MEMORY 17 : ANCAMAN
Aku menerawang dari balik kaca jendela mobil. Sedikitpun aku tak bisa merasakan laju mobil yang bergerak. Matahari mulai meninggi diperjalanan pulang. Hangatnya menjalar keseluruh tubuhku. Tapi tak mampu menjangkau hati dan pikiranku yang membeku. Sungguh aku tak ingin memikirkan tentang ini semua walaupun aku berharap akan mengetahui masa laluku. Aku tak dapat menerima kenyataan jika itu pahit. Hidupku selama ini tidak pernah berjalan dengan baik. Apakah salah jika aku meminta setidaknya aku punya kenangan yang membahagiakan di masa lalu.
"Apa kita bisa berhenti untuk melakukan pencarian tentang bekas luka itu?" Aku menoleh padanya. Ekspresinya berubah sesaat namun kemudian kembali seperti semula dan hanya diam. Aku melepas kacamataku dan memperhatikannya lebih seksama. berharap ia memberi jawaban padaku.
"Pernahkah kau memiliki seorang kekasih ?" Ia menanyakan hal lain. Aku mengerutkan kening dan menatapnya tajam.
"Kau mengalihkan pembicaraan. Apa maksudmu?" Aku menghempaskan tubuhku ke kursi dan melipat tanganku.
"Aku bertanya serius. Aku tidak ingin memikirkan tentang hal lain." Ia menatapku sekilas lalu kembali menatap kedepan. Kupikir itu pertanyaan bodoh meskipun sebagai pengalihan.
"Kau mengejekku. Apakah aku memiliki kesempatan untuk memikirkan perasaanku sendiri? Kurasa tidak. Siapa yang akan peduli dengan seorang wanita bodoh dan naif yang tinggal terasing selama hidupnya. Impian yang sangat jauh bagiku untuk dapat bertemu dan berbagi perasaan dengan orang lain meskipun aku tidak menolaknya ketika ia tumbuh didalam hatiku." Senyumku kecut menatapnya. Ia sekilas tersenyum mendengar jawabanku. "Pria brengsek sepertimu tidak akan mengerti." Aku melengos ke arah jendela. Ia bahkan bisa tersenyum diatas penderitaan orang lain.
"Jika ada seorang pria mengungkapkan masa lalu buruknya padamu. Apa kau bisa menerimanya ? Kurasa tidak. Kupikir setiap orang selalu mengharapkan sebuah kebaikan dari orang lain meskipun tanpa sadar ia memiliki begitu banyak keburukan. Aku telah mencobanya selama ini untuk memperbaiki keadaanku. Namun tak satupun aku mendapatkan sebuah keikhlasan dari hati seseorang. Bahkan sebelum aku memulainya, Aku telah ditolak." Ia tetap tesenyum meskipun apa yang diucapkannya begitu pahit. Aku tertawa mendengarnya
"Jika kita saling mencurahkan kesusahan kita satu sama lain. Mungkin hanya disitulah terdapat keikhlasan." Aku tersenyum memandanginya.
"Kau benar. Jadi aku diterima atau ditolak ?" Ia menatapku sekilas. Aku menatapnya heran. Otakku mencoba mencerna ucapannya. Apakah itu sebuah permintaan menyangkut tentang perasaan ? Jantungku mulai berdetak dua kali lebih cepat.
"Aku takut salah menerjemahkan permintaanmu." Aku menjawab tanpa melihatnya. Aku tidak ingin salah paham dengan kedekatan yang telah tercipta, meskipun ia telah mengakui ketertarikannya padaku.
"Kalau begitu aku akan menunggumu. Memang, kita tidak pernah mengetahui kebenaran dari masa lalu yang telah terlewat, begitupun masa depan yang akan datang. Tapi, jika itu adalah sesuatu yang akan menyakiti kita satu sama lain nantinya. Maka aku akan menerimanya sebagai sebuah hukuman karena telah memilihmu." Ia tersenyum lembut kearahku. Aku tidak ingin mempercayai ucapannya. Tapi hatiku terlanjur menerimanya. Kurasa pipiku memanas. Aku merapatkan kacamataku. Ia malah tertawa melihat kegugupanku. Pria itu sangat pandai merayu.
"Kenapa disini terasa sangat panas. Padahal sebentar lagi musim dingin akan datang." Aku mengalihkan pembicaraan untuk meredam rasa gugupku.
"Ah.. kalau begitu sebaiknya kita cari udara segar dan menghabiskan waktu untuk makan siang." Ia menekan gas semakin melaju meninggalkan perbincangan yang masih menggantung.
***
Aku mendorong pintu mobil keluar. Orang-orang ramai lewat didepan mataku. Aku merasa canggung ketika mereka menoleh dan melempar senyum padaku. Ini tidak pernah terjadi sebelumnya padaku. Aku tidak tau harus bersikap bagaimana untuk dapat membalas sapaan mereka padaku. Leonidas menghampiriku dan menarik tanganku.
"Bersikap biasa saja. Tetap pakai kacamatamu." Ia bicara sambil melangkah kedepan sebuah restoran. Aku mengikutinya dari belakang sambil terus melihat orang yang berlalu lalang. Restoran didepanku terlihat megah berdiri ditengah kota. Ketika aku masuk, seorang pelayan memberi hormat dan mempersilahkan aku dan Leonidas untuk mengikutinya. Sebuah meja di dekat jendela besar yang menghadap ke jalan dipilihnya. Aku duduk dan memperhatikan sekitarku. Disini terlihat sangat ramai, namun menyenangkan ketika melihat orang lain berbicara dengan teman, rekan atau keluarganya dengan antusias.
"Maaf nona, Anda ingin memesan apa ?" Pelayan itu mengagetkanku.
"Ah.. iya.." Aku membolak-balik buku menu.
"Bawakan seperti yang ku pesan." Leonidas memotong pembicaraan. Aku menoleh padanya. Ia hanya tersenyum padaku. Ia mengetahui aku sedang tidak fokus pada buku menu.
"Baiklah, Silahkan menunggu beberapa menit." Ia memberi hormat kemudian pergi.
"Disini benar-benar ramai. Aku bahkan tidak bisa melepas pandanganku dari mereka." Aku mencoba memberinya alasan.
"Aku sengaja memilihnya. Bukan sesuatu yang aneh jika kau ingin mengenal dan berteman dengan orang lain." Ia ikut mengedarkan pandangan ke seluruh ruang didalam restoran. Aku merasa lega mendengar ucapannya. Ia dapat membuatku menjadi lebih tenang sekaligus bedebar disaat yang bersamaan. "Ah.. Aku akan ke kamar mandi sebentar. Jangan bergerak sedikitpun dari tempat dudukmu. Kau masih sanderaku." Ia menatapku tajam lalu meninggalkan senyum sebelum pergi. Aku menggangguk dan menunduk untuk menyembunyikan senyumku.
Ketika ia telah pergi aku memandang ke luar jendela. Keramaian mengelilingiku. Ini benar-benar menakjubkan bagiku. Aku berharap hal ini tidak ditarik dari duniaku. Belum lama aku melamun, seseorang seperti menepuk pahaku. Aku terkejut dan menoleh. Seorang anak tersenyum padaku dan memberikan sebuah amplop.
"Apa ini?" Aku sama sekali tidak mengenalnya dan apa yang diberikannya.
"Seseorang di seberang meja menyuruhku memberikannya padamu." Ia menunjuk seorang pria paruh baya yang duduk tidak jauh dariku. Pria itu sedang menatapku dari balik kacamata hitamnya. Aku tersentak dan jantungku berdegup kencang. Apakah seseorang sedang mengintaiku. Aku mengucap terimakasih pada anak didepanku dan menatap amplop ditanganku. Saat anak itu berlalu, Aku kembali menegakkan kepalaku dan melihat pria diseberangku. Ia terus menatapku sampai aku mulai membuka amplop yang diberikannya. Aku mengalihkan pandanganku ke arah amplop untuk menarik isinya keluar. Mataku melebar dan sesuatu seperti menghantam jantungku begitu kuat. Ayah, Ibu dan nenekku terlihat mengenaskan dengan luka diseluruh tubuh mereka. Tangan dan kaki mereka dipasung. Aku bergetar menyentuh foto didepanku. Pria itu telah menyiksa keluargaku. Aku menoleh padanya dengan amarah di mataku. Sebuah senyum sinis menatapku. Rasa sakit dan kemarahan semakin meluap didadaku. Aku kembali menatap foto ditanganku. Rasanya jantungku akan berhenti melihat foto itu lagi. Aku membalikkan foto itu untuk menyembunyikannya. Namun sebuah tulisan terpampang dibaliknya.
"Jika kau masih ingin melihat keluargamu, silahkan ikuti aku. Jika tidak, Aku akan mengirimi mu foto kedua dengan peluru yang telah bersarang dikepala mereka." Aku meremas kuat foto ditanganku menahan amarah. Aku memandang pria itu dengan putus asa. Ia terlihat bangkit dari tempat duduknya dan melangkah pergi. Tanpa pikir panjang aku bangkit dan mengejar pria itu. Aku tak peduli lagi dengan siapapun. Pikiranku hanya mengarahkan pada satu hal. Menyelamatkan keluargaku.
***
THANKS YANG UDA BACA :D
DIINGETIN LAGI JANGAN LUPA YA UNTUK TETAP KOMEN DAN VOTE.
AKU NUNGGU LOHHH..
KAMU SEDANG MEMBACA
LOST IN PAST
Mystery / ThrillerManusia selalu mengingat semua kenangan yang menyakitkan. Meskipun seluruh usaha dilakukan untuk melupakan dan berlari, kenangan itu muncul di tengah kegelapan malam. Pada saat itu semuanya belum usai. Mariana mulai menyadari ada yang hilang dari di...