"Ibram! Coba kau ulang apa yang saya sampaikan barusan!" bentak Komandan di depan seluruh Danki, Staf dan seluruh perwira lain di batalyon yang hadir rapat siang itu. Ibram segera saja menegakkan posisi duduknya,
"Siap Komandan! Izin menyampaikan, Satu! Latihan tembak senjata ringan akan diagendakan tiga hari sekali dan bagi anggota yang nilainya masih di bawah rata-rata akan berada di bawah pengawasan bintara pelatih di kompi masing-masing. Dua! Lomba tontangkas tingkat divisi akan dilaksanakan satu bulan dari sekarang, diharapkan para Danki dan Staf mempersiapkan seluruh personel sebaik mungkin. Tiga! Para Danki segera menyiapkan data-data personel yang bermasalah atau berpotensi masalah untuk dipaparkan besok pagi. Selesai!" ucap Ibram lantang dan patah-patah.
Dari sejak awal pengarahan Komandan tadi, memang mata Ibram fokus ke handphone yang ada di tangannya dan hal itu tidak terlewatkan oleh Komandan, tetapi Ibram memastikan telinganya menangkap tiap pengarahan yang Abangnya itu berikan.
"Sekali lagi saya lihat kamu seperti itu, kulempar Hp kau ke kolam! Jelas?!"
"Siap jelas!" Bang Agung kemudian menatap Bang Zainal, Wakil Komandan yang duduk di sampingnya, dan memberi kode dengan kepalanya ke arah Ibram. Bang Zainal segera berdiri dan mengambil handphone di meja Ibram untuk disita.
*
Seluruh perwira sudah meninggalkan ruang data di Makoyon ketika rapat selesai kecuali Ibram, yang kini melipat tangan di depan dada, menyandarkan kepalanya ke kursi dan menutup mata. Bang Zainal menatap adik asuh di sampingnya itu dengan tatapan bertanya-tanya, kemudian mengambil handphone Ibram dari sakunya yang sempat ia sita tadi.
"Bagaimana cara memperlakukan istri menurut Islam ... ?" Bang Zainal membaca riwayat di Google search handphone Ibram.
"Kenapa tiba-tiba ilmu tentang berumah tangga begini jadi lebih penting dari pengarahan Komandan sih, Bram? Serius kamu yang kayak gini aja harus tanya Google?"
"Siap salah, Bang." Jawab Ibram pelan. Bang Zainal adalah senior yang paling dekat dengan Ibram di Batalyon karena masih dalam satu keluarga asuh, jadi Ibram bisa bersikap lebih santai di dekatnya.
"Kamu kenapa adik asuh ... ?" Sepengetahuan Bang Zainal, Ibram tidak pernah bersikap seperti ini sebelumnya, bahkan sampai mendapat teguran langsung dari Komandan.
"Izin Bang, saya nggak tau harus gimana, Bang. Makin hari saya ngerasa makin nggak becus jadi suami."
"Kalo kamu nggak tau harus gimana jadi suami terus ngapain kamu nikah?"
"Siap salah, Bang."
"Loh serius gue. Ngapain kamu nikah?" Bang Zainal mencondongkan tubuhnya lebih dekat ke arah Ibram dan berbicara lebih pelan,
"Jangan-jangan yang saya denger kalau kamu dijodohin itu bener ya?" Ibram terdiam agak lama, seperti mempertimbangkan jawabannya.
"Siap Bang, benar."
"Kok kamu mau?"
"Saya aslinya nggak mau lah Bang ... kayak jaman kuno aja hari gini masih dijodohin."
"Terus?"
"Abang pernah denger nggak Bang, tentang tiga orang dalam hidup yang akan terus nemenin kita? Dua orang kita nggak bisa pilih Bang, orang tua dan anak. Kita nggak bisa milih dilahirkan sama siapa, seperti kita juga nggak bisa milih punya anak yang kayak apa. Nah, yang satu lagi Bang : jodoh. Kalau jodoh ini kita bisa milih Bang, makanya harus bener-bener itu nyarinya.
"Nah kasus saya Bang, sejak saya ngerasa tertarik sama lawan jenis, orang tua saya memastikan kalau Cuma ada satu perempuan yang akan jadi istri saya nanti, ya Alina itu Bang." Bang Zainal mendengarkan dengan seksama curhatan Ibram, karena jarang-jarang adik asuhnya mau mencurahkan isi hatinya panjang lebar seperti ini.
"Walaupun saya nggak mau, tapi saya mana mungkin nolak sih Bang permintaan orang tua saya. Toh saya yakin, mereka milih jodoh buat saya juga nggak mungkin asal. Apalagi waktu tau bentuknya Alina, Bang, cantik gitu masa saya tolak. Terus saya pikir yaudahlah jalanin aja, paling gitu-gitu aja nikah." Bang Zainal menoyor kepala Ibram dari belakang ketika mendengar pengakuan Ibram tentang Alina.
"Ternyata?"
"Ternyata susah Bang jagain anak orang. Saya kayaknya lebih banyak nyusahin dia daripada seneng-senengnya. Perempuan apa memang gini ya Bang, susah banget dicari tau apa maunya, tiba-tiba aja dia nangis Bang, kan bingung saya."
"Kok bisa gitu? Kamu apain sampe nangis? Wah parah kamu ..."
"Saya nggak tau, Bang. Saya nggak tau mau dia apa, tiba-tiba aja udah nangis."
"Kok bisa kamu nggak tau? Emang kamu seberapa kenal sama Alina? Maksud Abang, apa aja yang kamu tau tentang istri kamu? Udah banyak ngobrol kan?"
"Belom Bang." Jawab Ibram polos.
"Ya ampun, Bram. Ya kamu cari tau dululah semuanya tentang istri kamu! Dia sukanya apa, hobinya apa, keluarganya gimana. Ini maksudnya supaya kamu bisa mulai pendekatan, kalau kamu nggak tau apa-apa tentang Alina, mana bisa kamu tau apa mau dia? Ya ampun Bram, masa kayak gini aja kamu harus diajarin sih?"
"Siap salah, Bang." Bang Zainal menggeleng-gelengkan kepalanya gemas.
"Yang kedua Bram, kalau kata mertua saya nih, sebaik-baiknya suami itu yang bersikap lembut sama istrinya. Jadi jangan pernah kamu kasar dan galak sama Alina. Wanita itu makin dikerasin makin susah ditaklukan." Ibram mengangguk dan tiba-tiba perutnya merasa mulas mengingat sikap dinginnya terhadap Alina selama ini.
"Nih handphone kamu." Bang Zainal menyodorkan handphone ke tangan Ibram.
"Sekarang hubungin istri kamu, tanya kek lagi ngapain, udah makan belum, atau basa-basi apalah. Kamu harus mulai bangun komunikasi dari sekarang."
"Siap Bang. Izin Bang, terima kasih atas nasihatnya."
"Iya. Dan jangan sampe kena tegur Komandan lagi gara-gara ini. Ngerti?"
"Siap, mengerti Bang."
*
Ibram mendengarkan nada sambung cukup lama, menunggu Alina mengangkat teleponnya, sampai ia hampir saja membatalkan niat menghubungi istrinya ketika akhirnya terdengar suara Alina di ujung sana.
"Assalamu'alaikum, ada apa Bram?" dan suara Alina masih memberikan efek yang sama meskipun sudah ia dengar berulang kali. Jantungnya berdegup kencang tanpa sebab tiap mendengar suara lembut Alina.
"Wa'alaikumsalam ... lagi ngapain kamu?"
"Eh? Lagi antar rekam medis pasien ke bangsal, ini baru mau visit pasien sama dokter spesialis. Ada apa?" Terdengar suara Alina yang terburu-buru.
"Kamu udah makan?"
"What? Ini kamu nggak salah tanya? Kenapa kamu jadi urusan banget aku udah makan apa belum? Kamu telpon ini ada apa, Bram? Ada kunjungan lagi atau gimana?"
"Aku Cuma nanya aja, Alina. Kenapa jadi kamu yang tanya balik sih? Tinggal dijawab aja susah kali."
"Ya masalahnya kamu nggak pernah tanya-tanya gini, kan aneh aku dengernya. Nggak pas aja gitu." Ibram mulai merasa kesal lagi dengan sikap Alina, bukannya ini yang disebut perhatian, kenapa jadi dia yang salah?
"Susah banget ya perasaan ngobrol sama kamu, harus tau kapan waktu yang pas kapan nggak."
"Bram, please deh ... aku lagi buru-buru, kalo mau ngomel nanti aja kalau kerjaanku udah selesai, aku layani dengan senang hati. Udah ya, ini konsulennya udah datang. Assalamu'alaikum."
Ibram menjauhkan handphone dari telinga dan melihat layarnya sekali lagi, memastikan kalau Alina memang benar-benar memutuskan saluran telepon. Dalam hati ia mendengus kesal, gimana ini mau mulai pendekatan kalau orang yang dideketin aja susah begini diajak ngomong baik-baik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sillage (Doctor Soldier Romance)
Romance"Seperti Ibram yang kerap datang dan pergi, meninggalkan jejak kehadirannya di setiap sudut apartemenku, di sweater yang selalu menemaniku tiap malam hingga terlelap, ia juga meninggalkan kesan mendalam di dalam hatiku. Bahkan sejak awal kami bertem...