Part 22

274K 22.3K 457
                                    

Jika bisa kulukis hariku dengan berbagai warna, maka satu bulan terakhir ini kanvas kehidupanku tidak lagi hitam-putih-abu kelam yang membosankan. Hidupku penuh dengan berbagai warna indah di permukaan bumi, kamu tau kan ... warnanya orang yang sedang mabuk cinta.

Aku dan Ibram memang menjalani pernikahan jarak jauh atau long distance marriage seperti banyak pasangan lainnya, dimana setelah kami mengakui perasaan masing-masing, pernikahan ini terasa berat karena rindu. Tetapi kami berkomitmen untuk saling jujur, terbuka dan terus berkomunikasi satu sama lain untuk menghindari permasalahan seperti yang lalu-lalu.

Lima bulan pernikahan kami dan Ibram akhirnya menunjukkan sisi lain yang belum pernah aku lihat selama mengenalnya. Ia memang terlihat sebagai sosok pemimpin yang tangguh dan berwibawa di hadapan anggotanya, tetapi aku yakin om-om tentara itu tidak akan tahu bagaimana manjanya seorang Letnan Ibram ketika sedang sakit.

Setiap satu minggu sekali saat weekend, Ibram selalu menyempatkan diri untuk datang ke apartemenku, melepas rindu katanya. Dan di suatu weekend, Ibram muncul di pintu apartemenku dengan tubuh demam dan batuk terus-menerus.

"Kamu kok panas gini sih? Lagi sakit ya?" tanyaku setelah melepas pelukannya. Aku menyentuh dahi Ibram dengan telapak tanganku lalu menggenggam tangan Ibram dan membawanya ke sofabed di depan TV.

"Iya kayaknya. Agak nggak enak badan nih."

"Terus kamu nyetir sendiri padahal sakit gini?"

"Nggak. Gunawan yang nyetir." Aku menggelengkan kepala.

"Sini tiduran dulu, lepas jaketnya. Aku periksa dulu suhu kamu." Maka aku pun mengambil thermometer di rak sebelah TV dan mengukur suhunya. Ketika terlihat angka 38,8 di thermometer, aku mulai panik.

"Kok tinggi gini sih? Kamu kemarin abis ngapain bisa sampe demam gini? Mana batuk terus gitu lagi!"

Ibram terbatuk-batuk lagi, seperti berusaha mengeluarkan sesuatu yang mengganjal di tenggorokannya.

"Kemarin habis renang, terus lari sore eh nggak taunya hujan. Selesai lari, aku nggak sempat ganti baju dipanggil Wadan, malamnya minum es." aku Ibram pelan seperti anak kecil yang tertangkap basah mencuri permen di lemari.

"Bagus ... terus aja gitu, kalau udah sakit aja kan ... bingung sendiri." Dan Ibram hanya tersenyum mendengar omelanku itu.

Aku meraih masker yang berada di tasku dan mengenakannya ke wajah Ibram.

"Ini kamu pake dulu ya, aku nggak mau ketularan."

Ibram menurunkan masker yang menutupi hidungnya,

"Boleh nggak pake ini? Nggak nyaman pakainya." Aku hanya diam dan memelototinya.

"Iya, aku pake."

"Oke, good. Aku siapin obat dulu buat kamu ya ... Udah makan?"

"Belum." Aku menghela napas.

"Makan dulu kalo gitu, itu aku baru bikin nasi goreng tuna."

"Nggak deh, lagi pait nih lidahnya."

"Tapi ini kan obatnya diminum setelah makan."

"Bisa kan nggak usah minum obat?" tawarnya. Aku menatap Ibram kesal,

"Ih, kamu nih ... istri kamu nih sebentar lagi jadi dokter loh! Jadi harus kebiasa dari sekarang, minum obat kalau sakit ..."

"Cuma masuk angin kayak gini, nanti kalo dibawa lari juga sehat lagi kok."

"Ibram nggak usah mulai deh ... dengerin kata-kata aku." Ibram memalingkan mukanya, tapi kemudian menatapku lagi dan tersenyum nakal.

"Ada loh kegiatan lain yang bisa jadi obat, jadi aku nggak perlu minum obat gitu. Kegiatannya itu bisa jadi ibadah, bisa dilakukan berdua ... terus huruf depannya 'S'." ucap Ibram sambil tersenyum jahil.

Sillage (Doctor Soldier Romance)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang