Suasana kantin kali ini cukup ramai, empat remaja yang duduk di salah satu bangku kantin sedang menikmati pesanan mereka.
Tapi satu diantara mereka terlihat tidak minat pada apa yang ada di depannya.
"Woy kenapa lo?" Tanya Gilang yang bingung sedari tadi melihat Byan hanya mengaduk-aduk makanannya terlihat tidak berselera.
"Ga laper gue" jawab Byan.
"Yaudah bagus sinih makanan lo buat gue, gue belum makan nih dari kecil" ujar Gilang asal sambil merebut makanan Byan dan memakannya tanpa menunggu persetujuan dari sang pemilik.
"Gue duluan ya"
Setelah mengucapkannya Byan beranjak dari tempatnya dan pergi entah kemana.
Aila yang memang mengetahui mood Byan sedang tidak bagus hanya diam saja menatap Byan yang beranjak pergi.
Sedangkan Gilang tetap melanjutkan makannya dengan lahap tak peduli apapun di sekitarnya, sepertinya memang benar jika dia sudah sangat lama tidak makan melihat cara makannya yang seperti itu.
Mira menatap Byan dan Aila secara bergantian, entah apa yang ada di pikirannya.
Aila,Byan,Gilang dan Mira memang sering menghabiskan waktu bersama ketika istirahat.
Aila selalu meminta Mira untuk menemaninya karena tidak enak jika ia berada di antara laki-laki tampan yang mempunyai banyak penggemar seperti Gilang dan Byan.
Langkah kaki Byan terhenti ketika ia sudah berada di kawasannya, dimana lagi jika bukan atap sekolah yang sudah ia cap menjadi tempat pribadinya tersebut, mengingat tidak ada siswa yang berniat menghampiri tempat ini kecuali dia dan Aila tentunya.
Byan terus bergerak menikmati hembusan angin yang menerpa wajahnya, menghirup udara sebanyak mungkin mengisi seluruh ruang di paru-parunya.
Seketika matanya yang sempat terpejam, terbuka dengan kedua alis yang bertautan.
"Darimana bau asap rokok ini?" tanyanya dalam hati.
Karena setaunya hanya dia yang akan diam-diam merokok di tempat ini, tapi itu dulu sebelum dia bertemu dengan Aila yang mengganti batang rokoknya dengan sebuah lollipop.
Matanya terus bergerak menelusuri atap ini, hingga ia mengernyit kaget.
Di ujung sana terdapat remaja pria yang dengan santainya menghembuskan kepulan asap rokok yang keluar dari mulut dan hidungnya dengan mata terpejam seakan-akan sangat menikmati apa yang sedang dilakukannya.
"Ini tempat gue"
Mata pemuda itu terbuka setelah mendengar suara tajam nan dingin yang tertangkap indera pendengarannya.
Senyuman meremehkan tercipta di wajahnya ketika melihat siapa orang yang berbicara barusan.
"Nama gue Dimas Saputra, kalo lo lupa" ucapnya santai sambil menghisap kembali benda yang berada di sela jari tengah dan telunjuknya tersebut.
"Gue ga nanya nama lo. Ini tempat gue, itu berarti lo harus pergi dari sini" ujar Byan sambil menatap Dimas tajam.
Dimas tidak langsung menjawab, ia malah membuang puntung rokoknya dan menginjak mematikan apinya.
Ia tidak memperdulikan ucapan dan tatapan tajam Byan, malah memposisikan dirinya bersandar dengan kedua tangan kebelakang sebagai penopang dan memejamkan matanya menikmati angin yang mengacak-acak rambutnya.
"Gue nyaman disini, ini sekolah gue juga jadi lo ga berhak ngusir gue dari tempat ini" jawab Dimas masih dengan posisi seperti sebelumnya.
Byan mengepalkan kedua tangannya, entah kenapa setiap mendengar kata yang keluar dari lawan bicaranya, emosinya seperti meledak-ledak.
Mengetahui hanya hening yang didapatnya, Dimas membuka mata dan mendapati Byan dengan muka yang merah padam.
Alisnya terangkat sebelah, apa kata-katanya sangat memancing emosi orang dihadapannya kini.
Dimas menyerahkan sebungkus rokok kepada Byan, dengan ekspreksi menawarkan.
Tapi Byan hanya diam mematung tak berniat sama sekali mengambil pemberiannya.
"Kenapa? Oh gue tahu, cewe lo pasti ga suka cowo perokok kan. Hahaha kasian banget sih lo"
Dimas kembali memasukkan bungkus rokok tersebut ke dalam kantung celananya.
Byan masih menahan emosi dengan menggertakkan giginya dan mempererat kepalan tangan sampai buku-buku jarinya memutih.
"Oiya pacar lo cewe yang waktu itukan,ah gue inget sekarang waktu itu lo bilang; Jangan sentuh dia. Jangan pernah lo berani untuk sentuh dia sedikitpun. Dia ga kaya cewe lain yang ada di sekitar lo."
Dimas mengambil jeda sebentar, memperhatikan ekspresi Byan yang semakin menakutkan sekarang.
"Gue jadi penasaran sekarang semalaikat apasih cewe berjilbab lo itu. Atau jangan-jangan dia mau deket-deket sama lo cuma mau ngincer kepintaran lo atau bisa jadi dia cuma mau ngincar harta lo doang"
Bug....
Cukup sudah, Byan sangat sabar sedari tadi menahan gejolak emosi di dalam dadanya.
Mungkin Dimas boleh menghinanya sampai puas tapi tidak dengan Aila, tidak dengan wanita yang dicintainya.
Dimas tidak berhak berkata seperti itu dia tidak mengenal seperti apa gadis malaikatnya itu.
Byan bergerak maju menghampiri Dimas yang telah duduk tersungkur karena dorongannya, menarik kerah kemejanya dan menatapnya tajam.
"Jangan pernah lo keluarin kata-kata menjijikan itu dari mulut lo lagi. Lo ga kenal siapa dia dan gue ga akan ngebiarin lo untuk mengenal seperti apa dia. Karena lo cuma bisa jadi bahaya disekitarnya." Ucap Byan dengan penuh penekanan dan sarat akan emosi.
Dimas lagi-lagi mengeluarkan senyum meremehkannya kepada Byan.
"Menurut lo, lo bukan bahaya yang terus berada disekitarnya."
Deg......
Kalimat yang keluar dari mulut Dimas barusan seakan menohok hatinya menorobos hingga bagian terdalam.
Byan menghempaskan kerah kemeja Dimas dengan kasar, hingga Dimas tersungkur kembali.
"Brengsek" satu kata yang Dimas dengar sebelum Byan menghilang dari pandangannya.
Aila mengedarkan pandangannya ke penjuru kelas.
"Dimana Byan? Kenapa kursinya kosong?" Tanya Aila kepada dirinya sendiri.
Belum sepenuhnya ia membalikkan tubuh untuk mencari Byan di tempat lain, kini Byan berada dihadapannya.
Namun dengan santainya Byan berjalan melewatinya seakan-akan dirinya tak terlihat sedikitpun.
Aila segera berjalan ke tempat duduknya dengan wajah khawatir, apa yang terjadi pada Byan kenapa ekspresi wajahnya saat ini sangat sulit diartikan.
Seperti ada kemarahan, kekecewaan dan ketakutan yang bercampur menjadi satu.
Memang selama ini wajah Byan tak terbaca, tapi entahlah Aila merasa saat ini Byan sedang tidak beres.
Pasti ada sesuatu yang terjadi padanya. Entah kenapa Aila bisa merasakan itu.
Belum lama Aila mendaratkan tubuhnya di kursi, Dimas masuk kelas dengan seragam yang sangat berantakan.
Ia menatap Byan dengan senyum menyebalkan, sedangkan Byan menatapnya dengan tatapan setajam pisau.
Setelah itu Byan yang melepaskan kontak mata diantara mereka terlebih dahulu, memandang lurus ke depan dan mencengkeram pensil di genggamannya.
Saking kuatnya pensil tersebut sampai terbelah menjadi dua akibat ulah Byan.
Aila terlihat bingung dengan pemandangan yang terjadi sekarang.
Sebenarnya apa yang terjadi diantara mereka barusan?
Aila menghembuskan nafas kasar, karena tidak menemukan jawaban atas rasa penasarannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
AILA
Teen FictionHidup itu indah jika kita menikmatinya. Namun apakah aku bisa menikmatinya dengan lebih lama? -Aisyah Aila Varisha