MEMBAGI LUKA

18 4 0
                                    

MEMORY 13 : MEMBAGI LUKA

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

MEMORY 13 : MEMBAGI LUKA

Setelah hujan seharian penuh. Sepertinya bulan dan bintang bersinar lebih terang daripada malam-malam sebelumnya. Aku menyandar pada pagar pembatas balkon menatap keatas langit. Aku mengingat kejadian hari ini dan memikirkannya. Setelah Scott pulang ia hanya menyuruhku untuk beristirahat dan kemudian ia menghilang begitu saja. Mungkin saja ia juga memikirkan tentang ini semua. Aku sedikit merasa bersalah karena tidak dapat membantu apapun untuknya. Aku mendongak dan memandang jauh ke langit lalu memejamkan mataku untuk merasakan angin malam. Terkadang aku ingin angin yang berhembus membawa semua masalah ku pergi. Belum lama aku menikmatinya, aku terkejut merasakan dingin di keningku. Aku membuka mataku dan terperanjat.

"Kau selalu merusak suasana." Aku mengelus keningku. Ia tersenyum kecil dan memberikanku sekaleng soda.

"Jangan terlalu difikirkan apa yang Scott katakan." Ia membuka kaleng sodanya dan meneguknya. Aku membuka kalengku dan menyeruputnya. Rasa manis bercampur soda menggelitik lidahku. Aku lupa kapan terakhir kali minum seperti ini.

"Aku tidak memikirkan itu." Aku mengejeknya. "Aku pikir aku merindukan keluargaku. Aku khawatir mereka merasa cemas sekarang. Sedangkan aku disini menikmati soda bersama seorang perampok yang brengsek." Aku tersenyum sinis padanya. Ia terlihat kesal sesaat.

"Jika semua orang mengetahui dimana keberadaanmu. Kau tidak bisa menyebutku seorang perampok yang brengsek. Ah.. aku memiliki nama. Jadi berhenti memanggilku seperti itu." Ia meneguk sodanya sambil menatap jauh. Aku tersenyum mendengar jawabannya.

"Kau yang meminta aku memanggil seperti itu. Aku telah bertanya namamu sejak lama tuan Leonidas. Tapi kau tidak  menjawabku." Aku tertawa. Ada kesenangan yang tumbuh dihatiku ketika menjahilinya. Ia melihat ke arahku dengan jengkel.

"Sekarang kau senang." Ekspresinya masih terlihat jengkel. Aku jadi merasa bersalah.

"Baiklah maafkan aku. Aku mencoba menghibur diriku sendiri hingga menyakitimu." Aku membujuknya. Ia malah memalingkan muka. Aku mencoba menariknya untuk melihat padaku. Ia sama sekali tidak bergeming. Kekesalan mulai merasukiku. Aku meraih wajahnya dan menariknya hingga ke depan mataku. Tubuhnya refleks mendekat kepadaku. Ia kemudian tertawa dengan keras. "Kau masih tetap naif dan bodoh." Ia masih terus tertawa. Sedangkan aku terdiam melihatnya. Ia terlihat senang seperti tanpa beban. Hal itu memicu jantungku berdetak lebih cepat dan mengacaukan kerja otakku. Setelah beberapa saat ia juga terdiam melihatku. Ia seperti menyadari sesuatu lalu dengan cepat melepaskan genggamanku dari wajahnya. Aku tersadar dan tersenyum canggung. Sedangkan ia mengacak-acak rambut belakangnya dan melihat ke arah lain. Aku meneguk sodaku dan memandang kembali ke langit.

"Apakah sangat menyakitkan ketika mendapatkan bekas luka dipunggungmu?" Aku bertanya untuk menghilangkan kecanggungan yang tercipta. Ia meneguk sodanya dan tersenyum pahit.

"Aku sudah membunuh ingatanku tentang rasa sakitnya. Aku tidak pernah memperlihatkannya pada orang lain agar mereka tidak bertanya hal yang sama seperti yang kau tanyakan." Ia menerawang jauh.

"Aku bertanya bukan untuk membangunkan ingatan burukmu tentang itu. Kupikir kau lebih berani menghadapinya. Sedangkan aku mengutuk diriku setiap saat atas takdirku. Aku meneguk sodaku lagi. "Kupikir kita mungkin memang pernah bertemu dimasa lalu dan aku berbuat jahat padamu hingga kau ingin membalasku. Aku jadi merasa mempunyai dosa yang sangat besar kepadamu." Ini membuatku merasa menyesal dan sesak memenuhi dadaku. Aku mencoba tersenyum untuk menahan air mataku agar tidak jatuh. Ia menatapku sesaat lalu tiba-tiba menarikku kembali ke kamarku. Ia merapatkan tubuhku kedinding dan menatapku tajam. 

"Jika aku membagi lukaku apa kau akan menerimanya." Suaranya rendah memintaku. Dadaku terasa semakin sesak. Sebagian dari diriku seperti terluka.

"Jika itu dapat membuatmu lebih baik dan tidak menyimpan dendam padaku." Aku mulai terisak. Ia menarik tubuhku merapat padanya dan memelukku erat.

"Kalau begitu jangan tahan air matamu. Menangislah sekencangnya agar lukaku dapat sembuh. Aku membagi lukaku bersama tangisanmu. Aku sadar telah begitu bodoh menerima segala ketidak adilan hingga aku harus membunuhmu demi dendamku yang aku pun tidak tau datang darimana." Suaranya rendah terisak. Aku melepaskan tangisanku dan memeluknya lebih erat. Aku dapat merasakan ia telah menahannya selama bertahun-tahun untuk dapat berbicara jujur pada orang lain. Malam itu angin berhembus membawa kesakitan dan kesedihan yang aku rasakan bersamanya.

***

Aku merenggangkan tubuhku yang kaku setelah bangun dari tidur. Aku merasa lega karena tadi malam mimpi buruk ku tidak datang. Kupikir alasannya karena pria itu. Aku sedikit tersipu ketika mengingatnya kembali. Apakah artinya ia mempercayaiku dan menerimaku. Aku tersenyum pada diriku sendiri. Perasaan baru yang merasukiku membuatku senang hingga rasanya hampir gila. Aku sampai melupakan kenyataan bahwa aku seorang sandera dari seorang perampok. Ketika aku sedang menikmati khayalanku tentang pria itu seseorang mengetuk pintu dan masuk. Aku merapikan piyama dan bersikap biasa. Harry datang membawa sarapan dan satu stel pakaian. 

"Nona. Silahkan nikmati hari ini. Saya berharap anda tidak meninggalkan rumah. Tuan Leonidas sedang bekerja dan meminta anda untuk tetap tinggal." Harry memberi hormat padaku. Aku hanya mengangguk dan membalas memberi hormat. Ia kemudian pamit dan pergi. Aku mengambil nampanku dan menyendok dengan enggan. Sejujurnya aku tidak ingin berada didalam ruang terus-menerus. Ini sama saja seperti aku tinggal dirumah bersama psikiater pendampingku. Kadang terlintas dibenakku ingin melihat keramaian di kota dan bertemu dengan banyak orang. Aku juga ingin memberi salam kepada setiap orang yang aku temui atau menjalani rutinitas yang sibuk. Kupikir seperti itulah rasanya hidup. Bukan hanya makan, tidur dan membuang kotoran. Aku merasa frustasi dan meletakkan nampanku kembali. Aku bangkit dan berjalan mengambil pakaianku menuju kamar mandi. Jika orang lain melarangku bukan berarti aku tidak boleh melakukannya. Aku punya kuasa untuk menerima atau menolaknya kan. Meskipun tekanan begitu besar menghantamku,aku  memutuskan untuk melawannya. Aku harus merasakan bagaimana rasanya hidup.

***

model : om Ian (hak cipta gambar milik om Ian)

LOST IN PASTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang