Alina
"Alina," panggil Meli pelan di sebelahku.
"Hm?" sahutku tanpa menoleh.
Kudengar dengusan kesal Meli sebelum ia memutar bahuku.
"Dengar aku, Alina! Apa pun yang kau lakukan, ini tak akan mengubah apa pun. Justru, ini akan membuat Tante Luna sedih. Kau sudah dua minggu bekerja tanpa istirahat. Berangkat pagi-pagi buta, pulang larut, bahkan tak jarang menginap di kantor. Apa yang kau lakukan ini, astaga?! Apa kau sedang menghukum dirimu sendiri atau apa?!" Meli memuntahkan frustasinya.
Aku mendesah berat. "Mungkin," jawabku pendek.
Menghukum diri sendiri ... mungkin juga. Karena terlalu sibuk dengan pekerjaanku, aku sampai melupakan kenyataan akan alasan aku bekerja sekeras itu. Lalu sekarang, setelah kerja kerasku berbuah, aku bahkan tak sempat melakukan apa pun untuk Tante Luna. Bodohnya.
Meli mendengus tak percaya. "Alina, ayolah ... jangan seperti ini. Kau sudah mendengar pesan dari tantemu. Kau tahu apa yang tantemu inginkan. Tantemu ingin ..."
"Tante sudah tidak ada lagi di sini, Mel," selaku. Pahit. Pedih.
Meli mendesah berat lalu merengkuhku dalam peluknya. Ia menepuk punggungku lembut.
"Kupikir, ketika kau menghabiskan seminggu mengurung diri di kamarmu dan menangis tanpa henti, itu adalah yang terburuk. Tapi melihatmu seperti ini, berusaha melawan kesedihanmu dengan menahan pedih sendiri, ternyata lebih parah lagi," ucap Meli.
"Tante tidak suka melihatku menangis," sebutku.
"Astaga, Alina ..." Suara Meli terdengar parau. Dia menangis. Untukku. Lagi.
***
Sore itu, aku pulang lebih awal, tak ingin membuat Meli lebih cemas. Aku tak suka membuat Meli cemas. Mungkin akan lebih baik jika aku menghilang saja. Lebih baik lagi, jika Meli kehilangan ingatan tentangku. Jadi ia tak perlu repot-repot memikirkan atau mengkhawatirkanku.
Memasuki rumah, aku menatap ruang depan yang terasa begitu kosong. Biasanya ketika aku pulang kerja, Tante yang sudah pulang kerja akan menungguku di ruang depan. Pun sebaliknya, jika aku pulang lebih dulu, aku akan menunggu Tante pulang kerja dari kantornya.
Aku mengernyit mengingat satu lagi kenyataan menyakitkan. Bahkan meski aku sudah bekerja, bahkan meski aku sudah memiliki pekerjaan yang stabil, tapi Tante juga masih bekerja. Teringat dulu Tante dengan nada bercanda mengatakan, dia ingin menabung untuk pernikahanku. Mungkin, saat itu Tante tidak bercanda.
Aku menarik napas dalam, berusaha menghalau sesak di dada. Tante Luna benar-benar jahat. Bisa-bisanya dia pergi meninggalkan semua kenangan itu padaku. Dia bahkan tidak membiarkan aku menangis.
Aku melangkah ke sofa tempat biasa aku dan Tante duduk. Begitu duduk, aku menoleh ke ruang kosong di samping. Tersenyum pahit, tanganku terulur ke tempat kosong itu.
"Bagaimana pekerjaanmu hari ini?" Tante biasanya bertanya.
"Tidak ada yang istimewa. Seperti biasa," aku berkata. "Tante sendiri? Tidak ada masalah di kantor? Bos Tante tidak membuat masalah?"
Tidak ada jawaban.
"Tante tahu tidak, kenapa Bos Tante selalu membuat masalah di depan Tante? Dia pasti menyukai Tante. Tapi Tante selalu menolaknya. Kenapa? Apa Tante malu karena ada aku?"
Masih tak ada jawaban.
"Aku sudah bukan anak kecil lagi, Tante. Seharusnya Tante mulai mencari kebahagiaan Tante sendiri. Aku bahkan bisa tinggal sendiri di apartemen. Tapi ..."
KAMU SEDANG MEMBACA
Snow Kiss (End)
General FictionAlina Untuk apa aku hidup? Selama ini, aku senang menjalani hidupku karena Tante Luna. Bisa dibilang, tantelah alasan aku bertahan meski hidupku bisa dibilang menyedihkan. Ayah yang meninggalkan aku dan Ibu saat aku masih kecil, lalu Ibu yang den...