Bonus Chapter - Pangeran Kutub

248K 17K 523
                                    

(a/n yang follow instagram aku mungkin paham ya kenapa tiba-tiba aku post ini. Hahahahhaha ... jadi ceritanya tadi nemenin suami & jagoan kecilku liat kirab taruna-taruni Akmil yang pamit sama Kota Magelang. Intinya, ketemu Danpoltar yang lagi ngawal GSCL dan taruna Capaja itu, eh ... jadi kangen deh sama Ibram.
Ini cerita flashback ketika Ibram pertama kali ketemu Alina saat pengajuan. So ... here it goes ...)

Ibram

Aku menghela napasku panjang, entah sudah yang keberapa kalinya sejak satu setengah jam terakhir. Kaki kananku terus menghentak pelan berulang kali di karpet mobil, tidak sabar. Dan mungkin untuk yang keseratus kalinya, aku mengangkat lengan kanan untuk melihat jam tangan yang melingkar di situ.

"Gila aja Gun, udah hampir satu setengah jam kita nunggu di sini! Nggak tau waktu banget dia!" Anggota yang paling dekat denganku di batalyon itu melirikku dari kursi supir, menjawab takut-takut ...

"Siap, Pasi. Mungkin macet ..."

"Klise. Jakarta nggak macet Cuma pas lebaran Gun! Ya harusnya dia antisipasi dong, berangkat subuh kek, apa kek ... Apa perlu saya ngadep Pangkostrad sendirian?"

"Siap, Pasi. Tapi Pasi, masa ya ada sih ... pengajuan sendirian, nggak sama calon istri." Gunawan terkekeh melihatku yang sudah mulai frustasi menunggu.

Aku paling tidak suka dengan orang yang tidak menghargai waktu. Apalagi dengan orang yang baru kukenal, penilaianku bisa berubah drastis pada orang-orang yang tidak disiplin seperti ini. Sayangnya, pada kasus ini, orang itu adalah calon istriku sendiri. Kalau dari awal dia sudah membuatku hilang kesabaran seperti ini, aku tidak bisa membayangkan hidupku ke depan jika harus menghabiskan waktu dengan orang seperti dia.

"Izin, dihubungi aja gimana, Pasi?" aku terdiam.

Ya mau gue juga gitu kali, jadi gue tau dia udah sampe dimana, atau paling nggak ... gue tau alasan kenapa dia bisa sampe telat! Tapi masalahnya ...

"Jangan bilang Pasi belum punya nomor handphone-nya lagi?" Gunawan bertanya padaku lagi setelah aku tidak merespon pertanyaan sebelumnya.

"Ya kalo saya tau pasti udah saya hubungi dari tadi, Le ..."

"Siap Pasi ... hihihi ... kok bisa gitu Pasi, ini kan calon istrinya." Gunawan menjawab sambil terkekeh pelan.

"Kau itu malah ngeledekin saya lagi."

"Siap salah, Pasi." Ucapnya lagi tanpa rasa takut sedikitpun. Aku tau Gunawan kali ini benar-benar puas meledekku yang biasanya tampak garang berubah sensitif seperti sekarang.

Aku hendak menghubungi Bundaku untuk menanyakan nomor handphone dia ketika sebuah mobil Outlander Sport putih melintas di depan mobilku dan memelankan lajunya untuk parkir tidak jauh dari mobilku. Meskipun sejak satu setengah jam yang lalu mobil-mobil pribadi maupun dinas berlalu-lalang di depanku, tapi entah kenapa mataku tidak berhenti memperhatikan mobil yang satu ini. Dan benar saja, ketika pintu penumpang belakang terbuka dan dari sana turun seorang gadis berseragam hijau apel tanpa lencana, rasa kesalku berubah seketika.

Hatiku berdesir ketika melihatnya, ia jauh lebih cantik dari foto-foto yang sering dikirimkan Bunda kepadaku. Ia bagaikan tokoh utama dari sebuah komik heroin yang keluar begitu saja dari khayalan-khayalanku selama ini : begitu nyata, begitu sempurna. Ketika matanya mengernyit dan tangan kanannya melindungi mata itu dari teriknya sinar matahari Jakarta, aku serasa ingin segera keluar untuk memayunginya dan memberinya kesejukan. Too cheesy ... I know ...

Empat tahun sejak Bunda mengirimkan fotonya padaku pertama kali dan sejak saat itu aku sudah setiap hari bersyukur pada Allah telah mengirimkan dia untukku lewat kedua orang tuaku. Tapi aku tau saat itu aku maupun dia belum siap untuk mengabulkan keinginan kedua orang tua kami. Maka aku melakukan satu hal yang sudah aku lakukan bertahun-tahun sebelumnya : menunggu. 

Sillage (Doctor Soldier Romance)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang