ANGKASA membenarkan posisinya di ranjang rumah sakit.
Ini hari pertamanya dirawat, karena dia memang mengusulkan untuk segera dilakukan operasi setelah UN. Itu sebabnya tiga cecunguknya itu ikut hadir disini, biarpun cuman bikin suasana kayak pasar tradisional.
"Pokoknya kalo NUN gue lebih tinggi dari lo, lo mesti ngasihin semua CD PS lo ke gue!" tandas Evan, pada Sigit. "Iya, cumi. Berisik lo. Tapi kalo NUN gue yang lebih baek, lo mesti jadi sopir gue selama OSPEK universitas nanti. Gimana?" tantang Sigit, balik. "Oke!" sanggup Evan.
"Oke." Sahut Sigit.
"Yaudah, oke."
"Yaudah."
"Shut up, Anjirrr.... Lo berdua bikin kuping gue sakit tau nggak?!" gerutu Erik. Evan dan Sigit kontan terdiam, sambil duduk bersebelahan di sofa ruangan. Dari posisinya, bener bener mirip kayak anak SD yang dimarahin bapaknya. Hal itu mau tak mau bikin Angkasa terkekeh pelan.
"BTW, bos...habis operasi...lo boleh langsung keluar nggak?" Tanya Evan, mengalihkan pembicaraan. Angkasa terdiam sejenak, namun kemudian tersenyum simpul. "Ya mana tau gue, Van? Kalo abis operasi langsung membaik sih, paling seminggu dua minggu juga udah cabut." Sahut Angkasa.
"Kalo gitu, perayaan kelulusan masih keburu dong ya?? Kita rayain yuk bos?? Travelling kemana gitu??" usul Evan, antusias. "Setuju!!! Kalo gitu, gue mesti buru buru bikin persiapan. Cari tempat yang banyak ceweknya ya, Sa..." timpal Sigit. Angkasa nyengir, "Pilih aja tempatnya. Sisanya, baru gue yang urus." Sanggupnya.
"Yah...untuk sekarang, lo pikirin aja kondisi lo. Biar fit sampek operasi dan nggak menimbulkan hal hal buruk." Sahut Erik, peduli. Evan dan Sigit mengangguk setuju, membuat senyum Angkasa mengembang haru.
Suara ketukan pintu membuat perhatian keempatnya teralihkan. Pintu ruangan didorong kedalam, dan menampakkan Fidya yang mengecek ke dalam. "Hai...tante nggak ganggu kan?" sapanya, ramah. 3 temen Angkasa yang tadinya enak enakan kontan menegakkan badan dan membungkuk sopan, "Ah...enggak kok tan." Sahut Erik, sopan.
"Iya, tan. Kencan saya sama Angkasa masih ntar malem kok." Sambung Evan, asal, yang langsung disikut sama Sigit.
Fidya tertawa geli, lalu melangkah masuk. Tiga sekawan itu tampaknya paham sinyal, karena mereka langsung pamit pergi. Begitu ruangan itu lengang, hanya meninggalkan mereka berdua, Fidya mendekati ranjang Angkasa.
"Gimana perasaan kamu?" tanyanya, ramah. "Baik, tante. Papa?" Tanya Angkasa, balik. Senyum di wajah Fidya tergantikan senyum sedih. "Belum ada kemajuan, kalo nggak bisa dikatakan menurun. Dokter bilang transplantasi ini memang jalan terbaik." Jawabnya.
Angkasa mengangguk paham. "Tapi, Angkasa, kamu nggak perlu memaksakan diri." Lanjut Fidya. Angkasa menoleh, "Maksud...tante?" Tanya Angkasa. Fidya menarik nafas, "Tante bukannya nggak tahu kalo operasi ini sangat beresiko buat kamu. Apalagi kamu punya alergi terhadap anestasi. Biarpun papa kamu sembuh, Angkasa, kalo itu membahayakan nyawa kamu, papa kamu pasti nggak akan seneng." Urainya.
Angkasa diam sejenak, menatap ke luar jendela. Angin sore berhembus pelan, menggoyangkan dedaunan tanaman yang tumbuh di halaman rumah sakit. "Cuman ini yang bisa saya lakuin buat papa, tante." Ujarnya, kemudian, dengan tatapan menerawang ke luar.
"Selama ini, saya sama papa selalu bertingkah seperti orang lain. Saya nggak pernah ngasih papa kesempatan buat menjelaskan. Jauh didalam hati saya, saya juga masih sayang sama papa, dan nggak mau papa pergi kayak mama. Jadi kalo ada yang bisa saya lakuin buat mencegah itu, kenapa enggak?" sambung Angkasa.
Fidya terdiam. Ia bukannya tidak tahu apa saja yang sudah dialami pemuda itu. Dalam usianya yang masih belia, Angkasa telah melalui banyak hal. Melihat sesuatu yang tidak seharusnya. Dan mengetahui segala hal yang seharusnya tidak dia ketahui. Tidak, untuk anak seusianya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senja dan Angkasa
Ficção AdolescenteSemua orang tahu waktu dapat merubah segalanya. Begitupun dengan kita. Aku berubah.Kamu berubah.Dunia kitapun berubah. Kita tersesat di dalamnya. Sendirian. Dalam kegelapan. Kita di paksa untuk bertahan, dan kadang membuat perlawanan. Dan ketika sem...