Elina Desma Gloria
Aku mengerjapkan mataku, menyesuaikan dengan cahaya lampu diruangan. Aku menatap sekitarku dan seketika sadar bahwa ini bukan kamarku.
Aku menoleh kesamping dan mendapati Gavin yang terlelap di sampingku. Dia tidur dengan posisi miring menghadapku serta tangannya yang melingkar diperutku. Aku tersenyum tipis.
Gavin masih saja terlihat tampan saat tidur menurut, bahkan disaat rambutnya acak-acakan. Aku merubah posisi tidurku dengan pelan-pelan menjadi menyamping menghadap Gavin. Meletakkan punggung tanganku di dahinya sebentar untuk memeriksa suhu tubuhnya. Untunglah suhu tubuh Gavin sudah tidak sepanas tadi.
Aku menyusuri alis mata Gavin dengan jari telunjukku. Mengelusnya bolak-balik sambil tersenyum tipis. Gavin mengerutkan dahinya yang membuatku sontak menghentikan kegiatan mengelus alis matanya.
Aku membiarkan Gavin kembali terlelap dalam tidurnya. Namun lagi-lagi jari telunjukku tidak tahan untuk tidak mengganggu Gavin. Kali ini, hidung Gavinlah yang jadi sasarannya.
Aku menyusuri hidung Gavin dari pangkal hidung sampai ujung hidungnya. Hidung Gavin yang mancung sungguh membuatku iri. Bagaimana bisa seseorang memiliki hidung sebagus ini.
Gavin memegang jari telunjukku tiba-tiba. "Jari ini nakal sekali." Ucapnya dengan suara serak khas bangun tidur.
Aku menatap Gavin yang sudah membuka matanya sambil memberengut. "Kamu ngagetin aku tau !" omelku.
Gavin tertawa kecil. "Jangan manyun gitu ih. Makin jelek kamunya. Lap dulu tuh iler." Ucap Gavin.
Aku reflex memegang sudut bibirku namun tidak merasakan ada iler disana. Dan melihat reaksi Gavin yang tersenyum jahil langsung membuatku sadar bahwa aku sedang dikerjain oleh Gavin.
Aku memukul Gavin pelan. "Kamu ngerjain aku ya !"
Gavin tertawa lagi. Aku lalu memukuli badan Gavin dengan tanganku. Saking semangatnya memukuli Gavin, aku sampai merubah posisiku dari yang tadi sedang tiduran , sekarang menjadi duduk disampingnya.
"Bener-bener ya kamu !" ucapku lagi sambil terus memukuli Gavin yang berusaha menghindari pukulanku.
Gavin memegang kedua tanganku lalu duduk dan mengecup bibirku dengan cepat. Setelah itu dia kembali berbaring. Membiarkanku duduk mematung disampingnya.
Aku kaget. Sangat kaget. Tidak siap dan tidak menyangka juga kalau Gavin akan mengecup bibirku.
"Pipi kamu merah. Dan aku suka." Ucap Gavin pelan sambil mengelus pipiku.
Aku mengalihkan pandanganku ke arah lain. Berusaha semaksimal mungkin menyembunyikan rona merah di pipiku.
"Aku...aku ke kamar mandi dulu." Ucapku akhirnya. Lalu beranjak dengan cepat menuju kamar mandi.
Didalam kamar mandi, aku melihat pantulan diriku di cermin sambil memegang dadaku. Merasakan debaran jantungku yang berdetak cepat. Lalu memegang pipiku yang terlihat merona. Astaga. Apa-apaan ini. Aku malu sekali.
***
Gavin Devon Adelard
"Pilihannya hanya ada dua. Aku nganterin kamu pulang atau kamu tidur disini." Ucapku tegas, tanpa mau dibantah.
Dari tadi, Elina bersikeras ingin pulang sendiri yang langsung aku tolak mentah-mentah. Sekarang sudah pukul sembilan malam dan aku tidak akan tenang jika membiarkan Elina pulang sendiri. Apalagi dia yang menyetir sendiri.
"Vin. Pertama, kamu masih sakit. Kedua, aku tidak mungkin menginap disini. Dan ketiga, aku baik-baik saja dan aku sudah terbiasa menyetir sendiri." Ucap Elina. Dia sama sekali tidak mau mengalah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love me, please
General FictionSeperti yang kau bilang sembilan tahun yang lalu. Aku tidak pantas untukmu. Jadi sekarang, menjauhlah dari hidupku. -Elina Desma Gloria- *** "Aku minta maaf. Sungguh. Aku menyesal." -Gavin Devon Adelard-