Part 18

256K 22.9K 2K
                                    

Pagi tadi dokter Kevin, dokter spesialis penyakit dalam yang menanganiku, melakukan visit terakhirnya dan memberiku kabar baik : aku boleh pulang. 

Maka sekarang kamarku sedang ramai karena kedatangan teman-teman kelompok koasku dan beberapa residen yang cukup dekat denganku seperti dokter Reno dan dokter Zaki. Mamaku menyuruh mereka datang untuk menghabiskan makanan yang masih menumpuk, pemberian teman-teman dan anggota Mama Papa saat membesukku.

"Suami lo mana Alina? Katanya kemarin nemenin?" tanya dokter Reno di samping tempat tidur sambil memakan potongan red velvet yang dibagikan Mama. Bayangin aja tante-tante Jendral dan Kolonel itu kalau jenguk orang sakit yang dibawa macam opera cake, red velvet cake, cheesecake dan sebangsanya. Ini mau jenguk  anak orang apa mau arisan sosialita coba?.

"Tadi ke kafe katanya, mau sarapan. Paling sebentar lagi balik. Sssshhh ... aduh ..." aku memijat-mijat pergelangan tanganku yang pegal setelah infus dilepas.

"Kenapa lo?"

"Nggak tau nih, pegel banget tangan saya yang ini."

"Mana liat?" dokter Reno menarik tangan kananku,

"Ini phlebitis deh kayaknya tangan lo. Dikasih gel penghilang nyeri aja dulu sama dikompres hangat." Aku mengangguk sambil meringis kesakitan ketika tangan dokter Reno mengurut pergelangan tanganku yang mulai memerah dan bengkak itu.

"Penasaran gue sama suami lo, kayak apa sih aslinya ..."

"Iya nih gue juga, waktu gue terakhir ketemu dia kan belom sempet kenalan gue. Kenapa tangan lo?" Ucap Rasyid yang tiba-tiba ikut nimbrung di ujung tempat tidurku.

"Phlebitis. Emang kapan lo pernah ketemu Ibram?"

"Di pelaminan lo lah ... dia harus tau, gue nih laksana Abang yang siap menjaga lo dari pria-pria macam dia." aku menatap Rasyid malas,

"Emang dia pria macam apa maksud lo?"

"Pria yang nggak concern sama masa depan lo, pria yang bikin lo hampir ngulang bedah tiga bulan dan bikin lo ambruk sampe masuk rumah sakit." Jawab Rasyid sinis. 

Aku sebenarnya tersentuh juga dengan bentuk perhatian Rasyid seperti ini, karena jarang-jarang dia terang-terangan membelaku, tapi tidak ketika Mamaku hanya dua meter jaraknya dari kami.

"Ssssttt!! Jangan kenceng-kenceng! Nanti Mama gue denger!!"

"What? Jadi nyokap lo masih nggak tau kelakuan menantunya?" aku melotot dan menggertakkan gigi,

"Lo diem aja deh, Syid. Gue belum sempet curhat ke Mama, abisnya ... belakangan ini Ibram so sweet banget, langsung lupa deh gue sama semuanya." kataku sambil memberikan tatapan berbunga-bunga penuh cinta.

"Ih, langsung ilang nafsu makan gue dengernya. Yaudah terserah elo deh, tapi kalo sampe dia bikin lo nangis lagi, bilang sama gue! Biar gue datengin asramanya!"

"Terus lo mau ngapain kalo udah sampe sana?"

"Ya nggak ngapa-ngapain sih ... mau silaturahmi aja." aku dan dokter Reno tertawa,

"Nggak guna lo, Syid! Malu-maluin gen XY aja!" dokter Reno meninju lengan Rasyid.

"Yang penting kan gaya dulu, Bang ..." belum selesai Rasyid ngeles, terdengar suara nyaring sahabatku yang juga mantan kesayangan Rasyid itu.

"Alinaaaaaaa!"

Aku dan Rasyid saling tatap, kemudian aku menaikkan alisku.

"Gue suka heran sama diri gue sendiri, bisanya gue punya mantan suaranya ngalahin toa masjid kek Vica." aku tertawa melihat raut wajah Rasyid yang seolah gemas dengan Vica tapi sebenarnya masih menyimpan rasa itu.

Sillage (Doctor Soldier Romance)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang