Elina Desma Gloria
"Makasih buat hari ini ya, aku pasti udah ngabisin duit kamu banyak banget ya." Ucapku dengan nada tidak enak kepada Justin. Pasalnya semua belanjaan yang aku beli hari ini di bayar oleh Justin. Tiap kali aku akan membayar, dia selalu lebih dulu menyerahkan kartu kreditnya.
Justin mengelus kepalaku. "Kok pake terimakasih sih, aku berasa orang asing aja buat kamu."
"Gak gitu maksudnya."
Justin tertawa kecil. "Iya-iya. Jangan manyun gitu ah." Ucapnya lagi.
"Kamu jadi berangkat besok ?" Tanyaku. Memastikan dia jadi berangkat ke Bali apa tidak.
Justin mengangguk. "Iya. Kalau boleh milih, aku lebih milih disini sama kamu. Tapi gak bisa. Aku punya kerjaan disana."
"Aku ngerti kok. Besok aku ikut anter ke bandara ya."
"Memangnya kamu gak sibuk ?"
Aku menggeleng."Gak kok."
"Baiklah. Besok aku jemput jam 10."
Aku mengangguk. "Ya udah, aku masuk sekarang ya. Kamu hati-hati nyetirnya." Ucapku sambil membuka pintu mobil, namun keburu di tahan oleh Justin. "Kenapa ?" tanyaku seraya mengerutkan dahi.
Justin tidak mengatakan apa-apa. Dari caranya mendekatkan wajahnya ke arahku, aku tahu apa yang akan di lakukannya. Aku menelan salivaku dengan susah payah. Ini di luar bayanganku.
Selama ini Justin tidak pernah melakukan hal yang aneh-aneh. Paling-paling dia hanya berani mengecup dahiku. Itu pun bisa di hitung berapa kalinya.
"Justin..." ucapku pelan.
Tepat saat bibir Justin hampir menyentuh bibirku, aku memalingkan wajahku ke kiri. Jadi hanya pipi kananku saja yang di kecup oleh Justin.
Justin masih menjaga jarak kami, dia belum menjauhkan wajahnya. Aku masih bisa merasakan hembusan nafasnya di pipiku. Aku pun masih dengan posisi yang sama.
Tidak lama setelahnya Justin menjauhkan wajahnya lalu mengelus pipi kiriku. Sedikit memaksa untuk melihat ke arahnya. Dia tersenyum. Tapi entah kenapa aku merasa senyum itu berbeda dari senyum biasa yang dia berikan kepadaku.
Bibirnya memang menyunggingkan senyum lebar, tapi matanya tidak bisa berbohong. Di matanya terpancar kesedihan yang mendalam. Dan itu membuatku sedih karena aku lah yang menyebabkannya bersedih.
"Masuklah. Besok aku jemput." Ucap Justin, masih dengan senyuman di bibirnya.
Aku mengangguk. "Hati-hati, Justin."
Aku keluar dari mobil, lalu melambaikan tangan. Aku menatap mobil yang di kendarai oleh Justin hingga mobil itu menghilang dari penglihatanku. Aku menghela napas berat.
I'm sorry, ucapku lirih.
Aku berbalik dan melangkah sambil sesekali menghela napas berat. Mencoba menghilangkan sesak di dadaku. Kakiku sontak berhenti melangkah melihat Gavin yang baru saja keluar dari dalam rumahku. Dia terlihat kaget dengan kedatanganku namun secepat mungkin memasang wajah datarnya lagi.
"Gavin..." panggilku saat dia hampir melewatiku begitu saja. Seolah-olah tidak melihatku sama sekali.
Gavin menghentikan langkahnya. Dia berdiri disampingku tapi tidak menatapku sama sekali.
"Kamu...hm..." aku tidak melanjutkan ucapanku.
"Aku kesini ngasih titipan mama kamu. Kalau itu yang pengen kamu tahu." Ucap Gavin datar.
Aku menghela napas pelan. "oh."
"Udah gak ada yang mau kamu tanyakan lagi kan ?" pertanyaan Gavin dengan nada datar membuat mataku sontak berkaca-kaca. "Aku pulang." Ucap Gavin lagi. Suara langkah kaki Gavin yang menjauh membuatku tidak bisa menahan air mata lagi.
Aku menumpahkan semua sesak yang terasa di dadaku dengan menangis. Lututku lemas seketika. Aku berjongkok sambil membenamkan wajahku di lengan. Menangis tersedu-sedu tanpa berniat untuk masuk ke dalam.
"Cengeng banget sih !"
Aku sontak mendongak. Dan mendapati Gavin yang ikut berjongkok di depanku.
Bukankah tadi dia sudah pergi ?
Gavin mengulurkan tangannya untuk menghapus air mataku. "Jangan menangis. Gak cocok sama usia kamu." Candanya.
Aku memberengut. "Kamu kenapa balik lagi ?"
Gavin menghela napas pelan. "Aku gak se-brengsek itu buat ninggalin kamu yang nangis sesegukan gitu. Aku pernah brengsek, dan itu dulu. Aku gak mau menjadi penyebab kamu menangis lagi."
"Kamu gak brengsek." Ucapku pelan.
Gavin menarik tanganku untuk berdiri lalu menarikku ke dalam pelukannya. Mengelus punggungku dengan sayang. Rasanya nyaman sekali. Entah kemana rasa sesak yang tadi menyesakkan dadaku.
"Maaf kalau aku bikin kamu nangis lagi, aku gak bermaksud sama sekali. Jujur, aku masih kesal dengan kejadian tiga hari yang lalu. Bukan kesal sama kamu. Aku mana bisa kesal sama kamu. Tapi ya gitulah, entah kenapa aku malah ngebales ke kamu gini. Jangan nangis lagi ya."
"Aku jahat ya..."
"Siapa yang bilang gitu ?"
"Aku ngerasa sendiri. Aku jelas-jelas udah punya Justin. Tapi..." aku menghela napas. Berfikir untuk melanjutkan atau tidak. "aku malah sayangnya sama kamu." Aku kembali menangis. Gavin lantas mengeratkan pelukannya.
"Udah. Jangan nangis terus." Gavin melepaskan pelukannya. Menyeka bekas air mata di pipiku. Lalu menangkup kedua pipiku. "Aku udah pernah bilang kalau aku mencintai kamu kan ?"
Aku mengangguk. Menatap Gavin dan menunggu lanjutan ucapannya.
"Elina, aku masih sangat mencintai kamu. Kamu harus ingat itu. Tapi, kamu memiliki Justin. Kalian berdua yang memutuskan untuk menjalin hubungan. Dan aku tidak mau merusak itu. Walaupun aku ingin sekali kamu putus dari dia."
"Jalani bersama dia. Cobalah untuk mencintainya. Aku bisa melihat bagaimana dia sangat mencintai kamu. Mungkin, kita memang tidak berjodoh. Jaga diri baik-baik ya. Aku sayang kamu." Gavin mengecup dahiku, lama.
Setelah itu dia pergi. Meninggalkanku dengan perasaan yang kacau balau.
Apakah ini akan menjadi perpisahan kami untuk yang kedua kalinya ?
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
Love me, please
General FictionSeperti yang kau bilang sembilan tahun yang lalu. Aku tidak pantas untukmu. Jadi sekarang, menjauhlah dari hidupku. -Elina Desma Gloria- *** "Aku minta maaf. Sungguh. Aku menyesal." -Gavin Devon Adelard-