Part 26

8.7K 574 13
                                    

Elina Desma Gloria

Aku mengerjapkan mataku, menatap sekitar dan tersadar bahwa ini bukan kamarku. Merasakan ada tangan seseorang yang melingkari perutku juga membuatku tersadar bahwa sekarang aku berada di apartemen Gavin.

Semalam, setelah menyelesaikan semua kesalahpahaman yang ada, kami memutuskan untuk tidur bersama. Jangan berfikiran negatif dulu, kami benar-benar hanya tidur. Tidak melakukan aktifitas apapun, kecuali...sedikit ciuman penghantar tidur.

Aku tersenyum, rasanya melegakan sekali bisa seperti ini bersama Gavin, pria yang ku cintai. Pelukan yang diberikan Gavin terasa sangat menenangkan. Membuatku betah berlama-lama dipeluk olehnya.

Meskipun status kami masih belum jelas, aku tidak merasa keberatan. Mungkin memang lebih baik seperti ini dulu. Setidaknya aku tahu kalau Gavin juga mencintaiku.

Aku membalikkan badanku pelan-pelan, berusaha agar tidur Gavin tidak terganggu. Pemandangan yang ada didepanku sungguh membuat hatiku menghangat. Gavin tidur menelungkup dengan tangan yang melingkari perutku serta kepala yang menghadap ke arahku.

Setelah puas mengamati Gavin, aku memutuskan untuk beranjak ke kamar mandi. Menyikat gigi dengan sikat gigi yang kuyakini milik Gavin lalu dilanjutkan dengan mencuci muka.

Dapur adalah tujuanku selanjutnya, aku memeriksa apa saja yang ada di kulkas milik Gavin, berniat untuk membuat sarapan. Aku menggerutu pelan, kulkas Gavin kosong. Benar-benar kosong.

Suara bel yang berbunyi membuat gerutuanku berhenti. Aku melangkah menuju pintu.

"Dengan mbak Elina ?" Tanya seorang pria yang menggunakan seragam dengan menenteng sebuah kantong kresek berwarna pink di tangan kirinya, dan sebuket mawar merah di tangan kanannya.

"Ya, saya sendiri." Jawabku, dahiku mengerut.

"Ini buat mbak Elina." Dia menyodorkan buket bunga, disusul dengan kantong kresek yang berada ditangan kirinya. Aku langsung mengambil kedua barang itu. "Tanda tangan disini ya mbak." Ujarnya lagi, dengan menyerahkan selembar blangko tanda terima beserta dengan penanya.

"Terimakasih, mbak." Pria itu menunduk kecil seraya tersenyum, lalu bersiap untuk melangkah namun lebih dulu ku cegah.

"Maaf mas, ini dari siapa ya ?" tanyaku, tanpa menutupi raut wajah penasaran.

Dia mengecek sebentar ponselnya lalu menatapku kembali. "Dari Mas Gavin mbak."

Aku mengangguk pelan. "Terimakasih mas."

"Sama-sama mbak."

Aku menutup kembali pintu apartemen lalu mengecek apa yang berada di dalam kantong kresek berwarna pink ini.

"Kapan dia memesannya ?" gumamku. Ternyata didalamnya ada kotak makanan dengan logo sebuah restoran yang menyediakan menu sarapan pagi. Aku meletakkan kedua barang itu di atas meja yang ada di dapur, lalu beranjak menuju kamar.

Suasana di kamar masih sama seperti saat ku tinggalkan. Gavin pun masih terlelap diatas kasur dengan selimut yang hanya menutupi hingga batas pinggangnya saja. Aku mendekat lalu menarik selimut itu.

"Udah deh gak usah pura-pura tidur lagi. Aku tau kamu sudah bangun."

Gavin masih diam. Lalu bergumam tidak jelas. Aku duduk di tepi ranjang, menusuk-nusuk pelan perut Gavin.

"Vin, makanan yang kamu pesan udah dateng. Jadi berhenti aktingnya. Aku lapar."

Gavin berdecak lalu membuka matanya. Sesuai yang ku duga, dia sudah bangun dari tadi.

"Kamu gak bisa bangunin aku dengan cara lebih manis lagi apa ?" tanya Gavin dengan raut wajah kesal yang dibuat-buat.

Aku menaikkan alisku. "Contohnya ?"

"Kasih morning kiss atau minimal peluk aku, gitu."

"Ngarep !" aku memukul Gavin dengan bantal.

Dia terkekeh pelan, lalu mengambil posisi duduk. "Kamu udah laper ?"

Aku mengangguk.

"Tunggu bentar. Aku cuci muka dulu." Gavin mengacak rambutku pelan lalu menyempatkan mencuri satu kecupan di bibirku. Setelah itu melesat dengan cepat ke kamar mandi.

"GAVIN IH !" teriakku.

***

Gavin Devon Adelard

"Maa." Aku memanggil mama yang sedang sibuk dengan kegiatannya di dapur.

"Kenapa Vin ?" tanya mama tanpa menoleh ke arahku.

"Gavin mau ngomong sesuatu."

"Ya udah ngomong aja."

Aku menghela napas. Lalu mendekati mama dan mengambil sendok yang lagi dipegang mama untuk mengaduk...entahlah, aku tidak tau namanya.

"Sini dulu ma." Aku menarik tangan mama lalu mendudukan mama di kursi meja makan. Karena memang kursi ini yang terdekat.

"Kamu kenapa sih ? Jangan bilang kamu bikin masalah lagi ya." Mama memelototkan matanya.

Aku berdecak. "Mama ih. Kok kesannya aku pembuat masalah banget ya."

"Emang iya." Jawab mama cepat.

Aku menghela napas lagi. Lalu berdeham pelan. Melanjutkan apa yang menjadi tujuanku mengajak mama duduk disini.

"Ma, Gavin mau mama sama papa ngelamar Elina buat Gavin malam ini." Ucapku mantap.

Mama menatapku dalam, lalu mengerjapkan matanya. "Kamu serius ?"

Aku mengangguk. "Sangat serius. Gavin ingin menikah sama Elina, ma."

"aaaaaaaaaaa." Mama berteriak senang lalu mencium kedua pipiku. Sementara aku pasrah menerima perlakuan mama.

"Ada apa ini. Bahagia sekali sepertinya." Papa datang dengan pakaian kantornya.

"Papa udah pulang." Mama lalu beranjak mendekati papa dan menyalami tangan papa yang dibalas dengan kecupan mesra di dahi mama. Mereka berdua memang masih sangat romantis meskipun usia pernikahannya sudah puluhan tahun. Aku juga ingin seperti mereka nantinya setelah menikah dengan Elina.

Aku juga ikut mendekati papa lalu menyalami tangannya.

"Paa, akhirnya sebentar lagi kita punya anak perempuan." Ucap mama antusias.

Papa mengerutkan dahinya. "Anak perempuan ? Mama hamil lagi ?"

Aku sontak menahan tawa sedangkan mama memukul lengan papa. "Sembarangan ! mama udah tua gini mana bisa hamil lagi." Omel mama.

"Terus ? Anak perempuan dari mana ?"

Mama menatap papa dengan dongkol. "Masa gitu aja gak ngerti sih pa. Ini lho pa, Si Gavin, dia minta kita buat ngelamar Elina."

"Elina anaknya Ella ?"

Mama mengangguk antusias. "Mama bahagia deh. Sejak pertama kali ketemu Elina sebenarnya mama pengen sekali dia yang menjadi menantu mama. Akhirnya kesampaian juga." Ucap mama dengan senyum sumringah.

"Jadi, perempuan yang kamu ceritakan sama papa itu Elina, Vin ?" Papa menatapku yang kubalas dengan anggukan.

"Memangnya Gavin cerita apa pa ?" Tanya mama dengan raut wajah penasaran.

"Mama kepo ih." Ujarku.

"Urusan lelaki ma." Jawab papa sembari merangkul bahu mama.

"Udah ah, Gavin ke kamar dulu. Bisa sakit mata Gavin ngeliat mama sama papa mesra-mesraan terus."

Aku lalu berlari ke kamar sebelum di omeli oleh mama.

Bersambung

Hai semuanya, aku mau numpang promosi doong hehehe.

Bantu subscribe, like, comment and share channel youtube aku dong.

Terimakasih :))

Love me, pleaseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang