KEBENARAN YANG MENYAYAT LUKA

2.1K 144 2
                                    

Andika menatap istrinya yang terduduk di sofa ruang tamu dengan tatapan terluka. Sementara Anna sendiri tampak meneteskan air mata. "Apa lagi yang mesti saya katakana ke kamu mas? Saya nggak punya hubungan apa apa sama Hendra." Isaknya.

Andika meneguhkan hati, meski sebenarnya sakit melihat wanita yang dicintainya menangis terisak dihadapannya. Namun hatinya juga terlanjur sakit dengan pengkhianatan wanita yang sama. "Bagaimana saya bisa percaya kalo saya melihat kalian berdua dengan mata kepala saya sendiri, Anna?" tanya Andika. Meskipun sudah pindah kota, ternyata istrinya masih sering menemui Hendra diam diam.

Yang paling melukainya, Hendra adalah teman dekatnya sejak SMA.

Anna mendesah pasrah, lalu berdiri. "Baik, mas. Kalo kamu memang nggak percaya sama saya, nggak ada gunanya lagi hubungan ini dipertahankan. Semakin lama hanya akan menyakiti kamu dan saya. Dan pada akhirnya akan berimbas juga pada Mars." Urai Anna.

Andika tertohok dalam hatinya, namun ia berbalik dan menatap istrinya, "Lalu kamu mau apa? Cerai?" tantangnya, sekalian. Anna tampak terkejut suaminya benar benar menanyainya hal tersebut. Namun ia menyadari, hubungan mereka memang tak bisa dilakukan.

Anna mengangguk, "Saya harap kamu mau memberikan hak asuh Mars dan membiarkannya ikut dengan saya." Ujarnya. Andika mengalihkan pandangan, baru dengan berat hati menyanggupi. "Kamu akan mendapatkannya. Sampai bertemu di pengadilan." Sahutnya, dingin.

Anna tak kuasa menahan tangis. Ia berbalik dan berlari meninggalkan rumah. Tak ada yang tahu itu adalah hari terakhirnya. Pertemuan terakhirnya dengan suaminya. Sekaligus dengan putranya, Mars, yang berdiri diseberang jalan. Karena ketika lampu traffic light berwarna hijau, ia berada di tengah jalan. Menghadang laju truk pengangkut barang yang terlambat menginjak rem sehingga menghempas tubuhnya begitu keras. Teriakan Mars menjadi hal terakhir yang diingatnya.

"MAMAAAA........."

*********************************

HENDRA terduduk diam di kamarnya. Pikirannya melayang pada pertemuannya dengan Andika siang tadi.

"Um...apa kabar, Dik?" sapanya, canggung. Disebelahnya, Andika berdehem pelan. "Baik." Jawabnya, singkat. "Mars...dia tumbuh dengan baik ya. Meski sekarang lebih akrab dipanggil Angkasa." Celetuk Hendra. Sukses membuat Andika menoleh, "Kamu bertemu Angkasa? Sejak kapan?" tanyanya.

Hendra menjelaskan secara singkat. Bahwa secara kebetulan, mereka kembali bertemu Angkasa karena dia satu sekolah dengan Senja. "Aku mau minta maaf." Ujar Hendra, kemudian. Andika menarik nafas, "Kalau ini tentang masalah dulu, lupakan saja. Permintaan maafmu hanya membuatku makin merasa bersalah." Sahutnya.

Hendra mengernyit, "Bersalah? Jadi kamu...kamu sudah tahu yang sebenarnya?" tanya Hendra. Andika mengangguk pelan. "Harusnya aku memercayai Anna. Aku mencari tahu hubungannya denganmu dan jawabannya baru kuterima setelah dia meninggal. Bahwa dia hanya sebatas memberimu support sebagai teman lama. Tapi aku tidak. Aku tidak memercayainya. Aku membuatnya kecelakaan." Renung Andika.

Hendra menepuk bahu teman lamanya itu, "Itu sudah digariskan. Nggak ada diantara kita yang mampu mencegahnya. Lagipula, keluargaku juga nggak bernasib lebih baik." Ujar Hendra, berusaha menghibur. "Omong omong, apa yang kamu lakukan dirumah sakit?" tanyanya, lagi. andika diam sejenak, tampak engga sesaat, namun akhirnya menjawab.

"Kamu serius?" tanya Hendra, nggak percaya. Namun Andika mengangguk. "Kurasa ini karmaku. Satu satunya yang kuinginkan adalah memperbaiki hubunganku dengan Angkasa. Dengan kondisiku yang sekarang, aku nggak yakin aku punya banyak waktu." Urainya. "Tapi Angkasa masih marah padamu. Dia bahkan nggak mau menemuimu?" tanya Hendra, lagi.

Senja dan AngkasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang