Vica mengumpat nama Alina dalam-dalam ketika ia mengedarkan pandangannya di kafetaria barat Rumah Sakit tempat sahabatnya dirawat dan sekaligus bersekolah.
Ini mah namanya ladang harta karun! Kampret Alina nggak pernah bilang ada banyak barang bagus di sini, pantesan aja nggak pernah mau diajak ketemuan di rumah sakit! Ya Allah, selamatkan aku dari para pria berjas putih, berwajah intelek dan obrolan tingkat tinggi mereka yang kedengeran sexy ini Ya Allah ...
Vica menarik napas dalam dan mengeluarkannya perlahan, mencoba menenangkan jantungnya dan bersikap cool saat mengenakan aviator coklatnya agar bisa bebas memandangi satu atau dua pria berjas putih yang ada di seberang meja. Kafetaria ini adalah salah satu tempat berkumpulnya para koas, residen dan bahkan dokter spesialis yang datang untuk mengisi perut mereka di sela-sela kegiatan yang padat. Banyak dari keluarga pasien atau pasien itu sendiri juga datang ke kafetaria ini untuk makan dan minum, atau seperti Vica, cuci mata dan mencari jodoh.
Vica sudah hampir menghabiskan kopinya yang kedua, ketika sekali lagi ia mengedarkan pandangan sambil mencari target baru sekaligus mencari sosok yang ia tunggu dari tadi. Karena walaupun ia betah di sini, lama-lama ia jengah juga dengan tatapan beberapa pria (yang sayangnya tidak termasuk targetnya) terang-terangan menatapnya. Ia sebenarnya senang saja menjadi pusat pehatian, tetapi tidak hari ini, tidak ketika ada hal lain yang lebih penting untuk dilakukan dan ... tentu saja karena sebagian besar dari para pria ini mengenal Rasyid.
Satu menit kemudian, sosok yang ia tunggu itu menunjukkan batang hidungnya.
Omong-omong, kalian pernah memperhatikan bagaimana kebanyakan tentara berjalan? Walaupun berpakaian sipil, cara berjalan mereka yang tegap, tatapan yang tajam menjurus ke depan rata-rata air (kecuali yang lagi cari mangsa ya ...), dan gerakan tangan yang seolah sudah diset seperti sedang berbaris itu dengan sendirinya memisahkan mereka dari para pria lain di sekitarnya.
Seperti itulah sosok yang sedang Vica perhatikan sekarang. Meski masih berada sekitar lima puluh meter darinya, tapi ia bisa langsung menangkap sosok pria itu dari jauh. Dia memang bukan taruna lagi, tetapi bertahun-tahun berjalan dengan gaya seperti itu tentu saja gaya berjalan taruna itu sadar atau tidak sadar masih ia bawa sampai sekarang. Meski hanya mengenakan kaus polo berwarna putih, celana khaki selutut dan sepatu skechers biru, ia sukses membuat para wanita di kafe ini sekedar melirik, menoleh atau bahkan berhenti makan untuk melihatnya lebih jelas. Ibram adalah sedikit dari pria-pria yang memiliki kharisma itu tanpa susah-susah berusaha keras. Kharisma itu sudah ada bahkan sejak Ibram belum mengenyam pendidikan di akademi militer.
Vica tidak bohong kepada Alina ketika ia mengatakan bahwa Ibram pernah menjadi salah satu incarannya saat masih SMA, padahal sekolah Ibram berada jauh dari sekolah Alina dan Vica. Tapi tetap saja Vica dengan mudah menemukan Ibram yang tertangkap radar khusus penangkap pria-pria berkualitas tinggi miliknya itu. Dan mengenal Alina selama belasan taun, Vica paham sekali bahwa laki-laki seperti Ibram ini jelas adalah tipe ideal Alina. Karena itulah, Vica belakangan ini semakin bersemangat menunggu hari ketika Alina akhirnya mengaku padanya bahwa dia sudah jatuh cinta dengan suaminya sendiri.
Vica kemudian melepas aviatornya ketika Ibram berada di hadapannya,
"Halo, Bram? Long time no see ya? Kayaknya kita terakhir ketemu di pernikahan anaknya Pangdam Jaya kemarin kan?" Ibram hanya mengangguk sedikit dan tersenyum tipis, kemudian duduk di kursi di seberang Vica. Ya ampun, masih pelit senyum juga ini cowok!
"Jadi ... kenapa lo tiba-tiba minta janjian ketemu gue di sini? Ada apa? Alina tau lo ketemu gue sekarang?"
"Nggak." Jawab Ibram datar dan membuat Vica semakin terheran-heran. Sekitar beberapa hari yang lalu ia dibuat terkejut ketika Ibram menghubungi nomor pribadinya dan mengajaknya bertemu. Satu, darimana Ibram mendapatkan nomornya? Dua, from all of the people, ini Ibram lho ... Pangeran dari Kutub Selatan yang namanya beberapa bulan terakhir ini sudah terlalu sering Vica dengar dan baca karena Alina menceritakannya tanpa henti.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sillage (Doctor Soldier Romance)
Romance"Seperti Ibram yang kerap datang dan pergi, meninggalkan jejak kehadirannya di setiap sudut apartemenku, di sweater yang selalu menemaniku tiap malam hingga terlelap, ia juga meninggalkan kesan mendalam di dalam hatiku. Bahkan sejak awal kami bertem...