RUMAH BARU DAN MATA-MATA

60 11 2
                                    

MEMORY 3 : RUMAH BARU DAN MATA-MATA

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

MEMORY 3 : RUMAH BARU DAN MATA-MATA

Aku mengangkat koperku dari taksi dan menyeretnya. Brown keluar dan berjalan didepan tanpa melihatku. "Hanya kucing yang senang untuk pindah." Aku menggerutu menyeret koperku. Seorang keluar dan menyapaku "Nona Mariana. Anak Judy dan Chris." Ia memberikan senyum lebarnya. Aku membalas tersenyum kaku. Wanita paruh baya dengan dress cokelat selutut. Rambut brunette diikat kebelakang. Terlihat anggun diusianya yang matang.

"Bagaimana perjalananmu nona? Aku Gretha teman kecil ibumu." Ia mengulurkan tangannya.

"Sejujurnya ini sangat membosankan. Aku mulai merindukan rumah nenekku." Aku membalas uluran tangannya. 

Gretha tertawa mendengar jawabanku. "Kamu benar, tidak ada yang bagus disini kecuali ketika bulan purnama. Bulan terlihat lebih besar dan lebih cantik disini." Ia mengambil koperku dan menariknya. "silahkan melihat-lihat, mungkin ada hal menarik yang bisa kamu temukan." Gretha berlalu masuk kedalam rumah meninggalkanku.

Aku berjalan mengitari rumah. Terlihat lebih sepi daripada rumah nenek. Aku benar-benar terasing. Aku tersenyum pahit, rasanya seperti tidak memiliki apapun. Rumah klasik dengan cerobong asap di belakangnya. Hutan pinus lebat mengelilingi bagian kanan rumah. Sedangkan dibagian kirinya sebuah sungai mengalir tenang. Aku berjalan menuju sungai dan duduk di sebuah dermaga kecil. Ada dua perahu berlabuh di sampingku. Diseberang sungai beberapa rumah penduduk lain terlihat.  Aku menatap langit. tidak ada yang dapat aku fikirkan, segalanya terasa kosong. Aku ingin mengubah segalanya dan mengakhiri mimpi buruk yang datang setiap kali tidur. Tapi seberapapun kerasnya aku mengingat, rasa sakit akan muncul menusuk kepalaku. Aku merebahkan tubuhku. Menutup  mata menikmati angin dan terik matahari. 

"Nona, silahkan masuk ke rumah. Terapi mu dimulai sejam lagi." Tuan Matt mengejutkanku. suara lagkahnya tidak ku dengar sedikitpun. Aku segera bangun dan merapikan rok. 

"Buatlah suara langkah kaki agar aku bisa mendengarmu." Aku mendengus dan berlalu tanpa menatapnya. Hal ini benar-benar membuatku kesal hari ini. Aku membenci psikiater.

***

Aku memutar kenop pintu dan mendorongnya kedalam. Kamar kosong yang tidak begitu luas. Aku menarik tirai menjauh. Jendela besar terpampang dihadapanku. Aku memutar kunci dan mendorong jendela keluar. Deretan pohon pinus menjulang tinggi dan gelap. Suara-suara serangga mengalun dari dalam hutan. Angin berhembus pelan masuk mengibarkan sedikit rambutku. Aku berjalan menjauhi jendela, menata beberapa barang diatas meja dan menyimpan pakaian di lemari. Gerah menyelimuti tubuhku. Mandi adalah jawaban untuk semuanya. Aku mengambil beberapa helai pakaian dan berjalan menuju kamar mandi. Aku mencoba menggapai resleting baju. Cukup memakan waktu lama sampai akhirnya aku bisa menariknya kebawah. Aku mengamati tubuhku sendiri. Sebuah bekas luka melingkar dilengan atas tangan kananku. Aku tidak dapat mengingat apapun tentang luka di lenganku. Tapi bekas ini begitu jelek. Aku tidak bisa memakai sebuah gaun tanpa lengan jika tidak menutupnya dengan sehelai pita. Mood ku berubah jadi lebih buruk. Aku menggenggam lengan kanan atasku kuat. "Seandainya bekas ini bisa hilang." Aku bergumam kecewa dan berjalan memutar shower. Perasaanku tidak akan pernah membaik.

Seseorang mengetuk pintu kamarku sesaat setelah aku memakai pakaian. Tanpa menunggu persetujuanku tuan Matt muncul dari balik pintu.

"sudah waktunya untuk terapimu. Silahkan ikuti aku." Ia menyuruh tanpa menatapku. Aku merapikan sedikit rambutku dan berbalik mengikuti tuan Matt. Brown muncul dari ruang lain ketika aku keluar dari kamar. Aku menangkapnya dan memeluknya.

"aku harap kamu tidak membawa kucingmu selama terapi." tuan Matt menyela ku sebelum aku sempat membawa Brown. Ia dapat membaca jalan pikiranku. Aku menurunkan Brown dan tersenyum padanya. Brown mengeong dan berlalu keluar rumah.

Aku mengikuti tuan Matt kesebuah ruang. Tuan Matt menyuruhku duduk di sebuah sofa. Aku memperhatikan ke sekeliling ruang. Ruang ini seperti ruang kerja seorang psikiater, cukup bersih dengan pencahayaan yang baik. Jendela besar menghadap ke dermaga kecil yang aku datangi tadi. Aku duduk dan memperhatikannya. Ia membawa beberapa berkas catatan. 

"Apa isi catatan itu ?" Aku menatapnya. Terlihat pria paruh baya ini mengacuhkanku dan tidak mengindahkan pertanyaanku. Ia duduk di sampingku dan melihat catatannya.

"Gejala stress terlihat meningkat beberapa tahun kebelakang. Kamu lebih sering mengingau didalam tidur dan mengalami insomnia. Apa yang kamu fikirkan?" Tuan Matt langsung bertanya tanpa berbasa-basi. Aku berpaling melihat ke dermaga. " Aku tidak suka ditanya tentang diriku." Aku menghela nafas mengacuhkannya.

"Jika kamu berusaha untuk mengingat sesuatu, berhentilah. Itu tidak akan pernah berhasil." Perkataannya menusukku. Sesuatu seperti menghantamku dengan kuat. Aku menatapnya tajam.

"Kau tidak bisa bersimpati dengan orang lain. Apa salahnya jika aku ingin mengetahui masa laluku !" Aku meninggikan suaraku.

"Itu akan membuatmu terbunuh. Sebaiknya kamu tidak mencoba memikirkan apapun tentang masa lalumu. Hiduplah sebagai seorang yang baru. Itu akan lebih memudahkanmu untuk sembuh." Tuan Matt dengan tenang menyampaikannya padaku. Aku benar-benar telah terpancing. Aku merebahkan punggungku kebelakang dan melipat tanganku untuk meredakan kemarahanku.

"Aku ingin berhenti minum obat yang kalian beri. Itu sama sekali tidak membantuku sembuh." Aku merendahkan suaraku.

"Obat itu tidak dapat lepas darimu. Itu yang menjagamu tetap waras." Sekali lagi kata-katanya menghantam jantungku.

"Cobalah menerima takdirmu, kamu yang telah memilihnya." Tuan Matt menatapku. Ia berdiri dan mengambil banyak tablet obat dari dalam lacinya lalu membawanya bersama dengan segelas air. Seperti tersihir aku mengikuti apa yang diucapkannya. Didalam otakku menyatakan kebenaran atas apa yang diucapkannya. Aku mengambil air dan meneguknya. Beberapa butir obat yang diberikannya aku telan dalam sekali teguk.

"Aku ingin kembali ke kamarku untuk istirahat. Aku akan minum sendiri obatku." sesaat aku merasa lelah dan mengantuk.

"Baik Nona, silahkan." Tuan Matt mempersilahkanku.

***

LOST IN PASTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang