Hari-hari di istana Sang Duke tidak ada bedanya dengan hari-hari Alice di Northernland. Dia makan, membaca, berjalan di sekeliling taman, tidur, dan duduk dengan tenang di kursi taman. Satu-satunya yang berbeda adalah dia bia melihat Paul setiap hari.
Alice tak menyangka, dia bisa melihat Paul setiap hari. Dari rumor yang diceritakan pelayan-pelayan di rumahnya dulu, Paul termasuk salah satu bangsawan yang bertangan darah dan haus kekuasan. Setelah menghabiskan beberapa hari di rumah Paul, Alice tahu kalau rumor itu belum seberapa.
Paul orang yang berhati dingin, gemar memerintah, dan menyebalkan.
Alice sendiri bertanya-tanya, apakah yang dia lakukan ini benar atau tidak. setelah dipikirkan ribuan kali, Alice sadar bahwa yang dia lakukan salah. Tentu saja, hal ini salah. Siapa bilang berteman dengan musuh keluarga dan pembunuh kakeknya adalah hal yang benar?
Biarpun demikian, Alice bersyukur Paul masih sudi memberinya tempat untuk istirahat dan makan tiga kali dalam sehari.
"Aku sudah memikirkan," kata Paul tiba-tiba, ditengah makan mereka. alice menghentikan suapannya dan memandang Paul. Alice heran, karena Paul tiba-tiba membuka mulutnya. Berapa banyak makan yang mereka lewatkan, Paul selalu bersikap seakan Alice tidak ada di sana.
"Apa?"
"Soal Thomas dan suadarimu."
Alice meletakkan garpunya dan mengelap sudut bibirnya dengan ujung lap di atas meja. "Ya?"
"Akan ada pesta di kediaman Earl Groutmunt minggu depan," katanya. "Aku akan mencoba menghampiri Thomas dan berdiskusi."
"Berdiskusi seperti apa?"
"Well, seperti bagaimana kalau kau mencari Viscountess yang baru?" sahut Paul asal. Alice menggigit ujung bibirnya. Dia tidak menyangka, Paul akan memakai cara ini.
Hasutan.
Cara yang kotor dan licik. Tapi mengingat Paul itu jahat, maka Alice tidak akan mempermasalahkannya lagi.
"Apa kau yakin cara ini akan berhasil?"
Paul mengedikkan sebelah bahunya. "Ketahuilah, sayang. Pada dasarnya pria itu sama saja. Kami hanya ingin yang terbaik untuk masa depan, dan salah satunya adalah mencari isteri yang baik."
Alice mendengus, "'Isteri yang baik'," ulang Alice penuh sindiran. "Isteri yang baik untuk mengklaim harta warisan."
"Kau juga mencari suami untuk mengklaim harta warisan,"
"Tidak. Aku hanya ingin menjaga apa yang ditinggalkan ibuku," sergah Alice.
"Sama saja," jawab Paul. "Sudah kukatakan berapa kali kalau kita ini mirip."
Untuk kalimat terakhir, Alice tidak ingin berkomentar. Berkali-kali dia berkomentar dan membantah 'tidak', tetap saja Paul bisa mengutarakan teori-teorinya tentang kemiripan mereka. Jadi, untuk mencegah amukan-amukan yang keluar dari bibir Alice, terpaksa dia membungkam mulutnya.
"Apa kau punya kenalan seorang bangsawan di Perancis?" tanya Alice tiba-tiba. Pikiran itu tiba-tiba mengganjal di pikirannya.
Paul terdiam dan keliihatan berpikir. "Ada.. dia seorang Comte dari daerah Selatan Perancis. Kenapa?"
"Aku ingin kau mencari tahu tentang Florence de Vleucer," katanya. "Bagaimana kehidupannya, apa yang dia lakukan, dan bagaimana kehidupan sosial dia di kalangan masyarakat. Aku tidak tahu dari mana dia berasal, tapi yang pasti ayah bertemu dengannya di daerah bisa bertemu dengannya di daerah Barat Prancis."
Paul menyeringai kecil. "Dan kenapa aku harus melakukan ini?"
"Kalau kau ingin rencanamu berjalan lancar, lakukan permintaanku."
"Kalau aku tidak mau?"
Alice menggeram kesal. "Rasakan sendiri akibatnya."
"Baiklah.." Paul terkekeh pelan. "Dan apa yang akan kau berikan kepadaku sebagai imbalan?"
"Klaim hak warisanmu."
"Dan kau akan mendapatkan warisanmu juga," katanya. "Pernahkah kau berpikir, bahwa mungkin warisanmu itu akan kuklaim juga?"
"Pernah," jawabnya. "Dan kurasa, kita akan memikirkan rencana lain setelah ini berakhir, kan?"
"Aku tidak suka terlalu banyak rencana," ujar Paul sambil mengaduk sebongkah gula ke dalam teh manisnya.
"Bukankah kita ini mirip, Your Grace?" tanya Alice santai. "Tidak terlalu sulit untuk rencana ke depannya. Aku bisa membaca pergerakanmu, dan kau bisa membaca pergerakanku. Kurasa pemenangnya butuh waktu bertahun-tahun."
"Bahkan permainannya belum dimulai. Dan kau ingin aku mempercepatnya dengan menyingkirkan saudari tirimu itu?"
Alice tersenyum tipis. "Ya. Bukankah lebih cepat lebih baik?"
"Berikan padaku nama lengkap Her Ladiship Marchioness of Northernland dan hal apa pun yang kau ingat tentang latar belakangnya," kata Paul. Kemudian, dia mengakhiri pembicaraan itu dengan menyeruput teh hangatnya lambat-lambat.[]
KAMU SEDANG MEMBACA
Covetous, Prejudice, and Revenge [✔- SUDAH TERBIT]
Fiction HistoriqueKetika hati Lady Alice Buckley diliputi keserakahan, prasangka, dan dendam. Rank #4 in Historical Fiction (23 Juni 2018)