Alina
"Kenapa kau menyuruhnya pergi begitu saja?" Meli mengomeliku, entah untuk berapa kalinya, dengan kalimat yang sama. "Dia datang jauh-jauh untukmu ..."
"Seharusnya dia tidak pernah datang," selaku dingin. "Dan seharusnya aku tidak pernah pergi padanya."
"Jika bukan karena dia, saat ini kau pasti masih berduka karena kehilangan Tante Luna," tandas Meli.
Aku mengernyit.
"Dia yang ada di sampingmu dan mendampingimu di saat terberatmu," sebut Meli. "Dia bahkan berusaha untuk membawa kembali ayahmu padamu."
"Dia seharusnya tak melakukan itu," sengitku. "Aku bahkan tak memintanya."
"Tentu saja, kau tak akan memintanya. Tapi apa kau tak bisa melihat betapa dia mencintaimu? Satu-satunya yang ia lihat adalah dirimu. Dia sampai mencari ayahmu, membawanya padamu, itu karena ia khawatir padamu. Aku tak percaya, pada orang yang begitu peduli pada hidupmu, kau malah mengusirnya dengan kejam." Meli terdengar kesal.
"Aku tidak memintanya ikut campur dengan masalahku. Dia bukan siapa-siapa," desisku.
"Bukan siapa-siapa?" dengus Meli kesal. "Kau bahkan menceritakan rahasiamu yang aku bahkan tak tahu, kepadanya. Kau bahkan sudah mempercayainya lebih dari siapa pun. Dia bahkan orang yang ada di sampingmu di saat terberatmu. Tapi kau masih bisa menyebutnya bukan siapa-siapa?"
"Tidak seharusnya dia ikut campur tentang masalah itu," protesku.
"Dia hanya ingin membuat semuanya lebih baik untukmu!" Meli membentakku. "Kau di sini sendirian, tanpa keluarga. Kau pikir, bagaimana perasaannya? Jika itu kau, jika dia tak punya siapa pun di sampingnya, apa kau akan membiarkannya sendirian?"
Aku mengernyit, terluka. Aku tak ingin membayangkan itu. Aku tak ingin Joon Hyung merasakan sakit yang harus kurasakan ini.
"Dan kau bilang, dia bukan siapa-siapa?" Meli mendengus kasar. "Ketika kau mencintainya?"
"Siapa bilang aku mencintainya?" aku tak terima.
"Alasan kenapa kau semarah ini padanya, karena kau merasa terkhianati, kan? Kenapa? Karena kau sudah percaya padanya. Dan kau, gadis bodoh, sudah jatuh cinta padanya. Tidakkah kau bisa melihat perasaanmu sendiri?"
Kata-kata Meli itu adalah hal terburuk yang kudengar belakangan ini.
"Tidak mungkin," tepisku.
"Percayalah, bagaimanapun kau berusaha menghindari atau menolaknya, itu tak akan mengubah apa pun. Kau akan tertap terluka. Karena kau memang sudah jatuh cinta padanya. Saat ini, jika kau belum tahu, kau sedang patah hati," tandas Meli.
"Dan berhenti merengek ketika kau yang menimbulkan semua masalah ini untuk dirimu sendiri. Kau bukan lagi anak kecil. Urus masalahmu sendiri seperti orang dewasa. Masalahmu dengan ayahmu, juga dengan Joon Hyung. Hanya dengan begitu, kau akan melihat sendiri, bagaimana perasaanmu yang sebenarnya. Lagipula, menghindari tak akan menyelesaikan apa pun."
Ingin rasanya aku menutup telingaku ketika Meli mengatakan semua itu, dan aku menyesal tidak melakukannya. Karena sepanjang hari itu, kata-kata menyebalkan Meli terus berputar di kepalaku, seperti kaset rusak. Menyebalkan.
***
Ketika melihat sosok ayahku di depan pintu rumahku sore itu, aku tak lagi sehisteris kemarin. Kali ini, aku bahkan membiarkannya masuk ke dalam rumah. Benar kata Meli, menghindari tak akan menyelesaikan apa pun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Snow Kiss (End)
General FictionAlina Untuk apa aku hidup? Selama ini, aku senang menjalani hidupku karena Tante Luna. Bisa dibilang, tantelah alasan aku bertahan meski hidupku bisa dibilang menyedihkan. Ayah yang meninggalkan aku dan Ibu saat aku masih kecil, lalu Ibu yang den...