Alice mendengar suara pintunya digedor hebat sebelum si pelayan menyembulkan kepalanya. Dari balik selimutnya, Alice bisa melihat pelayan pribadinya, seorang wanita paruh baya itu berjalan kesana- kemari, memunguti gaun Alice yang berserakan di lantainya, membuka gorden jendela kamarnya yang tinggi kemudian meniup lilin yang terletak di atas meja berukir di sebelah jendela itu sampai padam.
"Good morning, My Lady," sapanya wanita itu dengan formal, sambil membetulkan celemek dan topinya.
"Pagi, Anne," Alice merenggangkan tangannya sambil mengusap wajahnya kasar.
"Bagaimana tidur Anda, My Lady?" tanyanya. Anne keluar sejenak dari kamar itu dan kembali dengan tangan membawa nampan perak.
"Tidak baik," jawab Alice. "Sudah dua hari aku tidak bisa tidur."
Benar. Sehabis pesta pernikahan itu, Alice tidak bisa tidur. Seluruh tubuhnya terasa lelah, namun ketika dia membaringkan tubuhnya di atas kasur, rasa kantuk itu tidak kunjung datang juga. Jadilah, Alice berdiam di atas kasur, menatap lurus ke langit-langit kamarnya selama berjam-jam. Pikirannya juga melayang-layang, meninggalkan pertanyaan-pertanyaan aneh seputar kehidupan barunya. Dan sialnya, dia tidak bisa menjawabnya.
Anne meletakkan nampannya di atas ranjang Alice sambil memandangnya dengan iba dan khawatir.
"Anda harus menjaga kesehatan Anda, My Lady," katanya. "Saya yakin Marquess Buckley akan sangat khawatir kalau Anda sampai sakit."
Alice mendengus. "Seakan benar saja," katanya. "Ayahku lebih memelilih bersenang-senang dengan isteri barunya. Wanita tua kurang ajar."
"My Lady, jangan sampai ada yang mendengar Anda. Banyak mata dan telinga di tempat ini," Anne menutup bibirnya, ketakutan. "Dan bagaimana pun, sekarang dia adalah ibu Anda. Dan Marchioness of Northenland."
"Dia bukan ibuku, Anne," Alice tertawa merendahkan. "Ibuku sudah lama meninggal. Dia hanya wanita kelas bawah yang kebetulan bertemu dengan ayahku sewaktu beliau melakukan dinas di Prancis. Taruhan, wanita itu pasti menggodanya."
Anne benar-benar panik sekarang. Dia menjejalkan sendok dan garpu ke masing-masing tangan Alice dan berkata denagn keras, "My Lady, saatnya Anda makan!"
Alice hanya menyeringai sebelum menyendok sarapannya. Semangkuk bubur, dengan ikan haring, serta secangkir teh panas dan segelas jus limun. Alice menyendok buburnya ogah-ogahan, membuat bubur di dalam sendoknya jatuh ke kamisolnya.
"Berhati-hatilah saat makan, My Lady," kata Anne sambil mengambil lap tangan dari dalam nampan tersebut dan menyeka tetesan bubur itu. "Saya akan menyiapkan air mandi Anda. Makan dan mandilah dengan cepat karena Marquess Buckley menunggu Anda di ruang kerjanya."
Anne sgera menghilang untuk menyiapkan air mandi Alice. Alice makan dalam diam, sesekali dia memutar sendoknya di mangkuk buburnya. Kedua alisnya bertaut, berpikir. Rasa-rasanya, Alice tidak pernah berpikir sekeras ini seumur hidupnya. Tidak, sebelum wanita bernama Florence itu masuk ke dalam rumahnya.
Ibunya meninggal ketika Alice berusia tiga tahun. Dan sejak kepergian ibunya, selama dua puluh tahun itu, ayahnya tidak pernah melirik perempuan mana pun. Ayahnya bilang kalau dia sangat mencintai ibunya, karena itu dia tidak bisa menikahi wanita mana pun, atau bahkan sekadar melirik mereka. Lalu beberapa bulan yang lalu, ayahnya pamit untuk dinas ke daerah Barat Perancis, dan tahu-tahu ketika dia kembali ke tanah Victoria itu, dia membawa kabar kalau dia akan menikah. Betapa shocknya Alice mendengar berita itu.
"My Lady, air Anda sudah siap," kata Anne yang muncul tiba-tiba. Alice buru-buru menyuapkan suapan terakhir buburnya, kemudian mengelap bibirnya dengan celemek bersulam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Covetous, Prejudice, and Revenge [✔- SUDAH TERBIT]
Historical FictionKetika hati Lady Alice Buckley diliputi keserakahan, prasangka, dan dendam. Rank #4 in Historical Fiction (23 Juni 2018)