"ANGKASA, kita mau kemana sih?" tanya Senja, penasaran.
Gimana nggak penasaran kalo Angkasa membawanya ke pinggiran kota Bandung yang agak sepi, berhenti di tepi sebuah hutan—iya sih, hutannya terawat, tapi tetep aja kan judulnya hutan—dan menyuruhnya menutup mata pakai kain yang udah disiapkan cowok itu.
Angkasa masih menggiring Senja masuk ke dalam hutan, melalui jalan setapak yang ada. "Santai aja, bentar lagi sampe kok. Dan tenang aja deh, gue nggak bakal ngapa ngapain lo." Jawab Angkasa, masih enggan memberitahukan tempat yang ditujunya.
Senja memutuskan untuk menurut. Dari suara Angkasa, dapat di dengarnya cowok itu sangat antusias. Alhasil membuat Senja ikut merasa demikian.
Setelah 10 menit kembali terlewati, Angkasa akhirnya berhenti. Senja ikut berhenti di belakangnya. "Udah sampe. Mau gue bukain, atau lo buka sendiri?" tanya Angkasa. "Biar saya sendiri aja deh." Jawab Senja, lalu melepaskan tangannya yang sedari tadi di genggam Angkasa.
Senja melepaskan simpul yang mengikat di belakang kepalanya. Perlahan, di turunkannya kain yang sedari tadi menutupi matanya. Cewek itu mengerjap beberapa kali, beradaptasi dengan cahaya matahari. Dan setelah penglihatannya menjelas, Senja kontan mematung. Nafasnya tertahan, dan tak tahu lagi harus bilang apa.
Di hadapannya. Rumah pohon itu.
"Still...remember this place?" tanya Angkasa yang tahu tahu ada di belakangnya.
Senja menoleh, "Ini...gimana mungkin? Tempat ini masih disini?" tanya Senja. Dulu, tanah dan sebagian hutan ini emang milik ayahnya. Namun setelah kejadian beberapa tahun silam, tempat ini dijual oleh ayahnya dan merekapun pindah ke luar kota.
"Gue balik ke kota ini setelah mama meninggal. Dan waktu gue jalan jalan kesini, kebetulan tempat ini masih ada. Belum ada yang beli. Jadi gue yang akhirnya beli tempat ini." Jelas Angkasa.
Senja membelalak tak percaya. "Tapi...ini sungguh nggak berubah. Nggak ada detail kecilpun yang berubah. Gimana bisa kamu ngerawat semuanya? Dan...sendirian?" tanya Senja, nggak nyangka. Angkasa terkekeh pelan. "Nggak susah mengingat hal yang paling kita suka di masa lalu, bahkan detail terkecil sekalipun." Jawab Angkasa, dengan intonasi sedikit menerawang.
Tentu saja nggak susah, karena dia sangat nggak ingin melupakannya. Tempat ini, dan segala yang berhubungan dengan gadis di hadapannya, adalah satu satunya kenangan terindah yang ia punya di masa lalu. Satu satunya yang masih mampu mencegahnya terjerumus ke hal hal terburuk di saat kejatuhannya. Dan merawat tempat ini adalah salah satu bentuk dari pengharapannya untuk kembali ke masa itu.
Senja terlihat senang sekaligus terharu. Cewek itu melangkah menuju rumah pohon dan memanjat tangga kayu yang di paku ke batang pohonnya.
Angkasa tersenyum, karena pada akhirnya, ia bisa datang kembali kemari. Tanpa perlu sendirian lagi.
"Inget nggak, dulu kita sering berlayar di sana. Sama Bang Langit juga. Kalo dia kesini, pasti dia yang paling heboh." Urai Senja, setelah turun dari rumah pohon dan berdiri di tepi danau. Angkasa menghampiri gadis itu dan berdiri di sampingnya. "Sayangnya, perahu yang dulu udah rapuh dan bocor. Jadinya gue bongkar buat betulin yang lain." Sahutnya.
Senja menggeleng pelan, "Nggak papa. Kapan kapan, kita bisa bikin perahu lagi. yang lebih gede dan bisa dinaikin 3 orang dewasa." Ujarnya. Hening sejenak, keduanya tenggelam dalam kenangan masa lalu. Dalam penglihatan masing masing. Dalam kerinduan akan sosok yang dekat, namun tak saling menemukan.
Dan Senjalah yang akhirnya memecah keheningan itu. diam diam, cewek itu berjongkok lebih ke tepi danau. Lalu dengan gerakan cepat, dicipratkannya air danau kea rah Angkasa. Angkasa kontan tersentak kaget. dan langsung menoleh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senja dan Angkasa
Teen FictionSemua orang tahu waktu dapat merubah segalanya. Begitupun dengan kita. Aku berubah.Kamu berubah.Dunia kitapun berubah. Kita tersesat di dalamnya. Sendirian. Dalam kegelapan. Kita di paksa untuk bertahan, dan kadang membuat perlawanan. Dan ketika sem...