Part 5

15.6K 994 13
                                    

-Elina Desma Gloria-

Ayu menyenggol lenganku dengan sikunya, membuat perhatianku terhadap dosen yang sedang mengajar teralihkan.

"Kenapa ?" Ucapku setengah berbisik.

"Itu Fajar kan ?" Ayu menunjuk arah jendela. Aku melihat ke arah sana. Benar saja, Fajar berdiri menggunakan seragam sekolahnya.

"Aku keluar bentar." Ucapku kepada Ayu dan Rissa.

Aku ijin sebentar kepada dosen lalu keluar dari kelas menemui Fajar yang terlihat sangat...tegang.

"Kenapa Jar ? Bukannya masih jam sekolah ?" Tanyaku langsung.

"Kita harus ke rumah sakit sekarang kak."

"Rumah sakit ? Ngapain ?" Tanyaku dengan bingung.

"Mama masuk rumah sakit."

Ucapan Fajar sukses membuat jantungku terasa berhenti berdetak.

"Jangan becanda !" Ucapku sedikit berteriak.

"Aku gak becanda kak. Mama kena serangan jantung. Papa udah di rumah sakit sekarang." Ucap Fajar dengan suara serak. Dia terlihat sedang berusaha menahan tangisnya.

"Tunggu sebentar. Kakak ijin dulu."

Aku buru-buru masuk ke kelas. Menemui dosen lalu meminta izin untuk ke rumah sakit sekarang juga. Setelah mendapat izin aku lalu mengambil tas di bangku yang tadi kududuki.

"Mama masuk rumah sakit." Ucapku kepada Ayu dan Rissa.

Setelah itu aku baru keluar dari kelas.

"Ayo cepetan."

Aku berlari di sepanjang lorong kampus menuju parkiran diikuti oleh Fajar dibelakang yang juga berlari dibelakangku. Fajar sempat meminta maaf kepada beberapa mahasiswa yang tidak sengaja kami senggol. Sungguh. Aku hanya ingin cepat berada di rumah sakit sekarang.

Fajar melajukan motornya dengan kecepatan sedang. Padahal aku sudah memintanya untuk mengendarai dengan cepat. Tapi dia tidak mau. Sepertinya akal sehatnya masih berfungsi dengan baik. Tidak seperti aku yang tidak bisa memikirkan apapun kecuali tentang mama.

Sesampainya di rumah sakit aku langsung berlari menuju ruangan mama di rawat.

"Papa." Aku memanggil papa yang akan masuk ke ruangan lalu memeluknya dengan erat.

"Mama kenapa pa ?" Tanyaku langsung.

"Mama kena serangan jantung. Ayo ke dalam. Mama lagi istirahat sekarang. Dokter sudah menangani mama dengan baik."

Aku masuk kedalam bersama papa. Mama terbaring lemah di ranjang rumah sakit dengan beberapa alat medis yang terpasang di tubuhnya. Aku mendekati ranjang mama lalu mengecup dahinya.

"Cepat sembuh ma." Ucapku pelan.

Papa merangkulku dari belakang. "Jangan sedih. Mama baik-baik aja. Dokter bilang tekanan darah mama tadi terlalu tinggi. Sekarang sudah mulai turun." Jelas papa.

Fajar masuk bersamaan dengan papa yang selesai menjelaskan. Sama sepertiku dia juga langsung mengecup dahi mama lalu mengucapkan kalimat "cepat sembuh ma."

***

Pukul sembilan lewat sepuluh menit. Aku menyandarkan badan disofa yang ada di ruangan mama di rawat. Papa pulang, aku menyuruh papa untuk mandi dan berganti pakaian. Sedangkan Fajar, dia lagi ke kantin yang ada di rumah sakit ini.

Suara pintu diketuk membuatku menoleh ke arah pintu bersamaan dengan masuknya Gavin.

"Hai." Sapanya pelan.

Aku tersenyum tipis. Dia mendekati ranjang mama lalu mengucapkan kalimat "cepat sembuh tante". Setelah itu dia memilih duduk di sebelahku.

"Sudah makan ?" Tanyanya pelan.

Aku menggeleng. "Aku tidak selera makan." Jawabku pelan.

Pandanganku lurus ke arah dimana mama terbaring lemah. Seharian ini aku benar-benar linglung. Rasanya dadaku sesak, tapi aku tidak tau bagaimana melampiaskannya.

