izin Ndan! Istri sudah kami antarkan dengan selamat!" ucap Om Gunawan mengagetkanku. Aku berbalik dan melihat Ibram di teras rumahnya, menerima kunci mobil dari Om Gunawan.
"Oke, makasih ya Bro." Ibram tersenyum kecil dan ketika mata kami bertautan, senyum itu menghilang.
"Masuk, Alina." Perintahnya. Aku kemudian menggeret travel bag dan melangkah masuk ke dalam rumahnya.
Untuk ukuran rumah dinas, rumah ini cukup besar untuk kami berdua. Interior ruangannya sangat memperlihatkan sifat Ibram, dindingnya dicat warna abu-abu dan kebanyakan furniture berwarna hitam, terasa dingin ... dan kaku. Tidak banyak barang di rumah ini, ruang tamu hanya berisi satu set kursi tamu berbahan kulit warna hitam dan mejanya. Lebih masuk lagi di ruang tengah hanya berisi sofabed dan di depannya TV lengkap dengan rak berisi DVD player, PS 3 dan receiver parabola. Di pojok ruangan terdapat sebuah lemari hitam yang penuh berisi buku. Satu-satunya barang yang membuat ruangan ini tampak berpenghuni hanya sebingkai foto keluarga Ibram yang digantung di tengah ruangan. Selain itu, kosong ... dan membuatku gatal ingin menambahkan sentuhan wanita di sana-sini. Aku tidak ingin membayangkan kamar tidurnya, karena pastinya lebih kosong daripada ini.
"Aku tidur dimana?" tanyaku. Ibram membuka pintu di ruang tengah yang ternyata memang pintu ke kamar tidur. Di dalamnya, di luar dugaanku, kurasa adalah ruangan yang paling terlihat hidup dari semuanya. Dinding kamar itu bercat putih dan sebagian dipasang wallpaper bermotif bunga sakura. Terdapat sebuah ranjang besar dari kayu yang dicat putih dan berbingkai emas berukiran khas Jepara dengan spring bed dan bed cover berwarna putih tulang. Di samping tempat tidur itu terdapat meja rias yang berwarna dan motif sama dengan tempat tidurnya, juga lemari pakaian di depan tempat tidur.
"Ini hadiah dari Bundaku, buat kamu. Kamar kamu di sini, aku biasanya tidur di kamar sebelah di ruang kerjaku, atau di depan TV. Kamar mandi ada di belakang, dapur di sebelahnya. Soal makanan, biasanya aku katering dari kantin atau makan di luar. Tapi kalau kamu mau masak, biasanya ibu-ibu belanja bahan makanan di warung belakang asrama atau entah dimana kamu tanya aja nanti sama mereka." Kata Ibram menjelaskan. Ini kurasa adalah kalimat Ibram terpanjang yang dia ucapkan padaku tanpa nada dingin dan men-judge, membuat rasa gugupku perlahan berkurang. Ternyata Ibram bisa bersosialisasi dengan normal, saudara-saudara!
"Satu jam lagi kita ke rumah Komandan, kamu kan belum pernah ngadep istrinya langsung. Sekarang mending kamu siap-siap, pakai baju yang sopan." Aku memicingkan mataku, I know his kindness wouldn't last so long ... nggak bisa apa gue napas bentar??
KAMU SEDANG MEMBACA
Sillage (Doctor Soldier Romance)
Romance"Seperti Ibram yang kerap datang dan pergi, meninggalkan jejak kehadirannya di setiap sudut apartemenku, di sweater yang selalu menemaniku tiap malam hingga terlelap, ia juga meninggalkan kesan mendalam di dalam hatiku. Bahkan sejak awal kami bertem...