Part 17

12.1K 711 9
                                    

Elina Desma Gloria

Tok tok tok.

Suara ketukan pintu kamar membuatku mau tidak mau melangkah menuju pintu. Membuka kuncinya lalu menemukan Fajar berdiri di depan pintu sambil tersenyum manis.

Aku menaikkan sebelah alisku sambil bersidekap. "Kenapa senyum-senyum gitu ?" tanyaku curiga.

Fajar mengedikkan bahunya. Lalu masuk begitu saja dan langsung menghempaskan badannya di ranjang empukku.

"Udah lama banget rasanya aku gak kesini." Fajar berbaring berbantalkan kedua tangannya. Lalu menoleh ke arahku. "Bener kan kak ?"

"Kamu terlalu sibuk." Aku ikut berbaring di sebelah Fajar sambil memainkan ponselku.

"Wajarlah. Aku kan CEO. Ganteng pula."

Aku melempar Fajar menggunakan bantal terdekat yang bisa aku raih. "Narsis banget sih kamu."

Fajar tertawa. Lalu memiringkan tubuhnya. Menghadap ke arahku. "Kak." Panggilnya.

"hm."

Fajar merebut ponsel dari tanganku. "Liat aku dulu kenapa sih." Gerutunya.

Aku menghela napas. Lalu ikut berbaring miring menghadap Fajar. "Apa sih Jar ?" tanyaku kesal.

"Kak Gavin beneran kesini kemarin ?"

"Gavin siapa ?"

"Kak, gak usah pura-pura gak tau deh. Perlu aku sebutin nama lengkapnya ?"

Aku tertawa. "Pasti mama yang bilang ya ?"

Fajar mengangguk. "Kakak tau sendiri gimana mama."

"Ya gitu deh."

"Ya gitu gimana ?"

"gitu aja."

"Kaaaaak..."

Aku tertawa lagi. Puas sekali rasanya bisa menggoda Fajar seperti ini. "Iya-iya. Gavin kemarin kesini, nganterin kakak pulang. Udah puas?"

"Pantes aja aura kakak jadi beda gitu." Cibir Fajar.

"Beda gimana ?"

"Lebih bahagia gitu. Ternyata sang pangeran telah kembali."

"Norak ih. Gak usah lebay deh Jar."

Fajar tertawa pelan sambil mencibir. "kak." Panggilnya lagi.

"Apa lagi ?"

"Ngomong-ngomong pangeran yang lagi kita omongin lagi di bawah sekarang. Ngobrol sama papa."

Aku mencerna ucapan Fajar barusan dan langsung membelalakkan mataku. "KAMU BECANDA ?"

Fajar menggeleng pelan sambil tersenyum. Aku memukulinya menggunakan bantal bertubi-tubi lalu beranjak meninggalkan kamar. Suara tawa Fajar masih terdengar jelas saat aku menutup pintu. Menyebalkan.

Aku melangkah keruang tamu. Terlihat papa dan Gavin yang sedang asyik mengobrol. Papa sedang menanyakan Gavin tentang perkembangan usaha restorannya. Mereka berdua seperti teman lama yang jarang bertemu saja. Tidak ada kecanggungan sama sekali.

"Hei Vin." Sapaku pelan.

Gavin menoleh sambil tersenyum. Papa juga menoleh ke arahku. Aku memilih duduk di samping papa.

"Dari tadi ?" tanyaku.

"Lima belas menit yang lalu lah."

Aku mengangguk.

"Wah sepertinya papa gak dibutuhin lagi disini. Papa mau kedalam saja."Ucap papa, menyindirku dan Gavin.

"Papa apaan sih." Ucapku malu-malu.

Gavin tertawa pelan. "Disini saja om. Gavin senang bisa ngobrol sama om. Gavin bisa nyuri banyak ilmu dari om."

"Lebih senang mana ngobrol sama om apa ngobrol sma Elin ?" Papa masih saja menggodaku.

"Pa..." ucapku merajuk.

"Pertanyaan yang sulit di jawab om." Gavin terkekeh di akhir kalimatnya.

Papa tertawa lagi lalu merangkulku pelan sembari mengelus lenganku. "Ya sudah, kalian lanjutkan saja ngobrolnya. Papa mau ke dalam dulu. Om tinggal ya Vin."

Gavin mengangguk sambil tersenyum. "Iya om."

Seperginya papa dari ruang tamu, Gavin menatapku dengan alis yang sedikit terangkat.

"Kenapa ?" tanyaku heran.

"Kamu masih aja suka pake baju kurang bahan gitu."

Aku melihat baju yang kukenakan. Tidak ada yang salah menurutku. Celana pendek dipadukan dengan kaos oblong rumahan. Lagian aku kan tidak kemana-mana. Hanya dirumah saja.

"Aku kan dirumah doang. Biasa aja ah."

"Jalan yuk." Ajaknya tiba-tiba.

"Kemana ?"

Gavin mengedikkan bahunya. "Kemana aja."

Aku berfikir sebentar. Lalu menganggukkan kepalaku. "Aku ganti baju dulu."

"oke."

***

"Enak ?" Tanya Gavin padaku.

Aku mengangguk lalu mulai menghabiskan es krim milikku.

Gavin membawaku ke taman yang pernah kami datangi dulu, sembilan tahun yang lalu. Kami duduk bersebelahan. Menikmati suasana malam disini.

"Dingin ?" Tanya Gavin lagi. Sepertinya dia melihat gerakan tanganku yang memeluk diri sendiri.

"Lumayan."

Gavin membuka jaket yang dipakainya. Lalu memberikannya kepadaku. "Pakai aja."

"Memangnya kamu tidak dingin ?"

Gavin menggeleng. Aku mengulurkan es krim milikku kepada Gavin. Menyuruhnya untuk memegang es krim sementara aku mengenakan jaket miliknya. Wangi parfum Gavin yang tertinggal di jaketnya membuatku tersenyum tipis. Aku suka sekali aroma parfumnya. Menenangkan.

"Kenapa senyum ?" Tanya Gavin dengan nada heran.

Aku terkekeh lalu menggeleng. "Gak ada apa-apa."

Aku kembali mengambil es krim milikku. Hanya butuh waktu satu menit saja untuk menghabiskannya karena memang hanya tinggal sedikit.

"Besok kamu ngajar ?"

Aku mengangguk. " Iya. Mau ujian semester. Jadi mau ngejar target jadwal mengajar."

Gavin ber-oh-ria. "Ngajar jam berapa ? aku anter, mau ?"

"Jam 10, gak usah Vin. Aku bawa mobil sendiri."

Gavin terlihat sedikit kecewa, namun juga tidak memaksa.

"Kalau gitu makan siang bareng aku aja, mau ?" ajaknya lagi.

Aku tersenyum. "baiklah."

Gavin kembali tersenyum. Raut wajah kecewa yang tadi menghiasi wajahnya hilang entah kemana.

Kami sama-sama diam setelahnya. Bukannya tidak ada pembahasan. Hanya saja aku ingin menikmati malam ini dengan tenang. Merekam semua memori ini didalam hatiku.

Hanya ada aku, Gavin, cahaya bulan, lampu taman, suara jangrik...dan jantungku yang berdebar cepat olehnya.

Bersambung

Love me, pleaseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang