SARANG SANG PERAMPOK

23 5 0
                                    

MEMORY 11 : SARANG SANG PERAMPOK

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

MEMORY 11 : SARANG SANG PERAMPOK

Aku mengedarkan pandangan ke seluruh jalanan. Tak habis-habisnya aku terpukau oleh semua pemandangan baru di depan mataku. Aku merasa takut sekaligus senang. Setelah turun dari Helikopter. Ia hanya memberiku aba-aba mengikutinya. Sama sekali ia tidak tertarik untuk berbicara padaku. Aku merapatkan jasku. Meskipun didalam mobil, hawa malam yang dingin tetap menusuk tulangku. Sebelum aku mengeluh ia menyalakan pemanas tanpa melihat kearahku. Ia sangat mengerti situasiku. Hal ini membuatku merasa sedikit canggung.

"Siapa namammu?" Aku mencoba memulai percakapan. Aku melepas kacamata dan memandanginya. Ia sama sekali tidak melihatku. Rasa penasaran semakin berkembang dari dalam tubuhku. Aku terus memandanginya mencari perhatian. Beberapa detik kemudian ia balik memandangiku dan tersenyum. Hatiku terasa melambung. Sebelum hatiku melambung menyentuh langit ia menginjak remnya dan membuat kepalaku terbentur ke dasbor. Ah.. ini menyakitkan. Aku mengelus kepalaku dan menatapnya kesal. Ia hanya melengos.

"Duduk yang baik ketika didalam mobil agar kepalamu tidak terlalu sering terbentur. Itu bisa membuatmu gila." Ia tersenyum hingga membuatku jengkel. Aku masih terus memandanginya dengan tatapan membunuh.

"Turun. Kita sampai." Ia keluar dari mobil tanpa menunggu jawabanku. Aku menoleh melihat ke depan. Sebuah rumah besar bergaya eropa membuatku takjub. Ini karya seni yang indah. Aku meredam ketakjubanku agar tidak terlihat bodoh. Aku memakai kacamataku kemudian menekan keluar pintu dan turun dari dalam mobil. Angin berhembus melewati tubuhku. Aku merapikan rambutku dan menunggunya mengambil tas. Aku berbalik memperhatikan rumahnya. Banyak pertanyaan yang tiba-tiba muncul dikepalaku. Ketika aku sedang sibuk dengan pikiranku sendiri ia menarik tanganku lagi. Aku merasa seperti diseret-seret. Ia tidak pernah meminta dengan baik ketika berhadapan dengan orang lain. Aku menggerutu.

Ketika kami sampai didepan rumah. Pintu rumahnya terbuka dan seseorang muncul dari baliknya. Aku memperhatikan dari balik kacamata. Seorang pria tua dengan pembawaan yang terhormat. Aku ditarik masuk kedalam rumah. Ia memberi hormat pada pria disampingku.

"Selamat malam tuan Leonidas. Senang anda bisa kembali dengan selamat." Ia memberi hormat dan tersenyum. Ah.. namanya Leonidas. Aku mengingatnya.

"Harry.. Jaga dan awasi wanita ini ketika aku tidak ada. Katakan pada seluruh orang dirumah ini untuk menjaga mulut mereka. Aku tidak ingin mendengar sesuatu yang membuatku ingin membunuh seseorang." Ia mengucapkan hal itu sambil menatapku. 

"Baik tuan." Harry memberi hormat dan tersenyum padaku. Aku balik memberi hormat dan tersenyum.

"Siapkan kamar untuknya segera." Ia lalu meninggalkanku bersama Harry. Setelah Leonidas berlalu Harry mempersilahkanku untuk mengikutinya. Aku memandangi seluruh bagian rumah. Mataku liar menikmati keindahan yang terhampar. Aku menaiki tangga melingkar menuju lantai dua. Ketika aku sampai ke atas, sebuah lukisan abstrak terpampang indah. Ini benar-benar menarik perhatianku. Aku berhenti dan memperhatikan detailnya.

"Apa arti dari lukisan ini." Aku mencoba menyentuhnya. 

"Itu sebuah kebebasan dari masa lalu nona." Harry memberi hormat dan menjawab pertanyaanku. Aku tersenyum miris. Aku memasukkan tangan ke jas dan berlalu. 

Harry berhenti dan mempersilahkanku. Ia memutar kenop dan mendorong pintu kedalam. Aku masuk perlahan. Sebuah kamar lux yang luas dengan ranjang yang besar.  Aku berlari ke arah jendela dan mendorongnya keluar. Sebuah balkon memberikan pemandangan kota yang terlihat jauh. Lampu-lampu disana benar-benar cantik. Kali ini aku menikmati angin dingin yang berhembus.

"Maaf Nona. Silahkan masuk kembali untuk beristirahat." Harry mengingatkanku. Aku menatap sekali lagi pemandangan didepanku dan kemudian berbalik masuk. Ia mempersilahkanku lagi untuk memeriksa kamarku.

"Jika anda membutuhkan sesuatu silahkan hubungi kami dengan telpon rumah ini. Kamar tuan Leonidas tepat disamping kamar anda. Buatlah diri anda merasa nyaman." Ia memberi hormat dan meninggalkanku. Aku menutup pintu dan melepas kacamataku. Aku merebahkan tubuhku diranjang dan menatap kelangit-langit kamar. Segala keindahan yang kulihat ini apakah pria itu juga menikmatinya. Lalu apa yang membuatnya ingin membunuhku. Apakah aku pernah menyakitinya dimasa lalu hingga ia mendatangiku dengan dendam. Padahal aku tidak pernah bertemu pria itu sebelumnya. Perasaan khawatir tiba-tiba muncul dihatiku. Aku jadi menyesal karena telah membiarkan ingatanku hilang dari diriku.

***

Sebuah suara mesin memekakkan telingaku. Suara itu membuatku terbangun. Aku terkejut ketika membuka mataku. Ini bukan dikamarku. Ini seperti sebuah pabrik tua dengan bau yang aneh. Jantungku tiba-tiba berdetak kencang. Keringat mulai menetes dari pelipisku. Dimana pria itu. Aku mulai cemas dan mengitari pabrik untuk  memeriksa seluruh ruang. Aku tak menemukan pria itu ataupun orang lain. Aku berhenti untuk mengatur nafasku. Bau aneh itu membuatku mual. Aku mulai meraba-raba sekitarku karena cahaya yang minim dan pandanganku yang mulai kabur. Tidak mungkin ia meninggalkanku seperti ini. Aku menatap kedepan dan samar terlihat sebuah cahaya. Aku berjalan tertatih. Itu mungkin jalan keluar. Aku bangkit dan mempercepat langkahku. Namun bau aneh itu semakin kuat menusuk indraku. Aku menahan nafasku dan melangkah kedalam cahaya. Begitu sampai tiba-tiba seluruh nafasku seperti ditarik ke ubun-ubun. Sesak memenuhi tubuhku. Aku mundur beberapa langkah dan mulai menangis. Kakiku tersandung dan terjatuh. Aku merinding melawan takut yang menyergapku dan mencoba mundur untuk pergi dari tempat itu. Tak sengaja aku menyentuh sesuatu disampingku. Aku ingin berteriak. Tetapi mulutku seperti terkunci begitu rapat. Aku hanya dapat berteriak dengan air mataku . Lalu seorang menyentuh bahuku dan memanggil namaku. Aku tersadar dan melihatnya sedang melihatku khawatir. Tanpa sadar aku meraih dan memeluknya. 

"Apa yang terjadi?! Kau mengigau dan menangis ditidurmu" Ia mencoba bersimpati. Aku terisak. Masih teringat jelas pemandangan mengerikan itu di otakku.

"Tolonglah aku dari mimpi buruk ini. Aku benar-benar merasakannya. Aku tidak bisa menghilangkannya seberapapun jauhnya aku berlari." Aku menundukkan tubuhku memohon padanya. "Aku tidak dapat menahan sedikitpun ketakutanku terhadap mimpi itu hingga aku rasanya ingin mati." Aku semakin kuat menangis. Ia menarik tanganku dan memelukku erat. Saat itu ia seperti sebuah pelindung bagiku. Aku menutup mataku dan menyerahkan ketakutanku padanya.

***

Model : Ian Somerhalder ( Hak cipta gambar milik om Ian)

LOST IN PASTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang