ANGKASA duduk diam di ruang tunggu rumah sakit.
Kepalanya menunduk dalam, menatap lantai putih yang dipijaknya. Disampingnya, Fidya duduk dengan canggung. Sementara dokter masih menangani ayahnya di dalam sana.
"Kenapa nggak ada yang ngasih tahu saya? Kenapa...tante juga nggak ngasih tau saya?" Tanya Angkasa, lemah. Tanpa sedikitpun menoleh atau bahkan melirik Fidya. Fidya meremas roknya gelisah. "Maaf, Angkasa. Papa kamu yang ngelarang tante buat cerita." Jawabnya.
"Tapi.....gagal ginjal tante! Dan saya nggak tau apapun..." desah Angkasa, tercekat. Ia sama sekali tak menyembunyikan bahwa ia berusaha menahan tangis. Karena setelah semua ketenangan yang ia dapatkan. Setelah semua kesenangan dan kebahagiaan itu, seharusnya Angkasa sadar. Bahwa itu adalah jenis ketenangan sebelum badai.
Fidya baru hendak membuka mulut ketika pintu ruangan UGD terbuka. Mereka berdua kontan berdiri, "Dokter..." ujar Fidya. Seorang pria paru baya dengan jas putih keluar, dan menatap mereka. "Anda keluarganya?" tanyanya, menatap Fidya. Terang saja wanita itu gugup sejenak.
"Iya." Sahut Angkasa. "Dia calon istri papa saya. Gimana keadaan papa saya, dok?" tanyanya. Fidya terkesiap seketika, lalu diam diam tersenyum tipis. "Ginjalnya sudah tidak bisa tertolong lagi. Hal ini dikarenakan pasien juga sering absen cuci darah, sehingga kerusakannya terjadi lebih cepat. Saat ini, satu satunya jalan untuk menyelamatkannya adalah dengan mencari ginjal baru untuknya." Urai dokter itu.
Hening sejenak. Sang dokter juga membiarkan kedua orang itu mencerna informasinya, karena memang mencari donor ginjal yang cocok sangat tidak mudah. "Dokter, coba perik..."
"Saya yang akan mendonorkan ginjal saya, dok." Putus Angkasa, tiba tiba.
Fidya menegang di tempatnya, "Angkasa..." tegurnya, halus. Angkasa menoleh, "Nggak papa, tante. Saya anak kandungnya. Ginjal saya pasti cocok sama papa. Saya yang bakal menjalani operasi itu." putusnya. Fidya diam, tidak lagi mencoba mendebat. Ia sepenuhnya tahu, bahwa anak laki laki—tidak—remaja laki laki dihadapannya ini juga mengetahui apa yang ia lakukan.
Dokter menerima usul itu dan menyarankannya untuk menjalani pemeriksaan secepatnya, memastikan apakah ginjalnya benar benar cocok dengan ayahnya. Dan apakah tubuhnya dalam kondisi fit sekaligus aman untuk menjalani operasi.
Setelah dokter itu berlalu, Angkasa terduduk kembali di kursi ruang tunggu. Keputusan yang barusan diambilnya, ia sadar itu beresiko. Terutama terhadap hidupnya. Tapi Angkasa tidak peduli. Cowok itu memang telah "mati", dan ia tak peduli lagi dengan hidupnya. Jadi lebih baik, ia berusaha menyelamatkan ayahnya dengan cara yang ia tahu dan ia bisa.
Anehnya, orang pertama yang terlintas dipikirannya agar mengetahui tentang ini adalah rival terbesarnya.
********************************
Angga masih menonton anime favoritnya di PC ketika ponselnya berdering nyaring.
Angga bukan type orang yang suka membiarkan ponsel dalam keadaan silent. Menurutnya, buat apa punya ponsel kalo cuman dibikin silent dan akhirnya nggak sadar ada pesan/panggilan masuk. Bahkan karena prinsipnya ini, ia seringkali di tegur guru pengajar gara gara ponselnya bunyi saat pelajaran berlangsung. Dan seringkali juga, ia menjawab dengan alasan berbeda beda yang anehnya selalu dipercaya.
Namun kali ini ia nampak terganggu. Karena dengan desahan kesal dan gesture kasar, ia mem-pause anime yang ditontonnya dan bangkit mengambil ponselnya. Ketika dilihatnya nama siapa yang mengontaknya, Angga mengernyit heran. "Hm?" sapanya, malas.
"Lagi nonton anime ya?" tanya si pengontak. "Lo ngintipin gue?" tanya Angga, balik, terkesan nuduh. Seseorang diseberang tertawa geli, namun terdengar sekali tawa itu dipaksakan. "Gue mengenal elo dengan baik. Entah itu sebagai musuh, atau sebagai temen." Jawabnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senja dan Angkasa
Teen FictionSemua orang tahu waktu dapat merubah segalanya. Begitupun dengan kita. Aku berubah.Kamu berubah.Dunia kitapun berubah. Kita tersesat di dalamnya. Sendirian. Dalam kegelapan. Kita di paksa untuk bertahan, dan kadang membuat perlawanan. Dan ketika sem...