Alice semakin menutup diri minggu-minggu berikutnya. Bahkan dia sudah bisa mengabaikan Annie sepenuhnya. Suasana hatinya benar-benar buruk, dan dia jadi gampang marah dan tersinggung.
Makan pagi kali itu, Miselle memberitahu semua orang di meja makan, bahwa Viscount Thomas akan mnegunjungi kediaman mereka dua hari ke depan. Ternyata, kedua orang itu terus berhubungan sampai sekarang. Alice tidak sengaja membaca surat yang dikirim Thomas untuk Miselle, dimana isinya tertulis kerinduan besar kepada saudara tirinya itu. Hampir saja Alice membakar surat tersebut.
"Kabar yang bagus," kata ayahnya. "Bagaimana hubungan kalian berdua, Miselle?"
Miselle tidak menjawab, hanya tersenyum dengan wajah merah.
Alice kembali mengurung diri di kamarnya. Dua hari kemudian, pintu Alice digedor keras oleh Annie. Saat Annie masuk, wanita paruh baya itu menyuguhi banyak sekali gaun untuk Alice kenakan.
"Untuk apa semua gaun ini?"
"His Lordship Viscount of Greenhill akan sampai hari ini. Anda harus menyambutnya dengan penampilan yang bagus, My Lady.." gumam Anne. Alice hanya bisa pasrah.
Sang Viscount datang bersama pengawalnya pagi itu. Seperti dugaan Alice, Sang Viscount terlihat tampan. Tampan yang berbeda dari pria lainnya, karena Sang Viscount terlihat sangat hangat dan mengeluarkan aura positif.
"Selamat datang," sambut Marquess Buckley. Thomas tersenyum, kemudian membungkuk hormat kepada Marquess.
"Terima kasih atas sambutannya, My Lord," ucapnya. "Senang bisa berada di sini."
Marquess Buckley menepuk bahu Thomas pelan, kemudian tersenyum. "Silahkan menikmati Northenland. Anakku akan menemanimu berkeliling."
Alice melirik dari sudut matanya, saudari tirinya itu bergerak salah tingkah.
"Ayo ke sini, Miselle," gumam Marquess Buckley. Miselle melangkah pelan dan anggun, sambil tetap tersenyum. Miselle berdiri di depan Thomas, kemudian membungkuk. Lalu, Thomas mengulurkan tangannya. Miselle menerima uluran tangan itu malu-malu, kemudian meletakkan tangannya di lekukan siku Thomas. Dan saat keduanya pergi meninggalkan ruang utama sambil bergandengan begitu, Alice tidak bisa membayangkan hal yang lebih buruk lagi dari ini.
"Alice," panggil Marquess Buckley, membuyarkan lamunan Alice. "Papa ingin bicara. Bisakah kita ke..."
"Maaf, Papa," potong Alice langsung. "Aku sedang tidak enak badan. Aku permisi." Dan tanpa menunggu tanggapan dari ayahnya, Alice segera pergi ke atas. Merasa sumpek dengan kamarnya, Alice memutuskan untuk berdiam diri di perpustakaan.
Dari jendela perpustakaan yang besar, Alice bisa melihat Miselle dan Thomas, berduaan di taman belakang kediamannya. Alice memperhatikan bagaimana Thomas memperlakukan saudara tirinya itu. Thomas kelihatan seperti lelaki gentle, yang selalu sigap menolong dan melindungi Miselle. Seperti tadi, ketika Miselle tersandung batu, Thomas dengan sigap menahan lengannya dan merangkul pinggangnya. Kelihatan sekali, pemuda itu jatuh hati kepada Miselle. Alice heran, bagaimana bisa Miselle membuat pemuda jatuh hati kepadanya dengan mudah? Kemarin Sang Duke, sekarang Thomas.
Tanpa sadar, Alice meremas lembar bukunya.
Kenapa, saudara tirinya itu mendapatkan semuanya sementara dia harus kehilangan semuanya? Kenapa? Apa salah dirinya sampai dunia tega melakukan hal tersebut kepadanya?
Makan malam berlangsung lebih keki dari sebelumnya.
Semua makan dalam diam, sampai Marquess Buckley memutuskan untuk bicara.
"Bagaimana jalan-jalanmu tadi, Thomas? Apakah menyenangkan?"
Thomas tersenyum, "Sangat, My Lord. Terima kasih karena sudah menyambut saya dengan sangat hangat."
"Kau benar-benar pemuda yang baik, Thomas," kata Florence. "Baik dan sangat terhormat."
"Terima kasih, My Lady, atas pujiannya," jawabnya."Kalau boleh saya mengutarakan niat saya, apakah saya bisa bicara sekarang?"
"Tentu saja," Marquess Buckley mengiyakan.
"Saya, ingin menikahi puteri Anda, Miselle, My Lord," jawabnya mantap. Langsung saja semua gerakan di meja makan berhenti.
"Apa?" tanya Florence tak percaya.
"Maafkan saya, karena begitu mendadak," katanya cepat-cepat. "Tapi, saya benar-benar mencintai puteri Anda. Saya bersumpah akan menjaganya dan selalu membuatnya bahagia."
Wajah Miselle kelihatan semerah kepiting. Alice dapat melihat ayahnya dan Florence bertukar pandang penuh arti. Merasa muak, Alice segera berdiri dari meja makannya dan mendorong kursinya.
"Mau kemana, Alice?" tanya ayahnya.
"Aku sudah selesai makan. Selamat malam," ujarnya dingin, kemudian pergi meninggalkan ruang makan. Dengan langkah tergesa, Alice segera pergi ke kamarnya dan menutup pintunya dengan keras.
Dia menarik napas dalam dan menghembuskan dengan berat, ketika dia menyadari satu hal. Dia hampir kalah. Kali ini, dia harus bermain kotor, atau dia akan kalah sebelum bergerak.
"Maafkan aku, Papa," gumam Alice, menatap keluar jendela. "Aku hanya mencoba melindungi apa yang ditinggalkan oleh ibu."
Malam harinya, ketika semuanya sudah terlelap, Alice menyelinap keluar dari kediamannya. Malam itu, dia mengenakan baju biasa serta sebuah celana yang tidak seharusnya dipakai seorang Lady, dan sebuah tas berpergian serta mantel. Dia pergi ke istal kuda, mengambil kuda cokelat milik ibunya kemudian menggiringnya keluar, menjauh dari pekarangan kastil itu. Sesudah cukup jauh, Alice menaiki kudanya dan memacunya dengan kencang.
Alice melaju, pergi menjauh dari Northenland.[]
KAMU SEDANG MEMBACA
Covetous, Prejudice, and Revenge [✔- SUDAH TERBIT]
Ficción históricaKetika hati Lady Alice Buckley diliputi keserakahan, prasangka, dan dendam. Rank #4 in Historical Fiction (23 Juni 2018)