Alina
Tadinya aku berencana makan malam di hotel saja, tapi Joon Hyung mengajakku makan malam di luar. Dia membawaku ke rumah makan haemul kalguksu. Sembari menunggu pesanan, Joon Hyung menjelaskan padaku tentang menu di rumah makan itu.
"Kuahnya ini dibuat dengan kaldu ikan anchovy. Minya juga dibuat dengan tangan, lalu dipotong dengan pisau," urai Joon Hyung. "Kuahnya akan menghangatkan perutmu."
"Melihat kuahnya sepanas itu," aku mengedik ke mangkuk milik pengujung di meja sebelah, "aku tahu."
"Ya, hargailah usahaku untuk menjadi tour guide-mu," protes Joon Hyung.
"Jika ada yang aku ingin tahu, aku akan bertanya padamu," balasku enteng. "Kau masih saja cerewet, omong-omong."
"Hanya jika denganmu." Joon Hyun menatapku agak kesal.
Aku tersenyum. Itu, aku juga tahu. Joon Hyung tak berubah untuk hal yang satu itu. Satu-satunya perubahan yang kudapati dari dirinya adalah tingginya yang membuat leherku sakit jika menatapnya. Juga, –meski aku tidak akan pernah mengatakan ini padanya, dia semakin tampan. Tak ada lagi remaja culun pemalu itu. Bahkan potongan rambutnya yang dulu melengkapi keculunannya, kini berganti rambut coklat ikal yang mendukung ketampanannya.
"Jadi, bagaimana kabarmu?" tanya Joon Hyung kemudian.
"Kubilang, tadi aku yang akan bertanya padamu, bukan sebaliknya," jawabku.
"Aku bertanya ini bukan sebagai tour guide, tapi sebagai sahabat kecilmu," gemas Joon Hyung.
"Sahabat kecil?" Aku mengangkat alis. "Kita bukannya bersahabat sejak SMP? Kurasa saat itu, kita bukan anak kecil."
"Sejak kita kelas lima SD. Ingatanmu benar-benar ..." Joon Hyung benar-benar tampak kesal kini.
Aku tersenyum geli. "Dan kau masih saja sensitif," sebutku.
"Itu karena kau terus mengatakan hal-hal menyebalkan," ia tak terima.
Aku mengangguk, mengalah.
"Hidupku baik-baik saja. Sejak aku sudah memutuskan impianku dan mulai merintisnya empat tahun lalu, hidupku baik-baik saja. Aku sudah bilang kan, aku dulu ingin menjadi event organizer."
"Kau bilang, itu dulu cita-cita tantemu," sebut Joon Hyung.
Aku tersenyum, tak ingin Joon Hyung melihat dukaku. "Iya. Dan sekarang, aku sudah punya perusahaan EO sendiri dengan sahabatku. Tidak terlalu besar, tapi yah ... kami sudah dipercaya banyak klien. Bahkan tahun ini pun, aku disibukkan pekerjaanku."
"Kita baru saja melewati tahun baru. Tidak ada salahnya kan, kau berlibur?" komentar Joon Hyung. "Lagipula, sepertinya usahamu berjalan baik."
Aku mengangguk. "Aku tergoda saat kau mengajakku melarikan diri. Itu yang kulakukan sekarang. Melarikan diri dari pekerjaanku."
Dari kenyataan buruk di hidupku, lebih tepatnya.
"Ya, ini bukan melarikan diri dari pekerjaan. Kau hanya berlibur. Tak ada salahnya, sekali-sekali berlibur. Jangan terlalu memikirkan pekerjaanmu selama berlibur di sini," Joon Hyung menegaskan.
Aku tersenyum geli dan mengangguk. "Kau sendiri, apa yang kau lakukan di sini ketika kau begitu sibuk?"
Joon Hyung mengerutkan kening. "Siapa bilang aku sibuk?"
Aku mendengus. "Selama ini aku selalu mengikuti berita tentangmu. Meski kau jarang, bahkan nyaris tidak pernah muncul di depan media, tapi lagu-lagumu berhasil memuncaki chart. Kau benar-benar sudah sukses sekarang. Impianmu sudah terwujud. Kau pasti bahagia."
KAMU SEDANG MEMBACA
Snow Kiss (End)
General FictionAlina Untuk apa aku hidup? Selama ini, aku senang menjalani hidupku karena Tante Luna. Bisa dibilang, tantelah alasan aku bertahan meski hidupku bisa dibilang menyedihkan. Ayah yang meninggalkan aku dan Ibu saat aku masih kecil, lalu Ibu yang den...