AIR MATA DAN RAHASIA

2.1K 154 0
                                    

“Kamu ngapain sih manggil aku kesini malem malem?” tanya Venus.

Mars meringkuk di sudut rumah pohon, merapatkan jaketnya. “Aku kan butuh temen. Mama sama papa berantem lagi di rumah.” Jawab Mars.

Venus menghela nafas, lalu menjatuhkan diri di samping sahabatnya. Tangannya meraih setumpuk selimut yang memang di sediakan di sana, lalu menyelimuti tubuhnya sendiri.

“Kamu kan bisa ke rumahku, Mars. Kalo gini, bisa bisa aku kena marah. Mana lagi hujan.” Dengus Venus, agak melembut. Mars memeluk kedua lututnya, “Maaf.” Gumamnya, lirih.

Venus menoleh, menatap temannya itu, dan akhirnya luruh juga. “Nggak papa. Aku temenin kamu untuk malem ini. Lagian bagus juga, kalo kamu langsung kesini begitu lagi sebel. Aku nggak perlu nyari kamu kemana mana.” Sahut Venus. Mars mendongak, “Bener?” tanyanya.
Venus mengangguk mantap, “Kalo kamu lagi kesel, kamu datang kesini aja. Biar aku bisa langsung nemuin kamu dan ngehibur kamu. Setuju?” tawar Venus.

Mars tersenyum senang, “Hm. Oke.” Jawabnya.

******************************

BISA dibilang, Senja ngebut gila menuju Bogor.

Pinggiran kota Bogor, tepatnya. Ia yakin Angkasa pasti kesana. Ke rumah pohon itu.

Begitu sampai di pinggiran hutan terawat yang jadi pintu masuk ke rumah pohon itu, Senja langsung memarkir motornya sembarangan dan melangkah tergesa gesa. Untungnya ada penerangan yang disediakan di beberapa pohon setiap beberapa meter sekali. Angkasa pasti yang menyiapkan ini, mengingat cowok itu bilang ia sering kesini.

Hujan mulai turun saat Senja akhirnya sampai di pekarangan rumah pohon. Sekitar kurang lebih 10   ke sekeliling rumah pohon, tanah memang sengaja di paving biar nggak becek kalo hujan. Tanpa buang waktu, Senja segera menuju tanga untuk memanjat yang disiapkan dan naik ke atas.

Benar saja.

Angkasa duduk disana. Di salah satu sudut rumah pohon dengan kaki bersila dan punggung serta kepala bersandar di dinding kayu. Kedua tangannya terlipat di depan dada. Cowok itu hanya mengenakan T-Shirt putih polos dan bawahan celana abu abu sebagai pakaian. Padahal jelas jelas wajahnya masih pucat.

Senja menatap cowok itu nanar, lalu menarik nafas dan mendekatinya. Di sentuhnya pelan bahu Angkasa,

“Angkasa.” Tegurnya, lembut.
Angkasa sepertinya belum tertidur pulas, karena ia langsung tersadar dan menoleh. Keningnya mengernyit kala melihat Senja. “Lo? Ngapain?” tanyanya, heran, lalu menegakkan badan. Ia mendesis pelan karena kepalanya tiba tiba terasa pusing.

Senja langsung siaga, “Tunggu bentar…” gumamnya, lalu beranjak ke sisi lain rumah pohon. Tempat Angkasa menyimpan beberapa camilan untuknya. Dengan gerakan cepat dan bahan apa adanya, Senja menyiapkan makanan untuk cowok itu.

Cewek itu menjatuhkan diri dan duduk bersila di samping Angkasa. “Nih.” Ujarnya, seraya menyodorkan satu cup mie instan pada Angkasa. “Emang nggak baik makan makanan instan kalo lagi sakit. Tapi daripada kamu nggak makan. Nih.” Terang Senja, yang kemudian diterima Angkasa.

Selagi Angkasa makan, Senja mengamatinya dalam diam.

Angkasa terlihat kacau. Bukan karena penampilannya yang berantakan—kalo itu sih kayak udah default sehari hari—tapi karena ekspresi wajahnya yang tampak begitu putus asa. Menyiratkan dengan jelas bahwa cowok itu tengah terluka. Yang mana Senja yakin, itu bukan luka fisik.

Senja dan AngkasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang