Karena padatnya lalu lintas siang itu, Trevin terpaksa memarkirkan mobilnya di area parkir publik di depan Taman Lingkar. Lalu, dia mesti berjalan 300 meter untuk sampai di tempat janjiannya. Semua toko dan restoran rata-rata dipenuhi pengunjung saat istirahat sore seperti ini. Trevin mesti menahan dirinya untuk berjalan lambat, lantaran trotoarpun juga disesaki pejalan kaki. Dia hampir berteriak kesal saat seseorang berhenti tiba-tiba untuk melihat sebuah barang di etalase sebuah toko. Memaksanya berhenti, lalu seseorang menabraknya dari belakang. Trevin mendengus dan menoleh ke belakang.
"Sorry!" kata perempuan itu tersenyum tipis. Ada earphone di telinganya.
Jenis manusia yang tak disukai Trevin. Dia tak suka seseorang yang menikmati musik sepanjang jalan, seperti tak bisa mencari waktu yang lebih baik. Maksudnya adalah, kau bisa berhenti sebentar, dengarkan satu atau dua lagu, lalu berjalan. Wanita tak akan fokus dengan dua hal. Dia tahu itu.
"Kau yang berhenti tiba-tiba!" dia membela dirinya dan berlalu.
Trevin melengos, lalu berbalik. Wanita itu berjalan santai seolah bukan masalah dengan hal barusan.
"No big deal, Man. Are you this mad?" katanya pada dirinya sendiri.
Adalah hotel ini yang kembali dipilih untuk pertemuan mereka. Seperti selera Jed selama ini. Saat Trevin masuk, dia langsung tahu ada perayaan. Ada sampanye di meja, lengkap dengan champagne flute-nya.
"Ada perayaan?" tanyanya pada dua pria yang sibuk dengan urusan masing-masing.
Jed masih mengenakan setelan lengkapnya. Jas masih rapi, dasi masih terpasang. Dia menekuri laptop yang menyala di depannya. Tanpa melihat lebih jauhpun Trevin tahu, dia sedang melakukan kontak via Skype. Mungkin seharian di kantor tadi belum cukup bagi Jed menyelesaikan bisnisnya. Sedang Thomas, sepertinya memilih membuat dirinya nyaman. Dia mengenakan kemeja warna putih polos dengan celana bahan berwarna biru tua, sedang memainkan ponsel. Dari suara yang didengar Trevin, Thomas hanya buang-buang waktu dengan permaian pokernya.
"Perayaan besar!" kata Thomas melempar ponsel ke sofa dan berdiri menyambut Trevin. "Kenapa wajahmu kusut?"
"Huh?" dia menggeleng. "Ada yang lebih besar dari penobatanku sebagai man of the year?"
"Kau bangga sekali dengan titel itu, Trey. Ini lebih dari itu. Sebuah pernikahan!"
Dia tersenyum senang untuk berita itu. Hari ini datang juga. Hari untuk merayakan rencana berani dan super besar. Pernikahan Jed. Pria itu melihat Trevin, mengangkat telunjuknya. Mengisyaratkan untuk menunggunya.
"Selamat, Jed!" serunya tanpa peduli apa yang Jed lakukan sekarang. "Belum boleh minum?" Trevin mengambil botol sampanye dari kaleng yang berisi es batu.
"Buka saja!" kata Thomas.
Trevin menarik tutup botol dan bunyi pop terdengar. Menuangnya setengah gelas, air itu membuat butiran-butian pada puncak dan tepi gelas.
"Akhirnya dia akan menikah, Tom! Can you fucking believe it?" Trevin membuka jas dan duduk di sofa. "Demi Surga, Jed. Aku berharap yang terbaik untukmu!"
Jed masih tak menjawabnya. Thomas akhirnya menuang sampanye dan meneguknya. Dia duduk di depan Trevin.
"Kapan lukisanku diantar?" tanya Trevin. Percaya atau tidak, dia membeli lukisan 'Ombak' yang dibuat oleh Jed.
"Kau belum melakukan pembayaran, Sialan!" Thomas merebahkan dirinya di sofa.
"Come on, Jed!" teriak Trevin agar Jed dengar. "Masa aku harus membayar untuk itu? Kau juga, Tom. Ini tidak keterlaluan? Kau tinggal mengantarnya saja!"
KAMU SEDANG MEMBACA
On The Way To The Wedding
General FictionSIDE STORY DARI LOVE OR DIE Manusia boleh punya rencana. Pada akhirnya, ketentuan bukan milik kita. This work is a fiction. The names, locations and incidents are fictitious. Any similarities are entirely unintentional. Cover: credit on tumblr