Cream. Coklat pastel. Putih tulang.
Warna-warna itu mendominasi lapang pandang ketika pertama kali aku membuka mata. Meski tubuhku masih terasa ringan dan melayang, tapi kedua mataku sungguh berat untuk terbuka. Perlahan tertangkap oleh telingaku bunyi dentingan sendok yang beradu dengan gelas, dan tak lama tercium juga aroma favoritku, seseorang sedang membuat kopi. Siapa di situ?
Aku akhirnya bisa membuka mataku lebar-lebar, dan melihat sekelilingku, ruangan ini tampak asing tapi juga familiar. Sinar matahari yang terlihat dari celah-celah tirai jendela menunjukkan waktu sudah siang hari. Tapi dimana ya ini? Aku mengangkat tangan untuk merapikan letak rambutku ke belakang telinga ketika kulihat selang infus yang terpasang di pergelangan tangan kananku. Seketika itu aku sadar bahwa aku berada di ruang VVIP -tertidur di tempat tidur pasien- sebuah ruangan di Paviliun Wijaya Kusuma, satu-satunya tempat di rumah sakit yang tidak pernah dijamah oleh koas karena berisi pasien-pasien kelas atas beserta keluarganya, tetapi foto-foto ruangan ini beredar di pamflet yang tersebar di seluruh rumah sakit.
"Hey ... welcome back." Ia meletakkan kopinya di meja dan duduk di sampingku.
"Dokter Reno? Kok di sini?" aku beranjak duduk dari tidur dan mengedarkan pandanganku sekali lagi ke sekeliling ruangan, tidak ada siapapun di sini, hanya kami berdua.
"Jangan keliatan gitu dong kecewanya ... Mama Papa kamu lagi pulang ambil baju ganti di apartemen. Rasyid sama yang lain baruuu aja balik dari sini. Jadi Cuma tersisa gue aja jagain lo." Dokter Reno menaikkan alisnya, sepertinya menunggu responku.
"Ibram?" tanyaku akhirnya, jujur saja mungkin dialah orang pertama yang kuharapkan ada di sampingku ketika pertama kali membuka mata. Karena hal terakhir yang kuingat sebelum aku tidak sadar adalah suara khasnya yang dingin itu.
"Belum liat dia dari tadi gue ke sini." jawabnya santai.
"Mungkin ada tugas ya dok, jadi belum sempet ke sini." ucapku pelan, lebih untuk meyakinkan diriku sendiri. Dokter Reno hanya mengangkat bahunya.
"Jadi gimana keadaaan lo sekarang? Apa yang dirasain?"
"Masih lemes aja sih dok, badannya ngilu semua." Dokter Reno menghela nafas panjang,
"Kok kemarin-kemarin nggak bilang sih kalau lo lagi nggak enak badan malah maksain jaga? Lo tuh kena demam berdarah tau nggak? Untung aja kemarin ada yang sempet liat lo pingsan di depan ruang operasi, coba kalo udah pada pulang semua, kelar idup lo!"
"DB? Pantesan aja dari kemarin-kemarin hawanya panas gitu, sakit semua badan saya. Beneran saya demam berdarah dok?"
"Mau gue liatin hasil lab-nya?" dokter Reno menggelengkan kepala,
"Alina ... Alina. Nggak bisa apa, sehari aja lo nggak bikin kawatir orang? Lo dibawa ke IGD karena syok, dehidrasi, hipoglikemi, eh ternyata DB juga. Lengkap deh ... Alina you should look out for yourself, it's really dangerous for you."
"Bukan saya yang mau kerja berlebihan kayak gini dok, saya dikasih jadwalnya nggak manusiawi." Dokter Reno menatapku iba,
"Oh iya, ngomong-ngomong soal jadwal itu, gue udah ngobrol sama dokter Syahrial. Dan ini sebagai hadiah ulang taun lo dari gue, lo dibebasin dari refresh bedah. Minggu depan kalau kondisi lo sehat, lo bisa langsung ujian bedah sama beliau." Aku tersenyum lebar dan refleks memeluk dokter Reno,
"Waaah! Thank youuuuu!! Akhirnya bebas juga gue! Thank you dokter!" aku berseru girang dan segera melepas pelukanku. Ia tersenyum kecil sambil mengacak-acak rambutku,
"You're really just like the sister that I never had. Belajar yang rajin ya, awas aja lo kalo nggak lulus, sia-sia gue jilat-jilat dokter Syahrial."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sillage (Doctor Soldier Romance)
Romance"Seperti Ibram yang kerap datang dan pergi, meninggalkan jejak kehadirannya di setiap sudut apartemenku, di sweater yang selalu menemaniku tiap malam hingga terlelap, ia juga meninggalkan kesan mendalam di dalam hatiku. Bahkan sejak awal kami bertem...