Hati-hati, jangan pernah meremehkan tiga hal ini:
1. Marahnya orang sabar
2. Murkanya orang yang suka bercanda
3. Kecewanya orang setia
Kadangkala kita tidak pernah memahami, bahwa dibalik kemarahan seseorang, tersimpan pula rasa sakit dan kekecewaan yang mereka coba untuk sembunyikan. Itu berlaku untuk siapa pun, tidak terkecuali pada diri seorang Ibram.
Ia sore tadi hendak berangkat ke kota tempat Alina berada dengan rasa penuh harap bahwa kisah cintanya akan berakhir indah hari ini. Setelah menerima briefing singkat dari Vica, ia juga menyiapkan segala bentuk kejutan yang ia simpan di belakang mobilnya. Tetapi ia tidak mengira bahwa kejutan lain telah menunggunya di balik pintu rumah. Sertu Sinaga, salah seorang staf intel di batalyon berdiri di depan pintu dan takut-takut memberinya sebuah amplop coklat.
"Izin, Ndan. Ada kiriman dari Pasintel."
"Apa ini?" Sertu Sinaga tidak menjawab. Ketika Ibram melihat isinya, Ibram memukul amplop itu ke arah dada Sertu Sinaga.
"Kamu dapat darimana ini? Siapa yang kasih perintah untuk mata-matain istri saya? Hah?!"
"Siap, tidak tahu Ndan!"
"Heh! Jangan berani-berani kau bohong sama saya!"
"Siap tidak! Izin Ndan, saya hanya dapat perintah untuk antarkan ini, saya tidak tahu darimana asalnya."
"Mana pasintelmu sekarang?"
"Siap, sedang keluar Ndan!"
"Sampaikan ke pasintelmu, saya akan cari tau asal foto ini sampai ketemu. Kalau sampai saya tahu kamu bohong, saya hajar kamu." Sertu Sinaga menelan ludahnya,
"Siap."
Dan kemudian, dengan perasaan kalut memendam amarah, Ibram menyetir mobilnya ke tempat Alina. Selama perjalanan, Ibram tidak berhenti berpikir betapa bodohnya ia selama ini, begitu saja ia mempercayai sikap manis Alina, terlena oleh senyum dan tawanya sampai tidak melihat bahwa sesungguhnya telah hadir pria lain di sisi Alina ketika Ibram tidak ada. Sejak kapan? Apakah jangan-jangan mereka sudah dekat sebelum Ibram menikahi Alina? Apakah justru Ibram yang sebenarnya menjadi orang ketiga?
Maka ketika Ibram menatap langsung wajah innocent Alina di balik pintu apartemen, yang masih tetap saja atau bahkan lebih cantik dari biasanya, Ibram tidak bisa mengendalikan rasa kecewanya lagi. Bahwa wajah mempesona itu tidak bisa lagi ia miliki sepenuhnya, bahwa senyum yang membuat dunia seolah bersinar itu tidak hanya tertuju untuknya.
Ini pertama kalinya Ibram merasa tersakiti oleh seorang wanita, tetapi ia tidak mau menunjukkan semua itu di hadapan Alina, maka tanpa bisa dibendung, kata-kata menyakitkan itu keluar begitu saja. Dan kemudian Ibram memilih pergi, meskipun ia sesungguhnya ingin memohon agar Alina melihatnya ... memilihnya ... dan bukan laki-laki lain, tapi ia harus pergi. Karena Ibram tahu, semakin lama ia berada di dekat Alina, ia akan semakin menjadi pria kejam yang tidak memiliki perasaan lagi.
*
Saat ini Ibram berada di balik setir mobilnya, ber-istighfar atas sikap kasar dan kata-kata yang segera ia sesali telah ia tujukan pada istrinya itu. Dan sekarang, setelah kepalanya tidak lagi tertutup oleh kabut amarah, otaknya kembali berputar. Ibram mengutuk diri mempertanyakan logika dan segala sesuatu yang biasanya ia perhitungkan itu kenapa bisa menguap begitu saja oleh rasa marah.
Ia ingin kembali dan memeluk Alina, bertanya dimana yang salah, siapa yang salah, tetapi ia tidak bisa kembali sebelum menemukan jawaban. Ibram juga bukan tipe pria yang membiarkan masalah berlarut-larut. Maka malam itu juga, Ibram segera menyetir mobilnya ke arah rumah sakit tempat Alina menuntut ilmu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sillage (Doctor Soldier Romance)
Romance"Seperti Ibram yang kerap datang dan pergi, meninggalkan jejak kehadirannya di setiap sudut apartemenku, di sweater yang selalu menemaniku tiap malam hingga terlelap, ia juga meninggalkan kesan mendalam di dalam hatiku. Bahkan sejak awal kami bertem...