Part 10

244K 24.5K 860
                                    

Seperti saran Ibram, aku tidak membiarkan diriku duduk diam saat korve, sebisa mungkin terlihat sibuk, meskipun aku juga tidak tau kesibukanku ini berguna atau tidak. Aku ikut menyapu ketika ibu-ibu lain menyapu, mencuci piring ketika ibu-ibu lain cuci piring, juga remeh temeh lainnya. Beberapa dari mereka tampak tidak enak dan terus-terusan memintaku untuk duduk diam saja.

"Izin Bu Ibram, biar saya saja. Jangan ikut cuci piring Bu." Kata Bu Hari, seorang ibu berusia setengah baya yang dari usianya lebih cocok menjadi tanteku.

"Nggak papa, Bu. Saya udah biasa kok di apart... maksud saya di kos cuci piring sendiri. Kata temen saya, belum sah jadi persit kalo belum pernah cuci piring." Kataku teringat candaan di grup istri letting Ibram yang baru beberapa minggu belakangan ini aku ikuti.

"Iya, tapi nggak enak Bu diliatnya. Ibu kan anak Jendral, menantu Kasad pula, nanti dikira kami yang nggak mau kerja Bu." Aku mendengus, lagi-lagi orang tua dan mertuaku dibawa-bawa.

"Yang jendral itu orang tua sama mertua saya Bu, suami saya masih letnan. Sama aja ah sama Ibu-ibu." Ucapku gemas.

"Iya Bu, suaminya Bu Ibram kan masih letnan, biarin aja Bu, orang kerjaan junior ya memang begitu." Entah darimana datangnya, tiba-tiba Mba Astrid sudah muncul di belakang kami. Aku dalam hati manyun , 'nyamber aja deh si Mba satu ini'.

"Nih dek, buahnya dilap satu-satu. Jangan sampai lepas-lepas ya anggurnya." Mba Astrid memberiku satu keranjang besar berisi anggur hijau yang masih basah karena baru saja dicuci.

"Izin Mba, satu-persatu Mba dilap?" tanyaku tidak percaya.

"Iya. Kurang jelas ya saya ngomongnya?" aku menggeleng, bukan karena sudah paham maksud kata-kata Mba Astrid, tapi lebih karena tidak habis pikir. Buah tinggal dimakan kenapa pula harus sampe dilap satu-satu, nggak jamin juga kan kalau dikeringkan bakal bebas bakteri? Maka aku pun duduk di lantai menatap para anggur hijau itu kemudian mengambil tisu dan mulai melapnya, satu-persatu, butir-perbutir.

Tidak sampai situ, Mba Astrid juga memberiku tugas untuk menghias botol air mineral dengan pita, lima puluh botol air mineral lebih tepatnya. Untung saja ada ibu-ibu lain yang membantuku menyelesaikan semua tugas itu, kalau tidak mungkin aku akan terserang nyeri punggung karena terus duduk di lantai sambil membungkuk seharian.

Setelah semua selesai, Mba Rena mengumpulkan kami di aula kantor.

"Ibu-ibu, terima kasih atas kehadirannya. Sekarang sudah malam dan alhamdulillah persiapan sudah hampir selesai, jadi setelah ini ibu-ibu boleh pulang ya." Ucapnya lembut dan ikut tersenyum ketika melihat wajah lega ibu-ibu karena akhirnya diperbolehkan pulang. Aku melihat jam tangan, sudah jam sepuluh lewat, tak heran rasa kantuk ini terus-terusan menyerangku.

"Oh iya, untuk cinderamata sudah dibungkus semua ya Dek Astrid?"

"Siap sudah, Mba."

"Oke kalau begitu ibu-ibu pulang ya. Terima kasih sekali lagi, besok pagi kita kumpul jam tujuh pagi."

Ibu-ibu pengurus mulai beranjak dari duduknya dan bergegas pulang, begitu pula aku. Belum sampai ke luar pintu, Mba Astrid menarik lenganku,

"Dek, habis ini langsung ke rumah saya ya!"

"Izin Mba, ada yang bisa saya bantu?"

"Iya, adek ambil cinderamata di rumah saya, adek yang bungkus." Aku menaikkan alis,

"Izin Mba, tadi katanya sudah Mba?" tanyaku heran.

"Saya lupa dek. Jadi adek aja yang bungkus ya. Saya ada anak-anak di rumah, adek kan belum ada anak jadi adek nggak ada kerjaan kan? Tolong selesaikan ya!"aku menarik napas dalam-dalam, menahan diri untuk tidak emosi.

Sillage (Doctor Soldier Romance)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang