Elina Desma Gloria
"Selamat pagi ma, pa." aku menyapa mama dan papa yang sudah duduk di meja makan. Papa sedang membolak-balik korannya. Sedangkan mama sedang menata bubur ayam yang menjadi menu sarapan pagi ini.
"Selamat pagi sayang." Balas mama.
"Ngajar pagi Lin ?" Tanya papa, lalu meletakkan korannya di atas meja.
"Iya pa, hari ini jadwal terakhir. Minggu besok anak-anak udah pada ujian semester."
Papa mengangguk.
Suara bel dari arah depan membuatku heran. Siapa tamu yang datang di jam segini. Aku baru saja akan beranjak untuk membukakan pintu. Namun Fajar lebih dulu menyela.
"Fajar aja yang buka." Ucapnya. Dia telah rapi dengan pakaian kantornya.
Tidak berapa lama Fajar masuk, diikuti oleh Gavin di belakangnya.
"Selamat pagi Om, Tante. Maaf mengganggu pagi-pagi." Ucap Gavin dengan raut wajah tidak enak.
Papa terkekeh pelan. "santai saja Vin. Duduk sini. Sekalian sarapan bareng saja." Ucap papa yang diangguki oleh mama.
Gavin mengangguk sambil tersenyum tipis. "Terimakasih Om. Kebetulan Gavin belum sarapan." Dia tertawa di akhir ucapannya. Gavin mengambil tempat duduk tepat di sebelahku. Menoleh ke arahku lalu tersenyum sumringah. "Selamat pagi, Elina." Ucapnya.
"Pagi. Tumben banget pagi-pagi kesini." Ucapku heran.
"Aku mau nganterin kamu ke kampus. Mobil kamu kan masih dirumah aku."
"Memangnya kamu sudah sembuh ?"
"Sudah. Aku anter ya ?"
Aku mengangguk pelan. Tadinya aku mau minta diantar Fajar saja. Tapi berhubung Gavin sudah disini, aku jadi tidak enak untuk menolaknya. Lagian siapa yang bisa menolak pesona seorang Gavin Devon Adelard.
Ngomong-ngomong soal pernyataan cinta Gavin semalam, aku sungguh dibuat bingung oleh sikapnya. Aku tidak tau apa maksud Gavin menyatakan perasaannya. Setauku, para pria akan meminta jawaban atas pernyataan cinta mereka. Namun tidak begitu dengan Gavin. Bukannya meminta jawaban, dia malah bersikap seperti tidak terjadi apa-apa semalam.
Mungkinkah kepalanya habis terbentur sehingga mengakibatkan dia amnesia ?
Astaga, entah apa yang sudah ku fikirkan.
Suara bel lagi-lagi berbunyi tepat saat kami akan menyantap sarapan. Fajar kembali menawarkan diri untuk membuka pintu. Sementara kami mulai memakan bubur ayam buatan mama.
"Selamat pagi Om, Tante."
Aku langsung tersedak saat mendengar suara orang yang menyapa mama dan papa. Gavin langsung menepuk pelan punggungku lalu memberikan segelas air putih kepadaku. Setelah merasa baik, aku lalu menatap orang yang berdiri di sebelah Fajar.
Aku terpaku seketika. Orang itu adalah Justin. Dia memegang sebuket bunga di tangannya. Justin menatapku dengan dahi berkerut. Lebih tepatnya, Justin menatap tangan Gavin yang masih berada di punggungku.
"Selamat pagi Justin. Sudah sarapan ? Mau sarapan bareng kami ?" Suara mama memecah keheningan yang terjadi. Gavin sontak melepaskan tangannya dari punggungku.
"Duduk kak." Ajak Fajar kepada Justin.
"Kamu...kok gak ngabarin kalo kesini ?" tanyaku sedikit canggung. Aku melirik Gavin yang menatap Justin dengan datar.
"Tadinya aku mau bikin kejutan. Tapi sepertinya aku yang dibuat terkejut." Ucap Justin sambil tersenyum. Aku merasa bersalah sekali. Entah karena apa. Aku merasa seperti sedang kepergok berselingkuh saja.
"Ayo dimakan, keburu kalian semua terlambat." Ucap papa, yang sepertinya mengerti dengan keadaan yang terasa aneh ini.
Kami semua makan dalam suasana hening. Tidak ada yang berbicara. Hanya suara sendok beradu dengan piring saja yang terdengar. Aku memaksakan diri untuk menghabiskan sarapan. Sesekali melirik Gavin dan Justin yang entah kenapa juga saling melirik dengan datar.
Selesai makan, Fajar langsung berpamitan untuk berangkat duluan. Dia bilang ada rapat penting pagi ini.
"Lin, aku anter ke kampus ya ?" Tanya Justin sambil tersenyum.
Aku diam. Bingung harus menjawab apa.aku rasanya ingin menolak saja karena aku sudah mengiyakan ajakan Gavin tadi. Tapi tidak mungkin juga rasanya. Aku masih cukup waras dan masih sangat mengingat kalau Justin itu adalah kekasihku.
"Om, Tante, Gavin pamit dulu ya. Terimakasih untuk sarapan gratisnya." Ucap Gavin sambil terkekeh pelan. Dia menyalami mama dan papa. "Duluan bro." Ucap Gavin lagi, dia menepuk pelan bahu Justin. lalu melangkah keluar rumah. Dia tidak melihatku sama sekali.
Aku menatap Gavin yang melangkah keluar. Dadaku terasa nyeri seketika. Aku tau, hatiku tidak menginginkan ini. Aku menghela napasku, berharap rasa sesak ini berkurang.
"Kita berangkat sekarang ?" Ajakan Justin membuatku kembali tersadar akan kebodohanku barusan. Bisa-bisanya aku menatap Gavin dengan lama saat kekasihku berada disini. Kekasih macam apa aku ini.
Aku tersenyum tipis. "Ayo." ucapku pelan.
"Elin berangkat ya ma, pa." aku menyalami kedua orangtuaku. Diikuti oleh Justin dibelakang.
"Justin pamit Om, Tante. Bubur buatan Tante enak." Ucap Justin dengan tulus.
Mama tertawa pelan."Benarkah ? jangan kapok-kapok kesini kalau gitu." Ucap mama.
"Justin malah seneng bisa sering-sering kesini Tan."
Aku dan Justin melangkah keluar dari rumah. Dia berjalan tepat di sampingku. Sesampainya di mobil Justin langsung membukakan pintu untukku.
"Ini buat kamu." Justin memberikan sebuket bunga yang tadi di bawanya.
"Terimakasih Justin. kamu gak harus memberikan bunga seperti ini." Ucapku sambil tersenyum.
"Memangnya salah kalau aku memberikan bunga untuk kekasihku ?" Ucap Justin datar.
Aku kaget. Tidak menyangka Justin akan menjawabku dengan datar seperti itu. aku memutuskan untuk diam.
Aku mendengar Justin menghela napasnya. Dia mengelus pipiku dengan pelan yang membuatku sontak menoleh ke arahnya.
"Maaf ya, aku bikin kamu sedih. Aku gak bermaksud buat marah sama kamu." Ucapnya dengan raut wajah bersalah.
Sifat Justin yang seperti ini malah membuatku semakin merasa bersalah. Bagaimana bisa aku menyia-nyiakan orang sebaik Justin. Dia bahkan sangat menyayangiku.
Aku langsung memeluk Justin. "Maafin aku." Ucapku dengan lirih.
Justin mengelus punggungku. "Kenapa minta maaf. Kamu gak salah apa-apa. Aku saja yang terlalu cemburu melihat ada Gavin disana. Padahal aku tau kalau keluarga kalian memang dekat. Maaf ya sayang."
Aku menggeleng dipelukannya.
"Kamu segitu kangennya ya sama aku, sampe gak mau pelukannya dilepas gini." Justin tertawa pelan.
Aku melepaskan pelukanku lalu memberengut. "Ayo berangkat, nanti aku telat." Ucapku pura-pura ngambek.
"Baiklah sayang, nanti siang aku jemput lagi ya. Kita makan siang bareng."
Aku mengangguk, lalu membiarkan Justin mengendarai mobilnya. Sementara aku menatap ke arah jendela sambil menghela napas berat.
Apa yang sedang aku lakukan sebenarnya.
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
Love me, please
General FictionSeperti yang kau bilang sembilan tahun yang lalu. Aku tidak pantas untukmu. Jadi sekarang, menjauhlah dari hidupku. -Elina Desma Gloria- *** "Aku minta maaf. Sungguh. Aku menyesal." -Gavin Devon Adelard-