Part 21

8K 549 6
                                    

Gavin Devon Adelard

"Lho Vin, gak ke restoran ?" Tanya mama kepadaku. Aku sedang menonton tv sambil memakan cemilan yang ada di atas meja.

"Engga ma. Males." Ucapku sambil terus mengunyah.

Mama menghampiriku lalu memilih duduk tepat disampingku. Setelah itu ikut mengambil cemilan yang ku pangku.

"Tumben banget males." Ucap mama lagi.

Aku mengedikkan bahu. Kembali fokus menonton tv. Sebenarnya acara tv sama sekali tidak ada yang menarik perhatianku. Tapi mau bagaimana lagi. Aku terlalu malas untuk keluar.

Beberapa hari ini, tepatnya sejak tiga hari yang lalu, aku tidak semangat melakukan apapun. Aku masih kesal dan tidak bisa melampiaskannya. Jadilah aku seperti ini. Berdiam diri dan membiarkan kekesalan menguasai fikiranku.

Aku masih sangat ingat kejadian tiga hari yang lalu. Dimana kedatangan si Justin sialan menghancurkan semua rencana bahagiaku hari itu.

Padahal aku sudah membayangkan akan mengantarkan Elina kekampus tempat dia mengajar, setelah itu akan menjemputnya lagi sekalian mengajak makan siang. Dan kalau dia mau aku akan mengajaknya jalan-jalan hingga menikmati matahari terbenam bersama.

Tapi semuanya gagal.

Ya.

GAGAL !

"Kamu kenapa sih ?" Tanya mama lagi.

"Kenapa apanya ma ?"

"Mama lihat tiga hari ini kamu uring-uringan terus. Keluar rumah juga ogah-ogahan. Kalau ada masalah itu cerita, jangan di pendam sendiri." Omel mama.

"Siapa yang uring-uringan sih ma."

"Ya kamu lah."

"Gak aah."

Suara bel menghentikan perdebatan antara aku dan mama. Terimakasih kepada siapapun diluar sana yang telah menyelamatkanku dari omelan mama. Biasanya omelan mama adalah hal yang ingin selalu aku dengar, karena dengan begitu aku merasa mama benar-benar mencintaiku. Namun tidak untuk hari ini. Aku terlalu lelah.

"Mama bukain pintu dulu." Ucap mama sambil beranjak melangkah menuju pintu. Aku melanjutkan acara menontonku.

Suara berisik dari arah pintu membuatku mengerutkan dahi. Penasaran dengan tamu yang datang, membuatku beranjak menuju ruang tamu.

"SURPRISE !!!" teriak seorang wanita saat melihatku. Dia mengangkat kedua tangannya tinggi seperti bocah lima tahun yang baru saja diberi hadiah.

"Masih inget pulang ?" ucapku sambil bersidekap.

Wanita itu tertawa sambil mendekatiku. "Kangen." Ucapnya manja, dia memelukku dengan erat.

Aku balas memeluknya, sesekali mengecup puncak kepalanya.

Kami berpelukan selama beberapa menit. Sungguh, aku merindukan wanita ini. Sudah hampir lima tahun kami tidak bertemu. Dan aku harap dia tidak akan pergi jauh lagi.

Aku melepaskan pelukanku lalu menangkup kedua pipinya. "Jadi, kali ini kamu akan menetap, kan ?"

Wanita itu mengangguk. "Cheril gak mau jauhan lagi sama mama papa. Lagian siapa lagi yang akan menghabiskan uang kak Gavin kalau bukan Cheril." Dia terkekeh di akhir kalimatnya.

Cheril Denolia, dia adalah adik sepupuku. Usia kami terpaut lima tahun. Dari kecil dia memang dekat denganku. Bahkan dia lebih sering menginap disini daripada di rumahnya. Aku sangat memanjakannya karena memang pada dasarnya aku menginginkan seorang adik. Namun sayangnya Tuhan tidak mengabulkannya.

Lima tahun. Ya lima tahun sudah cukup bagi kami berjauhan. Andai saja dia tidak meminta untuk melanjutkan studinya ke London. Tentu kami tidak akan berjauhan. Tapi tidak apa-apa. Asalkan adik kecilku ini bahagia. Maka aku akan selalu mendukung keputusannya.

"Baguslah kalau begitu. Kak Gavin tidak akan mengijinkanmu kemana-mana lagi." Ucapku dengan nada galak yang di buat-buat.

Cheril mencibir. "Lima tahun kutinggalkan ,ternyata tidak mengubah sifat posesif kakak. Cheril udah dewasa kak. Pokoknya kalau nanti ada cowok yang ngedeketin Cheril, kakak gak boleh marahin cowok itu seperti dulu lagi." Dia mengerucutkan bibirnya.

Aku tertawa mengingat bagaimana cheril memarahiku karena aku menemui pacarnya dan memintanya untuk tidak mendekati Cheril lagi. Lagian dia masih sekolah waktu itu, dan aku tidak mau fokusnya terbagi ke hal-hal yang tidak penting.

"Tergantung cowoknya dong. Kalau dia brengsek tentu saja kakak akan menyuruhnya untuk tidak mendekati kamu."

"Sudah-sudah. Kalian ini kalau sudah bertemu pasti berisik sekali." Ucap mama menyela perdebatan kami. "Cheril, lebih baik kamu ajak kakak kamu ini keluar. Sudah tiga hari dia berdiam diri terus dirumah. Tante sampai bosan melihatnya."

"Ma...aku anak mama lho. Masa sama anak sendiri bosen." Ucapku pura-pura merajuk.

Cheril tertawa. "Baiklah Tante, Cheril pastikan akan menyeret kak Gavin kalau dia tidak mau keluar."

Aku berdecak melihat dua orang wanita yang sangat aku sayangi ini tertawa bahagia di atas kegalauanku. Aku beranjak ke kamar untuk bersiap-siap.

Mama benar, aku butuh udara segar.

Bersambung

Love me, pleaseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang