1 - Kehilangan Menyakitkan

13K 387 18
                                    


Alina

Kegelapan di ruangan itu berganti sinar terang lampu yang membuatku menyipitkan mata. Aku menoleh ke arah pintu. Meski tak bisa melihat cukup jelas tanpa kacamata, tapi aku masih bisa mengenali Meli yang berdiri di sana, satu tangannya berada tak jauh dari saklar lampu.

"Kau mau sampai kapan seperti ini, Lin?" Iba dan lelah bisa kudengar dari suara sahabatku itu.

"Aku lelah, Mel. Aku ingin tidur," kataku sembari berbaring di atas tempat tidur dan menarik selimut hingga ke leher.

"Kau sudah mengurung diri di kamarmu selama seminggu penuh. Kau bahkan hanya mengisi perutmu dengan roti dan air. Jika kau sebegitu inginnya mati, lakukan dengan cara yang lebih anggun!" marah Meli.

Aku memejamkan mata, mengabaikannya. Seminggu tak melihatnya, dia semakin cerewet saja.

"Aku sudah memberimu cukup waktu untuk sendiri," kata Meli. Suaranya begitu dekat. "Jadi, berhenti menyiksa dirimu sendiri dan lanjutkan hidupmu, astaga, Alina!" Meli terdengar frustasi.

Aku masih memejamkan mata.

"Alina!" bentak Meli seraya menyambar selimutku.

Lalu kurasakan gadis itu menyentakku hingga aku kembali duduk. Detik berikutnya, aku mendapati kacamata sudah bertengger di atas hidungku.

"Meli, ayolah ..." erangku mengeluh.

"Tidak. Aku tidak akan membiarkanmu seperti ini lebih lama lagi, Lin. Kau hanya akan membuat tantemu kecewa dengan tingkahmu ini, apa kau tahu?" Meli melotot galak padaku.

Aku mengernyit. Mendengar tanteku disebut, dadaku kembali terasa sakit. Atau mungkin, sejak awal rasa sakitnya tak pernah hilang, hanya menunggu dipancing untuk muncul ke permukaan lagi. Seperti saat ini.

"Aku sudah menyiapkan makanan untukmu," ucap Meli kemudian. "Makanlah dulu. Setelah itu kita bicara."

Aku tak menjawab.

"Kalau kau ingin mendengarkan pesan terakhir Tante Luna untukmu, sebaiknya kau menuruti kata-kataku," lanjut Meli.

Mendengar itu, barulah aku bereaksi.

"Tante ... mengatakan sesuatu padamu?" tanyaku pelan.

"Tante Luna menitipkan pesan terakhirnya untukmu padaku. Jadi, kau mau mendengarnya atau tidak?" tantang Meli.

Aku mengangguk, lalu bergeser untuk menurunkan kakiku dari tempat tidur. Samar kudengar desahan berat Meli di belakangku saat aku berjalan lebih dulu ke arah pintu kamar.

***

Air mataku kembali jatuh ketika aku melihat wajah Tante Luna di layar ponselku. Dari Meli, aku baru tahu, jika Tante Luna juga sakit, sama seperti Mama. Penyakit yang sama. Kanker. Setelah kepergian Mama karena kanker payudaranya dulu, aku dan Tante selalu rutin check up.

Yang tak pernah aku tahu, Tante ternyata sudah divonis terkena kanker yang sama sejak dua tahun terakhir ini. Selama ini, Tante merahasiakannya dariku. Tante bahkan sudah menginap di rumah sakit selama tiga minggu terakhir ini karena kondisinya semakin parah. Namun, aku tidak pernah tahu itu.

Yang aku tahu, selama tiga minggu ini Tante pergi berlibur dengan teman-temannya ke beberapa kota. Bahkan saat Tante berpamitan padaku tiga minggu lalu, aku mengomelinya tentang Tante yang akan kelelahan karena liburannya. Tanpa tahu apa pun ....

Selama ini, aku terlalu sibuk dengan usaha dan pekerjaanku. Padahal dulu, awal aku memulai usahaku sebagai event organizer, adalah untuk tanteku juga. Itu adalah cita-cita Tante, tapi untuk mengurusku, Tante lebih memilih bekerja sebagai karyawan dengan penghasilan tinggi yang tetap.

Snow Kiss (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang