PENGAKUAN

21 5 1
                                    

MEMORY 15 : PENGAKUAN

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

MEMORY 15 : PENGAKUAN

Aku sengaja mengacuhkannya setelah makan malam. Aku tidak tau apa yang mengusik hatiku. Tiba-tiba saja aku jadi tidak terima jika ia hanya mengganggap ku sebagai seorang sandera. Aku merasa kecewa sekaligus sedih. Ku pikir ia membuka diri dan bersikap akrab karena ia mempercayaiku. Ternyata aku telah menerjemahkannya dengan cara yang salah. Harapan yang tumbuh didalam hatiku telah bertepuk sebelah tangan. Selama ini aku telah dibutakan oleh perhatian yang ia beri. Padahal, itu hanya bentuk dari sebuah kesopanan. Aku menghembuskan nafas keras. Lebih baik jika aku diikat dan disiksa olehnya. Toh aku memang seorang sandera. Daripada ia memberiku segalanya namun tiada rasa didalamnya. Aku berjalan malas ke ranjang dan merebahkan diriku. Aku merasa menjadi orang yang cengeng dan meratapi diriku.  Aku menghapus air mataku dengan cepat dan menahannya untuk tidak jatuh. Perasaan kesal menghinggapiku. Aku berharap tidak pernah bertemu dengannya sama sekali.

***

Suara ketukan keras dipintu membangunkanku. Aku memegangi kepalaku sesaat karena bangun secara tiba-tiba. Ini masih tengah malam. Aku menegakkan badanku dan berjalan terhuyung kearah pintu. Suara ketukan itu makin keras seperti memakiku. Aku merasa sedikit kesal. Aku mempercepat langkahku dan menggapai kenop pintu. Doorrr..!! Aku terperanjat dan mataku terbuka lebar. Tanganku gemetar melepas kenop pintu perlahan. Rasa takut menyebar keseluruh tubuhku. Apa yang telah terjadi dirumah ini. Aku menjauhkan diriku dari pintu dan berjalan mundur kearah jendela. Keringat dingin menetes dari seluruh tubuhku. Suara tembakan itu saling bersahutan. Aku hampir kehilangan keseimbanganku. Aku merapatkan tubuhku kejendela dan merunduk. Aku merasa kesadaranku akan menghilang.

"Mariana. Kau didalam ?! Keluarlah. Kita harus segera pergi." Suara itu Leonidas. Aku tersadar dan segera berlari ke arah pintu. Aku memutar kenop dan menarik pintu untuk keluar. Tapi aku tak menemukannya. Seketika mataku terbelalak melihat pemandangan di depanku. Aku menutup mulutku dengan tangan agar tak berteriak. Air mataku mengalir jatuh menahan syok. Harry telah jatuh dengan banyak peluru ditubuhnya. Darahnya mengalir menyentuh kakiku. Aku gemetar melangkahinya untuk mencari Leonidas. Hanya ia yang aku miliki sekarang. Aku mencoba memanggilnya. Tapi tenggorakanku tercekat seperti sedang dicekik.  Darah berceceran dimana-mana membuatku ingin muntah saat itu juga. Aku menyeret tubuhku untuk dapat bertahan lebih lama.

Aku memukul pintu kamarnya. Tak ada jawaban apapun dari dalam. Tanpa menunggu aku mendorong pintu. Tubuhku hampir ambruk ketika pintunya berhasil di buka. Aku mengatur nafasku dan bangkit. Namun sesuatu seperti menghujam jantungku melihat keadaannya. Ia telah tewas dengan peluru dijantungnya. Keputus asaan mendatangiku. Pandanganku menjadi kabur dan pening menyebar diseluruh kepalaku. Aku berteriak tanpa suara. Derai air mataku mengalir sangat deras tanpa bisa kutahan. Aku ingin lari dari semua ini. Aku berusaha untuk bangkit dan mencari jalan keluar. Tapi ketika aku berbalik seseorang bertopeng dengan pistol ditangannya menyudutkanku. Aku terduduk dan menyeret tubuhku mundur ketika ia semakin dekat. Lalu tanpa ampun ia menarik pelatuknya dan menembak ke arahku. Seperti menembus jantungku, mataku terbuka lebar. Nafasku terengah-engah. Aku bangkit dan mengumpulkan seluruh kesadaranku. Ini malam yang sama. Tidak mungkin hanya mimpi buruk. Leonidas. Aku harus menyelamatkannya sebelum terlambat. Walaupun aku sangat membencinya. Ia tidak bisa disa dirampas begitu saja dariku. Aku memutar kenop dan keluar. Letih menyergapku namun aku tidak bisa berhenti melangkah untuk menemuinya. Aku memukul pintunya dan memanggil namanya. Benar-benar tak terdengar jawaban apapun. Cemas melandaku. Aku mencoba mendorong pintunya. Namun tak bergerak sama sekali. Jiwaku rasanya dikuras habis. Tubuhku merosot dan aku menangisi diriku. Apa yang harus aku lakukan.

"Mariana ?" Suara itu menyadarkanku. Aku mendongak keatas dan dapat melihat ekspresi khawatirnya. Ia menarikku bangkit dan menahan tubuhku. "Kau bermimpi buruk lagi." ia menatapku iba. Aku tak menghiraukan pertanyaannya dan segera melingkarkan tanganku dilehernya. Aku memeluknya erat karena merasa bersyukur masih dapat melihatnya. 

"Ku pikir akan kehilanganmu." Suaraku parau berbisik padanya. "Aku memang bukan siapa-siapamu. Tapi sesuatu didalam diriku mengenalmu. Karena itu aku sangat bersyukur ketika keadaanmu baik-baik saja." Tangisku terisak. 

"Kau hanya bermimpi buruk. Jangan terlalu difikirkan.  Aku minta maaf karena membuatmu khawatir." Ia mengelus punggungku lembut. Ketenangan menjalar keseluruh tubuhku. "Jika kau merasa tersakiti karenaku, kau bisa membagi lukamu. Aku akan menerimanya seperti kau menerima lukaku." Kata-katanya menyayat hatiku. Aku memang mengharapkan sesuatu yang lebih darinya.

"Kau tau.. Aku jadi sangat membencimu karena semua ini." Aku melepaskannya dan menghapus air mataku kasar. Aku menatapnya lemah dan berbalik untuk kembali. Walapun aku membagi lukaku padanya, ia tetap tidak akan memiliki rasa padaku. Ini semua sesuatu yang percuma. Aku dibodohi oleh angan-anganku sendiri. 

"Ikut aku !" Ia menarik tanganku dengan kasar dan menghempaskanku di ranjangnya. Aku mencoba bangun dan mendorongnya. Tapi dengan cepat ia menangkap kedua tanganku dan menahannya diatas kepalaku. "Apa hal seperti ini yang kau inginkan. Aku menidurimu lalu aku mengacuhkan perasaanmu ?!" Ia menatapku tajam. Aku balik menatapnya tajam. Pria brengsek ini benar-benar menyebalkan. 

"Kau tidak mengerti perasaanku." Aku menatap sinis padanya. Ia lalu menekan tanganku lebih kuat. Aku meringis menahan sakit.

"Aku mengerti! Karena itulah aku juga sangat membencimu. Kau adalah orang yang seharusnya aku bunuh. Bukan orang yang harus aku selamatkan. Tapi kau menggangguku sejak pertama kali aku melihatmu. Keraguan selalu datang menggoyahkan dendamku. Itu semua karena mu! Sekarang semuanya sama sekali diluar rencanaku. Bekas luka bodoh yang terukir dilengan kita memperburuk keadaan. Ia semakin mengikat dan membawaku semakin dekat padamu. Kau pikir bagaimana aku menahannya selama ini !" Ia meluapkan kekesalannya padaku. Aku terdiam mendengar pengakuannya. Hatiku berdebar ketika ia menatapku semakin lekat. Ia kemudian menghembuskan nafas kesal dan menarikku untuk bangun. Ia merapikan piyamaku dan menghapus air mata yang tersisa di sudut mataku.

"Apakah itu sebuah pengakuan?" Aku bertanya tanpa melihatnya. Ia mengambil kepalaku dan membenturkan keningku pada keningnya. Ah.. Aku mengelus keningku. Tanpa memperdulikan aku yang kesakitan ia mengambil duduk di sampingku dan berbaring.

"Aku tidak ingin menjawabmu. Kau telah mempermalukanku." Ia menutup matanya dengan lengan. Aku mendekatinya dan berbaring disampingnya untuk mendapatkan jawaban.

"Apakah yang Raymond katakan padaku itu adalah sebuah kebenaran ?" Aku menarik lengannya dan menatapnya. Ia lalu tersenyum padaku dan mengelus rambutku.

"Ya. Sekarang tidurlah. Kau terlihat sangat pucat. Besok kau harus memeriksakan kesehatanmu. Aku tidak ingin kau merasakan mimpi buruk terus menerus. ." Ia menarik tubuhku mendekat padanya. Aku dapat mendengar detak jantungnya bergerak seirama dengan detak jantungku. Seketika aku melupakan tentang mimpi burukku dan kecemasanku. Pengakuan yang ia ucapkan padaku telah mengobati seluruh rasa sakitku dan menumbuhkan berjuta perasaan baru.

***

LOST IN PASTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang