Elina Desma Gloria
Aku berbaring di atas tempat tidur Gavin sambil menatap langi-langit kamarnya. Aku meletakkan telapak tangan di atas dadaku. Meresapi setiap detakan jantungku yang berdetak cepat karena Gavin.
Aku mencintaimu.
Kalimat itu masih teringat dengan jelas di ingatanku. Gavin mencintaiku. Dia mengatakannya saat memelukku di club tadi. Aku bahagia. Tentu saja. Tapi aku takut, takut jika ternyata Gavin mengatakan itu hanya agar aku memaafkannya saja. Walaupun tanpa mengatakannya pun aku akan tetap memaafkannya.
Ya, aku sudah memikirkannya. Aku akan berdamai dengan masalaluku, berdamai dengan Gavin.
Ngomong-ngomong, aku sengaja menggoda Gavin tadi. Aku tidak mau dia mendengar langsung dariku kalau aku sudah memaafkannya. Setidaknya hingga esok hari.
Aku tersenyum memikirkan bagaimana ekspresinya saat aku menggodanya.
Ponselku berdering, pertanda ada pesan singkat yang masuk. Aku lalu membukanya.
From : Justin
Are u okay ? Aku seharian gak bisa ngehubungin kamu. Aku merindukanmu.
Aku menghela napas berat. Merasa sangat bersalah sekali kepada Justin. Seharian ini aku memang belum menghubunginya. Aku bahkan lupa kalau aku memiliki pacar bernama Justin. Aku memutuskan untuk membalas pesan singkat Justin.
Aku baik-baik saja. Maaf membuatmu khawatir.
Tidak apa-apa sayang. Tidurlah, ini sudah malam. Good night, love.
Good night, Justin.
Aku meletakkan ponselku begitu saja. Lalu mengucapkan maaf berulang kali di dalam hati.
***
Gavin Devon Adelard
Aroma masakan dari arah dapur membuatku mau tidak mau bangun untuk melihat apa yang ada disana. Aku duduk di atas sofa dan meregangkan badanku. Semalaman tidur di sofa membuatku merasa pegal-pegal.
Aku beranjak menuju arah dapur. Pemandangan yang ku temui membuat kedua sudut bibirku terangkat. Elina sedang sibuk membuat sesuatu, entah apa itu, yang jelas aromanya membuat perutku meronta-ronta minta di isi.
Aku tidak bersuara sama sekali. Masih menatap Elina sambil tersenyum bahagia.
"Astaga ! kau mengagetkanku !" Ucap Elina sambil mengelus dadanya.
"Maaf." Ucapku sambil tersenyum. "Apa yang kau masak ?" tanyaku lalu duduk di salah satu kursi meja makan.
"Sandwich. Aku tidak bisa menemukan bahan makanan lain di dalam kulkasmu." Elina mengedikkan bahunya.
"Aku memang jarang mengisinya. Lagian aku kesini juga hanya sekali-sekali."
Elina hanya ber-oh ria.
"Oh iya, maaf aku meminjam kaosmu tanpa izin." Ucap Elina.
"Tidak masalah. Kau cantik memakainya."
Elina tidak membalas omonganku. Dia lalu mengulurkan sepiring sandwich dan segelas kopi untukku.
"terimakasih."
"Anggap saja itu biaya aku menginap disini." Ucap Elina lalu mulai memakan sandwichnya.
Aku mulai mencicipi sandwich buatan Elina. Rasanya enak. Dan aku menyukainya.
Kami makan dalam diam. Aku tidak mau merusak suasana damai pagi ini dengan membahas kebodohanku Sembilan tahun yang lalu. Setidaknya sampai kami menghabiskan sarapan.
"Aku aja yang cuci piringnya." Ucapku saat melihat Elina mulai beranjak untuk mencuci piring kotor miliknya.
"Gak papa, aku aja. Sini piring kamu sekalian."
"Aku bantu aja kalau gitu."
Aku berdiri disamping Elina yang sibuk menyabuni piring-piring kotor. Sementara aku membantunya membilas piring-piring tersebut lalu mengelapnya menggunakan kain bersih. Hanya membutuhkan waktu beberapa menit saja untuk kami menyelesaikan tugas mencuci piring ini.
"Lin, aku mau ngomong sesuatu." Aku memegang lengan Elina saat dia beranjak meninggalkan dapur.
Elina menatapku lalu menganggukan kepalanya. Aku menariknya keluar dari dapur menuju sofa yang ku tiduri semalam. Kami duduk berdampingan sekarang.
"Aku tau aku pengecut. Harusnya aku ngomong ini Sembilan tahun yang lalu. Elina, aku menyesal udah nyakitin kamu dan bikin kamu sedih. Aku benar-benar gak sadar sama apa yang aku ucapin waktu itu. Aku minta maaf. Aku mohon, jangan benci aku lagi." Aku menggenggam jemari Elina. Mengelusnya dengan sayang.
Elina menatapku dengan wajah datarnya. Menatapku tepat di manik mataku yang membuatku menjadi gusar. Aku takut Elina masih belum bisa memaafkanku.
Namun ketakutan itu sirna begitu saja saat Elina memberikan senyum manisnya sambil mengatakan sesuatu yang membuatku sangat lega.
"Aku udah maafin kamu, Vin."
"Kamu gak becanda kan ?"
Elina menggelengkan kepalanya, masih dengan senyum manis yang menghiasi bibirnya.
"Oh. Elina."
Aku sontak memeluk Elina dengan erat.
"Terimakasih." Ucapku lagi.
Aku merasa lega sekaligus bahagia luar biasa.
"Vin..."
"ya."
"Siapa yang ngijinin kamu meluk aku ?"
Aku sontak melepaskan Elina dari pelukanku. Lalu menggaruk tengkukku yang tidak gatal sama sekali.
"Sorry, aku terlalu seneng kayaknya."
Elina tertawa kecil. Dia terlihat semakin cantik saat tertawa. Tawa pertamanya yang kulihat sejak Sembilan tahun terakhir.
"Aku juga mau ngomong sesuatu sama kamu."
Aku mengernyitkan dahi. "apa ?"
"Aku juga mau minta maaf sama kamu. Beberapa hari belakangan aku ngerasa udah kasar banget sama kamu."
"Elina...jangan ngomong gitu. Semua itu bahkan belum sepadan sama apa yang udah aku lakuin ke kamu." Aku menundukkan wajahku.
Elina memegang pipi kiriku dengan jemari tangan kanannya. Aku memejamkan mataku, meresapi setiap elusan dari jemari lembut Elina.
"Jangan merasa bersalah lagi. Sungguh, aku udah ngelupain semuanya. Kita baikan. Oke ?"
Aku mengangguk sambil balas mengelus pipi kiri Elina dengan jemari tangan kananku.
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
Love me, please
General FictionSeperti yang kau bilang sembilan tahun yang lalu. Aku tidak pantas untukmu. Jadi sekarang, menjauhlah dari hidupku. -Elina Desma Gloria- *** "Aku minta maaf. Sungguh. Aku menyesal." -Gavin Devon Adelard-