Gavin Devon Adelard
Aku memasuki ruangan dimana acara ulang tahun perusahaan Fajar berlangsung. Disini ramai sekali, semua orang yang hadir berpenampilan rapi dan glamour. Aku mengedarkan pandanganku. Mencari sosok Fajar di keramaian.
Aku melangkahkan kaki ke tempat Fajar berada saat sudah menemukannya. Dia sedang berbicara dengan rekan bisnisnya.
"Hai Jar." Sapaku pelan.
Fajar menoleh. "Hai kak. Akhirnya kakak datang juga."
"Selamat ya. Sukses terus pokoknya."
"Thank you kak, Kak gavin datang sendiri ?"
Aku mengedikkan bahu. "Memangnya mau datang sama siapa lagi ?"
"Cari pacar makanya biar ada yang nemenin. Udah tua masih jomblo aja." Ucap Fajar sambil terkekeh.
Aku berdecak. "memangnya kamu punya pacar ?"
"Engga sih. Tapi kan aku gak setua kak Gavin." Ucap Fajar lagi sambil tertawa. Namun beberapa saat kemudian dia sontak berhenti tertawa sambil melihat ke arah pintu masuk. Aku pun sontak mengikuti arah pandangnya.
Dadaku nyeri seketika, serasa habis disayat sesuatu yang tajam. Disana, aku melihat Elina yang terlihat sangat cantik melangkah masuk sambil menggandeng lengan lelaki yang sembilan tahun yang lalu membuatku sangat cemburu. lelaki itu adalah Justin.
Aku mengalihkan pandanganku, tidak sanggup lagi untuk menatap dua sejoli itu.
"Kak, are you okay ?" Tanya Fajar pelan.
Aku menaikkan sebelah alisku. "Memangnya kenapa ? gak ada hal yang mengharuskan kakak untuk tidak baik-baik aja kan ?" ucapku berbohong. Aku tidak mau Fajar mengetahui bahwa aku cemburu.
"Jar, kakak cariin dari tadi ju..." Elina sontak berhenti bicara saat aku menoleh ke arahnya. Dan dia pun refleks melepaskan tangannya dari lengan Justin. Dia menatapku dengan tatapan tidak percaya.
Hening beberapa saat.
Aku menatap Elina dengan tatapan penuh kerinduan. Sungguh, aku rindu saat-saat bersamanya. Melihatnya tertawa, melihatnya berbicara panjang lebar, dan melihatnya mengerucutkan bibir mungilnya saat cemberut.
Elina juga menatapku dengan tatapan...entahlah. Sepertinya ada kesakitan yang mendalam yang terlihat di matanya. Ya Tuhan, bagaimana bisa aku menyakiti gadis sebaik Elina.
"Sayang, kamu kenapa ?" Ucap Justin dengan nada lembut.
Apa barusan dia memanggil Elina dengan panggilan sayang ?
Sial !
Rasanya aku ingin menonjok wajahnya yang tersenyum manis kepada Elina itu.
"Eh. Apa ?" jawab Elina gelagapan.
"Mama sama papa mana kak ?" Ucap Fajar mencairkan suasana canggung di antara kami.
"Lagi dijalan, bentar lagi dateng kayaknya." Jawab Elina. Dia berbicara tanpa mau menatapku. Dia bertingkah seolah-olah aku tidak ada disini.
"Hai Jar, selamat buat ulang tahun perusahaannya." Ucap Justin menyalami Fajar.
"Thank's kak Justin."
"Kamu Gavin kan ? kita seangkatan dulu. Tapi kayaknya kamu gak bakal tau aku karena aku gak sepopuler kamu." Justin menyapaku sambil terkekeh kecil.
" Aku tau kamu kok." Jawabku datar.
" Tin, aku ke toilet dulu ya." Pamit Elina kepada Justin.
Dia lalu melangkah menuju toilet. Meninggalkanku bersama Justin dan Fajar. Suasananya canggung sekali, sulit rasanya menahan diri untuk tidak bersikap sinis kepada Justin.
"Aku keluar bentar." Ucapku kepada fajar dan Justin lalu melangkah menjauh dari mereka.
***
Elina Desma Gloria
Aku berusaha menenangkan debaran jantungku. Apa-apaan ini. Apa yang dilakukan Gavin di sini. Setelah bertahun-tahun kenapa sekarang dia bisa muncul lagi. Aku pikir kami tidak akan pernah bertemu lagi. Karena baik aku maupun dia memang berusaha untuk saling menjauh satu sama lain selama ini.
"what I have to do ?" bisikku pelan.
Aku menghela napas berat berkali-kali. Rasanya menyesakkan sekali harus berpura-pura tidak melihat Gavin. Karena sejujurnya aku sangat merindukan pria brengsek itu.
Bodoh bukan ?
Setelah merasa cukup tenang, aku memutuskan untuk keluar dari toilet. Namun bukannya merasa tenang, jantungku malah serasa ingin berhenti melihat siapa yang sedang bersandar di dinding, tidak jauh dari pintu toilet.
Orang itu adalah Gavin.
"Tenanglah Elina, cukup jalan dan anggap saja tidak ada siapa-siapa disana." Ucapku dalam hati.
Mengikuti kata hatiku, aku melangkah dengan santai. Berusaha menutupi kegugupanku. Tepat saat akan melewati Gavin, dia mencekal lenganku. Aku sontak berhenti dan berusaha melepaskan lenganku dari cekalan tangan Gavin. Tapi sia-sia saja. Tenaga Gavin jauh lebih kuat dariku.
"Lepasin." Ucapku, menatapnya dengan tajam.
"Aku pengen ngomong sama kamu. Sebentar aja."
"Gak ada yang perlu diomongin lagi."
"Aku minta maaf Elina." Ucapnya lembut.
"Maaf ?" aku berdecak. "Segampang itu ? kamu pikir kamu siapa ha ?" ucapku lagi.
"Aku tau aku keterlaluan, aku juga tau aku udah nyakitin kamu banget. Please, kasih aku kesempatan untuk memperbaiki semuanya."
"Memperbaiki apa ? kita gak ada hubungan apa-apa sebelumnya kan ? Jadi, mari kita bersikap seperti tidak saling mengenal saja. Itu lebih baik." Aku mengalihkan pandanganku dari Gavin, menahan rasa menyesakkan di dadaku.
"Elina..."
"Sudahlah Vin, aku mohon." Ucapku lirih.
Aku melepaskan lenganku saat merasa Gavin mengendurkan cekalan tangannya. Lalu berlalu meninggalkan Gavin sendirian di sana. Air mataku seketika mengalir. Beruntunglah aku tidak menangis saat di depan Gavin. Aku tidak mau terlihat menyedihkan lagi olehnya.
Kenapa rasanya sakit sekali ?
Kenapa harus dia yang aku cintai ?
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
Love me, please
General FictionSeperti yang kau bilang sembilan tahun yang lalu. Aku tidak pantas untukmu. Jadi sekarang, menjauhlah dari hidupku. -Elina Desma Gloria- *** "Aku minta maaf. Sungguh. Aku menyesal." -Gavin Devon Adelard-