Fajar masuk membawa sebotol minuman dingin rasa jeruk di tangannya lalu memberikannya kepadaku.

"Kak Gavin dari tadi ?" Tanyanya pada Gavin.

"Gak kok, baru aja dateng."

Gavin berdiri lalu mengulurkan tangannya kearahku. Aku menatapnya dengan dahi berkerut.

"Ayo ikut. Kamu butuh udara segar." Ucapnya pelan.

Aku berfikir sebentar lalu menerima uluran tangannya. Dia benar. Aku memang butuh udara segar sekarang.

"Jar, jagain mama." Pesanku kepada Fajar sebelum keluar.

Fajar mengangguk. "Kak Gavin, ajakin kak Elin makan juga sekalian. Dia belum makan dari tadi."

Gavin mengangguk lalu menarikku keluar dari ruangan mama.

Aku membiarkan Gavin membawaku entah kemana. Aku tidak punya tenaga untuk berdebat dengannya. Lagian Gavin yang bersamaku sekarang bukanlah Gavin yang menyebalkan seperti biasanya. Dia terlihat lebih pendiam, atau memang karena aku yang lagi tidak dalam mood untuk bicara banyak.

Gavin memberhentikan mobilnya disebuah taman. Dia keluar duluan lalu membukakan pintu mobil untukku.

"Turun." Perintahnya dengan lembut.

Aku menurut. Lagi-lagi dia menggandeng tanganku dan menarikku kesebuah kursi taman. Aku duduk disana dengan pandangan lurus ke depan. Gavin memilih duduk disamping kananku.

"Kamu bisa lepasin semuanya sekarang."

Aku menoleh. "Maksudnya ?" Tanyaku bingung.

"Semua yang kamu rasain. Aku tau kamu memendamnya. Aku bisa jadi pendengar yang baik."

Ucapan Gavin sukses membuat mataku berkaca-kaca. Perlahan-lahan air mata mulai menetes membasahi pipiku. Dadaku semakin sesak.

"Aku jarang ada dirumah." Ucapku memulai untuk menceritakan semuanya. "Aku lebih banyak menghabiskan waktu dikampus, nongkrong dikafe, main ke mall, jalan-jalan kemana saja bareng Ayu dan Rissa. Aku bahkan gak inget kapan terakhir kali cerita banyak sama mama, ngingetin mama makan, ngajakin mama olahraga, aku juga gak pernah tau kapan mama sakit karena mama memang gak pernah ngeluh. Aku takut Vin. Aku takut mama kenapa-napa. Aku nyesel sekarang kenapa aku gak ngabisin waktu di rumah aja sama mama." Ucapku sembari terisak.

Gavin memelukku dari samping, memaksa untuk menyandarkan kepalaku di dadanya. Aku menangis dipelukan Gavin tanpa malu.

"Tante Ella baik-baik aja. Dokter juga udah bilang kan kalau tidak ada yang serius." Ucapnya sambil mengelus kepalaku.

"Tetep aja aku takut. Aku lebih sering bikin mama kesal ketimbang ngebahagiain mama.

"Makanya jangan keluyuran terus. Anak gadis kok hobi keluyuran."

Aku memukul pelan dadanya. Sepertinya dia sudah kembali menjadi Gavin yang menyebalkan.

"Udah lebih tenangkan ? Sekarang ayo cari makan. Ngomongnya mau ngebahagiain tante Ella. Gimana mau ngebahagiain kalau sekarang aja gak mau makan."

Gavin melepaskan pelukannya yang langsung membuatku merasa...hampa. Dia berdiri lalu berjalan duluan. Gavin berhenti dan menoleh kebelakang saat merasa aku tidak mengikutinya.

"Kenapa masih duduk disana ?" Tanyanya.

"Tadi kan digandeng." Jawabku dengan polos.

"Gak usah ngarep ! Ayo cepetan, kalo enggak aku tinggal."

Gavin lanjut melangkahkan kakinya menuju mobil. Manusia dingin menyebalkan benar-benar telah kembali. Aku menghentakkan kaki lalu menyusulnya menuju mobil sambil menggerutu.

Tapi, walaupun Gavin akhirnya kembali menyebalkan. Aku tetap berterimakasih padanya. Karena dialah aku merasa lebih baik sekarang.

"Thank's Vin." Ucapku dalam hati.

Bersambung

Love me, pleaseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang