Mereka belum jauh dari mini market. Di pinggir trotoar dan hari baru mulai terang. Itulah saat Trevin meninggalkan Nades dan berjalan cepat. Nades mendengus tak percaya melihat ransel Trevin yang bergerak-gerak, mengikuti langkah kaki Trevin yang panjang dan lebar.
Bodoh dia bilang? Apa dia tidak tahu aku siapa? Kalau aku bodoh, mana mungkin aku jadi penulis! Mana mungkin aku punya dua novel nyaris best seller, kalau saja tak ada novel pesaing yang punya cover lebih bagus! Dia pikir dia siapa?
Nades mengentakkan kakinya kesal. Dia melihat jam di tangannya. Pukul enam kurang lima menit. Dia jelas punya pilihan. Ikut Trevin ke Sharpos, atau tinggal di sini sampai besok.
"Memangnya Trevin mau melaporkan apa kalau dia di Sharpos? Yang punya bukti kan aku!" Nades mencibir.
Tersenyum kecut, dia berbalik. Mengambil jalan yang berlawanan dengan Trevin. Kembali melewati mini market tadi, dia sudah membulatkan tekad. Dia akan tinggal dan pergi besok. Ditambah, dia mengantuk. Kopi yang diminumnya tak berefek apa-apa. Melewati gang kecil yang dindingnya dipenuhi mural beraneka warna, dia berjalan mencari motel.
Kurang ajar! Dia bilang aku bodoh?
Nades masih kesal dengan ucapan Trevin barusan. Memang dia pernah minta Trevin ikut? Seingatnya, dia hanya tak tahu harus bagaimana dan lelaki itu yang bilang akan ikut! Kenapa sekarang dia marah-marah?
Nades beruntung menemukan papan petunjuk lokasi pantai Rapolis berada. Di dekat situ pasti ada motel.
Tuh, siapa bilang aku bodoh? Aku bisa menemukan motel. Silahkan pergi ke Sharpos kau Trevin sialan!
Nades menelan ludah, lalu tangannya refleks mengusap pipinya. Menggigit bibirnya, dia menahan desakan air mata yang lebih deras.
Jangan nangis! Jangan Nades!
Nades tidak langsung ke motel meski dia menemukan sebuah banguan dengan tulisan motel yang berkedip-kedip di atapnya. Dia malah berjalan lurus dan menyeberang. Mengikuti petunjuk sepanjang 200 meter, dia akhirnya melihat air pantai yang beriak pelan. Dari ujung timur pantai, pecahan sinar matahari merambati langit. Meski, di ujung cakrawala kabut masih tebal.
Nades menuruni tangga untuk sampai di bibir pantai dan berdiri di sana. Dia mendengus, dan membiarkan air matanya jatuh. Wajahnya terasa dua kali lebih panas sekarang. Selain karena tangisnya, juga karena sinar matahari yang begitu melimpah menerpanya. Dia menarik nafas panjang, mengurut dadanya pelan.
Dia membuka sepatunya dan mencoba merasakan air pantai. Pasir pantai terasa begitu lembut dan halus. Dia mengusap wajahnya, berusaha menghapus jejak air mata yang tertinggal. Bibirnya membentuk senyuman saat dia ingat alasan dia kemari.
Semua orang bilang inspirasi bisa datang darimana saja. Bagi Nades, itu hanya terjadi kadang-kadang, asalkan dia sedang tidak sedang stress. Makanya, untuk mengurangi tingkat stressnya, dia di sini sekarang. Kabur dari depan meja kerjanya dan kemari. Demi mendapatkan sedikit inspirasi yang begitu dibutuhkannya!
Badras dia pilih secara acak saja. Dia bahkan tidak tahu kota ini sebelumnya. Namun, tempat ini begitu menjanjikan saat dia browsing beberapa hari lalu. Dia berhasil kabur tanpa meninggalkan jejak sedikitpun. Bahkan, Marsa tak menghubunginya dan merasa kehilangan. Perempuan itu akan marah kalau tahu dia kabur. Editor yang sangat pelit memberi jatah libur pada Nades.
Dia mengecek ponselnya, memeriksa jadwal kunjungannya selama seminggu di Badras. Dia sudah membuat perencanaan tentang tempat apa saja yang harus dikunjungi, makanan apa yang harus dicicip, dan tentu saja spot mana yang bisa dijadikannya sebagai tempat narsisnya. Sayangnya, baru dua hari di Badras, rencananya kacau balau.
KAMU SEDANG MEMBACA
On The Way To The Wedding
General FictionSIDE STORY DARI LOVE OR DIE Manusia boleh punya rencana. Pada akhirnya, ketentuan bukan milik kita. This work is a fiction. The names, locations and incidents are fictitious. Any similarities are entirely unintentional. Cover: credit on tumblr