Part 24

8K 593 19
                                    

Elina Desma Gloria

Aku menghela napas berat. Berkali-kali.

Semalam, aku sangat bersemangat ingin mengantarkan Justin ke Bandara. Namun hari ini, entah kemana perginya semua semangat itu.

"Kan aku udah bilang, kalau kamu capek harusnya kamu di rumah aja. Gak usah ikut ke Bandara." Ucap Justin lembut seraya mengelus rambutku. Kami sedang berada di dalam sebuah taxi karena Justin melarangku untuk menyetir sendiri.

Aku menggeleng pelan. "Aku gak capek, Justin." Ucapku, berbohong. Sebenarnya bukan fisikku yang capek, melainkan hatiku. Aku masih tidak menyangka kalau Gavin benar-benar melepaskanku.

Justin tersenyum. Memilih untuk memainkan ponselnya. Sedangkan aku, memilih untuk menatap ke luar jendela dengan fikiran menerawang.

Sesampainya di Bandara, Justin melarangku untuk turun dari taxi. Aku mengerutkan dahiku, bingung dengan aksi Justin yang memegang lenganku.

"Kenapa ?" tanyaku.

"Elina..." Justin menggenggam kedua tanganku. Menatap tepat ke manik mataku. "Kamu gak usah turun. Langsung pulang aja." Ucapnya pelan. Walaupun Justin mengucapkannya sambil tersenyum, aku bisa melihat ada kesedihan di mata Justin.

"Aku mau turun."

Justin menggeleng. "Gak Lin. Udah cukup semuanya. Jangan menyakiti diri kamu sendiri lagi."

"Maksud kamu ?"

Justin menghela napasnya. Lalu memberikan senyum tipisnya. "Aku tau dari awal kamu tidak mencintaiku. Tapi entah kenapa aku masih saja memaksakan diri untuk bersamamu. Tadinya, aku fikir seiring dengan berjalannya waktu, kamu bisa mencintaiku. Tapi ternyata enggak. Kamu tidak pernah benar-benar melihatku. Yang kamu lihat hanyalah Gavin..."

"Justin..." ucapku lirih dengan berkaca-kaca.

"sssst..." Justin menghapus butiran air mata yang jatuh ke pipiku. "Jangan menangis."

Aku menggeleng. Lalu Justin membawaku ke pelukannya. Mendekapku erat sambil sesekali mengecup puncak kepalaku.

"Aku akan ke Bali hari ini. Dan aku gak akan balik ke sini lagi."

"Jangan bilang gitu. Aku...aku sayang sama kamu." Aku terisak di pelukan Justin.

"Aku tau. Tapi sayang kamu hanya sebatas teman Lin. Kamu tidak pernah mencintaiku. Jangan memaksakan diri lagi. Aku hanya ingin kamu bahagia. Dan sayangnya, bahagia kamu bukan bersamaku, tapi bersama Gavin."

Aku melepaskan diri dari pelukan Justin. Menatapnya dengan sendu. "Maaf." Ucapku lirih.

Justin menggeleng. "Kamu gak salah apa-apa Lin."

"Aku jahat. Aku...aku benar-benar tidak punya perasaan. Dan aku...aku bodoh sekali." Aku kembali menangis terisak-isak.

"Jangan menangis Elina. Ini yang terbaik buat kita."

Aku mengangguk. "Bisakah kita tetap berteman ?"

Justin menatapku sendu. "aku butuh waktu untuk menata hatiku kembali. Maaf..."

"Aku tau." Ucapku cepat, menyela ucapan Justin. Aku menunduk. Mencoba mengerti bagaimana posisi Justin sekarang ini.

Justin mengangkat daguku dengan jarinya. "Aku belum selesai bicara. Berhenti memasang wajah seperti itu." Justin tersenyum geli. Aku memberengut melihatnya. "Nanti, setelah aku bisa menata hatiku kembali. Aku pasti akan mencarimu. Walau bagaimanapun, aku akan tetap menyayangimu meskipun bukan sebagai pacar lagi."

"Terimakasih Justin." Aku memeluk Justin dengan erat. Rasanya melegakan sekali. Aku berharap Justin bisa cepat menemukan wanita yang benar-benar mencintainya.

"Aku harus berangkat sekarang." Justin melepaskan ku dari pelukannya.

"Hati-hati di jalan."

Justin mengangguk lalu mengecup dahiku, lama.

"Selamat tinggal, Elina." Ucapnya pelan.

Gavin Devon Adelard

"Vin, bisa ke ruangan papa sebentar ?"

Aku mengangguk lalu mengikuti papa menuju ruang kerjanya. Jika sudah dipanggil seperti ini, pasti ada sesuatu yang penting yang ingin di sampaikan papa. Apapun itu, aku berharap bukan sesuatu yang buruk.

"Duduklah." Ucap papa dengan nada tegas seperti biasa.

Aku menurut. Lalu menatap papa yang memilih duduk tepat di depanku.

"Kamu ingat tidak, saat kamu berusia 7 tahun. Kamu selalu menunggui papa pulang kerja di teras rumah. Kamu tidak peduli jika mama mengomelimu karena kamu akan selalu menunggu walaupun hari sudah malam." Papa terkekeh dengan fikiran menerawang ke masa lalu. Begitupun dengan aku. Aku masih sangat mengingat saat-saat itu. "Kamu ingat kan kenapa kamu menunggui papa ?"

Aku mengangguk. "Gavin ingin bercerita apa saja yang Gavin lakukan di sekolah."

Papa tersenyum tipis. "Ternyata kamu masih mengingatnya."

"Tentu saja pa."

Papa menatapku dengan tatapan...entahlah. Aku tidak bisa mengartikannya. "Kenapa Gavin tidak melakukan hal yang sama sekarang."

"Maksud papa ?" aku mengerutkan dahi. "Gavin udah gede pa, rasanya sangat aneh jika Gavin menunggui papa di teras rumah seperti dulu." Ucapku sambil tertawa.

"Bukan bagian yang itu."

"Lalu ?"

"Kenapa Gavin tidak mau menceritakan apa yang Gavin rasakan saat ini."

Aku langsung diam. Membiarkan papa melanjutkan ucapannya.

"Papa tau ada yang mengganggu fikiranmu. Tadinya papa ingin membiarkan kamu menyelesaikan semuanya. Tapi, papa tidak bisa melihat anak papa satu-satunya sering melamun dan terlihat tidak bersemangat. Papa rindu masa-masa Gavin yang bercerita panjang lebar tentang apapun itu, tanpa ada yang di tutup-tutupi."

Aku masih diam. Berfikir ingin menceritakan semuanya kepada papa atau tidak.

"Gavin mencintai seseorang pa." akhirnya kalimat itu keluar dari bibirku. Papa benar, aku butuh bercerita.

Papa langsung tersenyum sumringah. "Oh ya ? Jadi siapa gadis yang telah menaklukan anak papa ini ?" Canda papa.

"Tapi...dia sudah bersama seseorang."

"Dia sudah menikah ?"

Aku menggeleng. "Mereka masih berpacaran. Dan dia...dia mencintai Gavin." Ucapku pelan.

Papa mengerutkan dahinya. Mungkin bingung dengan situasi yang ku ceritakan.

"Kamu sudah mengambil keputusan ?"

Aku mengangguk. "Gavin melepaskannya."

"Dan sekarang kamu menyesal." Pernyataan papa menambah sesak di dadaku. Papa benar. Aku menyesal telah mengatakan akan melepaskan Elina.

"Gavin harus bagaimana pa ?"

Papa menepuk pundakku pelan. "Kalau kamu benar-benar mencintainya, maka berjuanglah. Jangan pedulikan hasilnya dulu. Bahkan kalaupun kamu nanti kalah, kamu tidak akan merasakan sakit dalam waktu lama karena kamu telah berusaha memperjuangkannya.

"Apakah tidak apa-apa ?"

"Karena dia mempunyai pacar ?"

Aku mengangguk.

"Bukankah kamu bilang gadis itu mencintaimu ?

Aku mengangguk lagi.

"Dia pasti sangat tersiksa dengan hubungan yang di jalaninya. Papa rasa pria itu akan mengerti suatu hari nanti. Karena cinta tidak bisa di paksakan."

Aku tersenyum. Rasa lega langsung menghinggapi hatiku.

"Terimakasih pa."

"Jangan pernah takut untuk bercerita sama papa, oke ?"

Aku mengangguk lalu memeluk papa sekilas.

Aku akan berjuang, ucapku dalam hati.

Bersambung

Love me, pleaseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang