Saat itu Sabtu sore, jadwal Ibram mengunjungiku seperti biasa, dan ketika kubuka pintu apartemen ia tersenyum melihatku seperti biasa pula. Yang tidak biasa adalah senyumnya yang tampak tertahan dan tatapan matanya yang seolah menyimpan sesuatu itu. Awalnya aku tidak menghiraukan perilaku Ibram ini, tetapi ketika berulang kali aku menangkapnya sedang melamun dan tidak merespon ketika aku bercerita, akhirnya aku memaksanya bicara. Aku yang tadinya sedang tidur di pangkuannya kemudian duduk memerangkap pinggangnya dengan kedua kakiku.
"Bram, liat aku deh ..." Aku menyentuh wajahnya dengan kedua tangan,
"Kamu kenapa sih hari ini? Ada yang mau kamu ceritain ke aku nggak?" Ibram menggenggam tanganku yang masih berada di pipinya, dan tersenyum hambar.
"Aku dapat tugas. Bulan depan sudah harus gerak ke rahwan, ikut operasi Angroko. Minggu depan udah ikut pra tugas." Deg! Kedua tanganku pun terjatuh, terkejut mendengar berita dari Ibram ini.
"Angroko ... ? Ini yang operasi kedua buat ngejar teroris itu kan?" dia mengangguk. Aku beranjak dari pangkuan Ibram dan duduk di sampingnya,
"Kok bisa?" teringat olehku gambar-gambar mengerikan yang kulihat saat meminjam handphone Ibram. Apa yang disampaikan di media massa tentang jumlah korban saat operasi Tinombala dari pihak TNI maupun Polri itu, aku tau jauh dari keadaan sebenarnya. Media hanya memberitakan tentang helikopter yang jatuh saat operasi Tinombala dan berapa banyak korban dari kecelakaan itu, tetapi masyarakat sipil tidak tahu tentang adanya truk yang terguling saat membawa pasukan penyamaran dan menewaskan beberapa prajurit, atau beberapa kecelakaan lain yang terdengar janggal. Mereka juga tidak tahu tentang ditemukannya prajurit-prajurit di dalam hutan yang tewas mengenaskan di tangan para teroris terkutuk itu. Padahal operasi Tinombala jelas-jelas diketahui oleh media massa, bukan seperti Angroko yang pergerakannya sunyi senyap.
"Ya bisa, namanya juga tugas. Aku bisa diperintahkan kemana aja, kapan aja, dan jawabannya ya harus selalu 'siap' kan?" ucap Ibram tersenyum getir.
"Iya, tapi aku yang nggak siap." Ibram tertawa kecil.
"Kamu juga harus selalu siap dong ... kan aku udah pernah bilang, kita bisa dipanggil tugas sewaktu-waktu, dan ..."
" ... mati sewaktu-waktu." Lanjutku.
"Loh yang kamu inget kok bagian matinya sih? Kamu takut ya?"
"Yaiyalah ... I didn't sign for this, Bram."
"Sini deh ..." Ibram merangkul pundakku dan menyenderkan kepalaku di bahunya,
"Maksud aku tentang mati sewaktu-waktu itu nggak Cuma berlaku buat prajurit yang lagi tugas aja, Cinta. Prajurit yang lagi nganter anaknya sekolah bisa mati sewaktu-waktu, atau yang habis senam pagi, yang lagi sakit, yang lagi upacara, semuanya bisa mati sewaktu-waktu. Karena yang namanya kematian nggak ada yang tau kapan datangnya. Tugas kami memang beresiko, kemungkinan kami tewas saat tugas memang lebih tinggi, tapi ibaratnya selama belum tertulis NRP kami di peluru yang ditembakkan musuh ke arah kami, yaudah ... berarti belum waktunya kami gugur jadi pahlawan kan?" aku terdiam mendengar penjelasannya.
"Kamu mau denger cerita nggak tentang pahlawannya orang Islam? Panglima perang terhebat di jaman Rasulullah, yang terkenal cerdas dengan strategi perangnya, sampai nggak ada satu pun peperangan yang kalah di bawah pimpinan beliau, namanya Khalid bin Walid. Beliau selalu berdoa untuk diwafatkan dalam keadaan syahid, pengen sekali meninggal di medan perang saat melawan musuh di jalan Allah. Ratusan perang yang dia pimpin, ratusan kesempatan beliau mati syahid ... Tapi kamu tau nggak? Khalid bin Walid justru wafat di atas tempat tidurnya sendiri karena sakit." Ibram menatap mataku,
"Kamu paham nggak maksudku kenapa cerita itu?" aku mengangguk.
"Hidup dan mati itu di tangan Allah." Ibram mengecup keningku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sillage (Doctor Soldier Romance)
Romance"Seperti Ibram yang kerap datang dan pergi, meninggalkan jejak kehadirannya di setiap sudut apartemenku, di sweater yang selalu menemaniku tiap malam hingga terlelap, ia juga meninggalkan kesan mendalam di dalam hatiku. Bahkan sejak awal kami bertem...